UN di Daerah Akan Jeblok Jika Menggunakan UNBK

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Terus menurunnya nilai rata-rata hasil Ujian Nasional (UN) tingkat SMP/MTs Kota Surabaya dalam tiga tahun terakhir ditanggapi dingin Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Wali kota perempuan pertama ini meyakini bahwa tidak semua daerah jika menggunakan sistem pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) atau disebut juga Computer Based Test (CBT)  akan menghasilkan nilai baik.
“Tak apa-apa Kota Surabaya hasil UN nya tak bagus, yang penting anak-anak saya ajarkan kejujuran.  Saya yakin kalau daerah lain menggunakan UNBK mungkin juga malah jeblok,” kata Risma pada Bhirawa seusai  membuka Bazar Ramadan di Lapangan Putra Agung, Kecamatan Tambaksari Surabaya, Minggu (12/6) kemarin.
Risma menjelaskan, saat ini penerimaan mahasiswa bukan hanya didasarkan pada nilai Ujian Nasional, melainkan juga pada perilakunya. “Dan itu saya kira bagus ya, karena kemudian anak-anak dinilai secara komprehensif. Menakutkan sekali kalau  penilaian cuma didasarkan pada nilai Ujian Nasional saja,” ujarnya.
Risma menceritakan beberapa tahun yang lalu ada guru yang harus berhubungan dengan hukum dan masuk penjara. Ini karena ketidakjujuran peserta Ujian Nasional. “Tapi sekarang tenang kan,” katanya.
Risma mengklaim hasil pendidikan di Kota Surabaya bukan dinikmati sekarang, melainkan 10-15 tahun yang akan datang. “Kalau anak-anak dibiasakan menggantungkan ke orang lain, wes nyontek saja gitu, dan anak-anak tidak diajarkan survive, nanti kita lihat buktinya. Saya ndak bisa ngomong sekarang, kita lihat 10-15 tahun ke depan anak-anak Surabaya akan jadi seperti apa,” jelasnya.
Sementara itu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini diminta mengevaluasi kinerja pejabat Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya. Pasalnya, capaian pendidikan di Kota Surabaya beberapa tahun ini terus menunjukkan kemunduran, kalah dengan daerah lain yang anggaran pendidikannya jauh lebih kecil.
Tuntutan evaluasi ini disampaikan sejumlah pemerhati pendidikan di Kota Surabaya. Kendati hingga Juni ini, Risma belum bisa menerapkan kebijakan mutasi pejabat di lembaga eksekutif yang dipimpinnya karena belum genap enam bulan menjabat pasca pelantikan periode kedua jabatannya, per 17 Februari 2016. Ini sebagaimana amanat Undang-Undang Pilkada.
“Secara keseluruhan prestasi UN dengan capaian angka, Surabaya mengalami penurunan yang luar biasa. Tentu saja ini harus menjadi perhatian Pemkot Surabaya dalam hal ini Wali Kota Surabaya,” kata pemerhati pendidikan dari Hotline Pendidikan Surabaya Isa Anshori kemarin.
Isa mengingatkan, ukuran pendidikan bukan sekadar persoalan integritas (UN jujur dan berbasis komputer), tapi di sana juga ada persoalan prestasi akademis. Pada persoalan integritas Surabaya memang menjadi indikator terbaik dalam pelaksanaan UN, namun harus diingat indikator hanya berbicara pada tataran penggunaan alat yang sangat mudah dikontrol.
“Diknas tinggal mewajibkan semua sekolah menggunakan komputer maka hasilnya bisa ditebak, Surabaya terbaik dalam integritas pelaksanaan, meski di sana-sini sekolah sekolah mengalami kesulitan dalam pembiayaan penyelenggaraannya,” ungkapnya.
Pada indikator akademis, kata Isa, tiga tahun terakhir ini kedodoran dan mengalami kemerosotan dalam capaiannya. Sehingga di tiga tahun terakhir ini selalu berada pada 10 besar urutan terbawah.
“Tentu ini berbanding terbalik dengan jumlah anggaran yang besar dan banyaknya kegiatan yang dilakukan. Pertanyaannya adalah anggaran sebesar itu apakah digunakan oleh Dinas Pendidikan Surabaya untuk menjawab problem pendidikan surabaya secara tepat? Ada problem manajerial pengelolaan pendidikan di Surabaya, sehingga kalau seperti ini terus dipertahankan bukan tidak mungkin Surabaya akan terus tertinggal dibanding daerah daerah lain di Jatim,” urainya.
Isa juga tidak sependapat dengan pola dinas dalam merangkul pihak yang kritis menyoroti realita pendidikan kota agar lebih baik, dengan mengundang dalam pertemuan tertutup. Terlebih undangan disampaikan melalui mitra Dindik.
“Saya beberapakali dihubungi orang suruhan dinas agar datang ke kantor. Caranya tidak seperti ini. Kalau tidak ingin dikritik berarti ada yang keliru dengan pola serta manajerial pendidikan. Jika mengundang pihak-pihak yang kritis, sekalian gelar dialog terbuka agar publik tahu ada kekeliruan. Biar usulan bertambah banyak untuk menjadikan pendidikan kota semakin baik,” tukasnya.
Sorotan tidak kalah kritis disampaikan pengamat pendidikan dari Garda Muda Bibit Unggul, Achmad Hidayat. Menurutnya, Surabaya mendapat urutan ke-26 di Jatim untuk hasil UN SMP perlu mendapat perhatian semua pihak.
“Pelaksanaan UNBK dengan minimnya kebocoran soal tidak boleh dijadikan alasan. Dengan kekuatan anggaran 30% persen untuk pendidikan, Surabaya harus mampu bersaing. Baik segi infrastruktur maupun SDM,” kata Achmad Hidayat.
Dia mengingatkan Dindik supaya capaian hasil UN menjadi bahan renungan sekaligus koreksi Dindik Surabaya. “Kabupaten Gresik menempati urutan ke-12 se-Jatim dengan APBD sekitar Rp 3 triliun dan alokasi untuk pendidikan sebesar 24% atau sekitar  Rp 715 miliar. Anggaran yang jauh sedikit dari Surabaya mampu menjadikan Gresik lebih baik dari Surabaya,” tuturnya.
Soal pelaksanaan UN berbasis komputer, menurut Achmad, tidak bisa dijadikan alasan untuk turunnya prestasi akademik siswa Surabaya. “Tahun depan harus lebih siap lagi, siswa  dimotivasi walaupun nilai UN tidak dijadikan penentu kelulusan, harus tetap serius. Digembleng dengan bimbingan belajar dari sekolah bagi siswa kelas 3 untuk persiapan UN,” paparnya.
Achmad menilai, jelang pelaksanaan UN tahun ini, Dindik nampaknya hanya sibuk dalam hal teknis menyiapkan sistem serta kebutuhan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), bukan pada penyiapan SDMnya. [geh]

Tags: