UMR Masa Pandemi

foto ilustrasi

Menghitung kelayakan upah pada masa pandemi, bagai menghadapi buah simalakama. Sesuai realita perekonomian, upah buruh bisa dikalkulasi merosot. Karena pertumbuhan ekonomi merosot, dan laju inflasi sangat landai. Tetapi mem-pagu rendah upah buruh juga semakin menyusutkan daya beli. Upah buruh yang memadai diharapkan bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Terutama sektor konsumsi, dan ritel. Juga menjadi “pendinginan” sosial dampak resesi global.

Pemerintah telah menerbitkan “panduan” pengupahan. Berupa Surat Edaran Kemenaker tentang pagu upah minimum propinsi, serta UMK (Upah Minimum Kabupaten dan Kota) pada masa pandemi CoViD-19. Upah buruh perlu panduan, karena bisa menjadi komoditas isu sosial. Prinsipnya, upah buruh seyogianya tidak lebih rendah dibanding tahun 2020. Walau sebenarnya perekonomian nasional (dan daerah) dalam himpitan pertumbuhan, tergradasi resesi global.

Kenaikan upah selalu ditimbang berdasar pertumbuhan ekonomi, dan laju inflasi. Penentuan kenaikan upah, diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Secara khusus diatur pada pasal 44 ayat (1), dan ayat (2). Di dalamnya terdapat frasa kata “penambahan” nominal upah yang disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, secara nasional. Walau sebenarnya setiap daerah memiliki tingkat pertumbuhan, dan inflasi berbeda.

Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), kontraksi perekonomian terjadi di seluruh Indonesia. Tetapi terdapat tiga propinsi yang tetap mencatatkan petumbuhan positif. Yakni, Maluku Utara (+6,66%), Sulawesi Tengah (+2,82%), dan Kalimantan Utara (+1,46). Terdapat tiga ppropinsi dengan penyusutan perekonomian paling rendah (di bawah satu persen), adalah Gorontalo (-0,07%), Bengkulu (-0,09%), dan Aceh (-0,11%). Sedangkan delapan propinsi dengan penyusutan diatas 4%. Serta Bali tercatat paling merosot, sampai minus 12%.

Terdapat 5 propinsi dengan penyusutan ekonomi tergolong “sedang.” Yakni, Sulawesi Selatan (-1,08%), DI Yogya (-2,84%), Jawa Timur (-3,75%), DKI Jakarta (-3,82%), dan Jawa Tengah (-3,93%). Kelima propinsi ini “berani” menaikkan UMP (Upah Minimum Propinsi). Kenaikan upah tertinggi terjadi di Jawa Timur 5,65%, atau setara Rp 100 ribu. Semula Rp 1.768.000, menjadi Rp 1.868.777,-. Namun sebenarnya upah terendah (tahun 2020) di kabupaten dan kota di Jawa Timur, sudah mencapai Rp 1.913.322,-.

Berdasar data BPS sampai Oktober 2020, secara nasional terjadi kontraksi perekonomian sebesar (minus) -5,29%, serta laju inflasi sebesar 1,44%. Sehingga dengan perhitungan itu, pagu upah buruh berpotensi susut sebesar 3,85%. Rata-rata (28 daerah) propinsi telah menetapkan UMP tidak naik. Sedangkan lima propinsi menetapkan kenaikan upah buruh. UMP merupakan patokan terendah dalam satu propinsi.

Tahun (2020) lalu, secara nasional upah buruh naik sebesar 8,51% (dibanding tahun 2019). Upah buruh pada masa pandemi saat ini bisa menjadi komoditas isu politik, berkait pelaksanaan Pilkada serentak. Karena itu kenaikan upah buruh wajib dipertimbangkan dengan kondisi riil di daerah. Tidak elok menaikkan standar upah buruh hanya berdasar emosional dan interest politik sesaat.

Tidak mudah menetapkan UMK, karena harus melibatkan Dewan Pengupahan Daerah, dengan menyertakan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan buruh. Standar upah masing-masing dihimpun dari usulan pemerintah kabupaten dan kota. Namun sesungguhnya, tidak semua tempat kerja telah memenuhi persyaratan upah sesuai standar UMK. Tak terkecuali jenis pekerjaan pada sektor formal.

Banyak buruh (dan karyawan) di berbagai tempat kerja lebih memilih “mengalah,” asal masih bisa bekerja. Terutama pekerja perempuan. Pekerjaan profesi, tenaga kesehatan, dan guru tergolong paling terbelakang. Padahal berijazah sarjana. Pada masa pandemi, masih bisa bekerja lebih baik disbanding menjadi pengangguran.

——— 000 ———

Rate this article!
UMR Masa Pandemi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: