UN Vs Komitmen Guru

Darmadi

Darmadi

Oleh :
H.Darmadi
Kandidat Doktor Manajemen SDM Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI  Jakarta.
Tanggal 14-16 April 2014, UN diselenggarakan untuk tingkat SMA dan sederajat, 5-8 Mei 2014 untuk SMP dan sederajat. Adapun, untuk SD dan sederajat, mulai tahun ini ditiadakan.
Yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan UN adalah munculnya kecurangan-kecurangan yang menodai UN. Tahun lalu kecurangan dalam UN menjadi bahasan yang amat serius di mana-mana. Ironisnya, laporan adanya kecurangan dalam UN tidak pernah mendapat tindak lanjut yang memadai. Bahkan yang berani melaporkan dijadikan korban dengan tidak naik pangkat, dimutasikan bahkan ada yang dipecat.
UN dicurangi karena dijadikan satu-satunya alat penentu kelulusan peserta didik. Ketentuan bahwa nilai UN menjadi penentu kelulusan membuat banyak siswa dan guru berpikir pragmatis menghadapi UN. Apalagi yang tidak lulus nasibnya jauh lebih sulit seperti harus mengikuti kelas penyetaraan yang semua orang tahu citra kelas penyetaraan sama dengan drop out alias DO. Akhirnya berbagai cara ditempuh untuk lulus UN.
Pada sisi lain kecurangan terjadi karena guru berpikir, pelaksanaan UN di samping kesempatan mencari pendapatan tambahan, merupakan ajang “mencari muka” dengan kepala sekolah dan kepala dinas. Bukan rahasia lagi dinas-dinas pendidikan daerah menargetkan sekolah agar meluluskan siswanya 100 persen tidak peduli bagaimana caranya.
Sejumlah kecurangan yang terungkap dalam UN mencerminkan adanya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara guru dan siswa. Kelulusan 100 persen juga menjadi promosi gratis mendapat siswa baru pada tahun ajaran mendatang. Hasil jeblok berarti menutup peluang mendapat siswa baru. Yang mencemaskan kecurangan-kecurangan yang terjadi dilakukan dengan cara yang semakin canggih dan modern, sepertinya menghalalkan segala cara. Dulu model kecurangan paling-paling menulis rumus fisika, matematika, kimia di telapak tangan, meja atau tembok ruang ujian secara tersamar. Kini kecenderungan kecurangan semakin kreatif. Itu sangat bisa dipahami karena tuntutan lulusan juga berbeda dengan masa-masa lalu.
Berikut adalah contoh kecil kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan UN SMA tahun lalu. Pada pelaksanaan UN matematika yang merupakan salah satu pelajaran yang menakutkan, sebelum memasuki ruang ujian siswa diberi pengarahan. Ketika sampul lembaran soal dibuka, ternyata dengan mudah dapat dilakukan. Dan, ketika para siswa mengumpulkan jawaban, ternyata sebagian besar jawaban siswa sama. Sama-sama menjawab salah. Dengan demikian, dapat diindikasikan sampul tersebut telah dibuka sebelumnya dan para siswa telah mendapatkan jawabannya.
Juga pada pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang juga sangat ditakuti para siswa. Soal nomor 1 sampai 15 adalah uji dengar atau listening dan siswa diharuskan mendengarkan dan menjawab soal tersebut dalam 20 menit pertama. Tetapi pada pelaksanaannya dalam sebuah ruang ujian, siswa tidak mendengarkan soal yang disampaikan pada pengeras suara, tetapi mampu mengerjakan soal-soal tersebut dengan benar. Hebatnya lagi, lembar jawabannya diisi menjelang ujian berakhir. Praktik curang lain ada guru yang sengaja memberikan kunci jawaban kepada siswa dengan cara menempel jawaban di kamar mandi/toilet sekolah. Secara bergiliran siswa peserta UN diberi kesempatan ke kamar mandi untuk melihat kunci jawaban UN dan kembali ke kelas untuk menuliskan jawaban dalam lembar jawaban.
Ada juga modus lain dengan cara memberikan kunci jawaban melalui SMS yang dikirim ke ponsel peserta UN. Dengan cara ini dalam waktu bersamaan banyak siswa memperoleh kunci jawaban. Tentu saja praktik curang ini juga tidak gratis, tetapi ada imbalan yang diminta guru kepada siswa. Dan tahun ini ketika siswa memasuki ruangan UN dilarang membawa ponsel dan kalkulator, harus diwaspadai bentuk kecurangan lain yang tidak kalah kreatifnya.
Guna menekan berbagai bentuk kecurangan dalam UN, tidak ada kata lain harus dilakukan pencegahan sedini mungkin. Sekolah yang mencoba melakukan langkah-langkah kotor dalam penyelenggaraan UN harus mendapat sanksi yang tegas. Demikian juga dengan guru yang terlibat dalam perbuatan curang tersebut, jika terbukti, teguran dan sanksi keras patut diberikan, sebab melakukan kecurangan sama artinya dengan menelantarkan mutu pendidikan.
Siswa yang membawa telepon seluler, kalkultor, dan kamus harus dikenai sanksi. Aturan mengenai pelarangan membawa ponsel, kamus, dan kalkulator diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN. Kecurangan memang tidak bisa begitu saja dihindari. Namun, semua pihak harus waspada dan memandang UN sebagai hajat nasional yang harus dijaga kesakralannya. Kecurangan UN harus dicegah.
Kecurangan juga bisa diantisipasi sejak pengiriman master kopi soal ke percetakan-percetakan di provinsi sampai ke titik proses pengiriman hasil jawaban peserta ujian ke pusat kegiatan pemindaian di kantor dinas pendidikan provinsi. Jika dalam distribusi ini terjadi kebocoran, bisa dibayangkan dampaknya akan sangat luas karena penyebarannya sangat mudah.
Belum lagi diperhitungkan sekolah yang berada di kawasan- kawasan terpencil. Sekolah seperti ini hanya bisa dijangkau dengan satu alat transportasi. Ada sekolah yang lokasinya hanya bisa dijangkau dengan jalan darat, seperti pedalaman Kalimantan atau dengan jalan laut saja, seperti ke Pulau Maluku dan Maluku Utara atau hanya dengan pesawat udara seperti ke pedalaman Papua dan Irian Jaya Barat.
Sayangnya, keinginan untuk lulus dalam UN ditempuh dengan cara-cara yang tidak terpuji. Hasrat yang kuat untuk lulus tersebut ditempuh dengan jalan menemukan kunci jawaban soal. Dari soal hasil rekaan tersebut dibuatlah kunci jawaban. Masyarakat yang sudah terobsesi agar lulus dengan mudah dalam UN terpengaruh oleh perbuatan ini. Tanpa berpikir panjang, kunci soal dibeli dengan harapan pasti lulus UN. Di samping itu, prestise dan gengsi sekolah yang menginginkan agar peserta didiknya lulus 100 telah memunculkan tim sukses UN di tingkat sekolah.
Sebenarnya merupakan langkah positif bila tim sukses itu diadakan pada awal tahun, lalu melakukan beragam kegiatan untuk membuat peserta didik mempersiapkan diri agar percaya diri dalam mengikuti UN. Tetapi kalau tim sukses itu dibentuk beberapa hari menjelang UN, kemudian melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dengan cara membocorkan UN, itu sangat berbahaya bagi mutu pendidikan nasional di masa depan.
Agar terhindar dari kecurangan pengaturan UN sangat penting, (1) pengaturan tempat duduk jarak antarpeserta minimal 1 m. (2) Pengawas ruang tidak membawa alat komunikasi elektronik, membagikan naskah soal secara selang seling, sehingga peserta UN pada meja dengan nomor ganjil memperoleh soal yang berbeda dengan peserta pada meja nomor genap. (3) Peserta ujian nasional dilarang membawa alat komunikasi elektronik, kalkulator, tas, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun ke dalam ruang UN serta selama UN berlangsung.
Sekecil apa pun kecurangan harus dilawan. Sayangnya, yang kita lawan adalah diri kita sendiri. Kitalah sebenarnya yang menginginkan agar anak kita, peserta didik kita, murid-murid sekolah yang kita asuh, lulus dari UN. Di sinilah diperlukan kesadaran dan kepedulian untuk tidak melakukan kecurangan atau mendiamkan saja orang yang kita tahu bahwa dia sudah melakukan kecurangan dalam UN.
Tampaknya pekan ini menjadi pekan yang sangat dinantikan siswa peserta UN, guru dan pemangku kepentingan pendidikan nasional. Momen pekan-pekan ini sampai Mei nanti bisa menjadi momen yang membangkitkan gairah pendidikan nasional karena sukses. Namun, juga bisa menjadi bopeng dan tercoreng-moreng ketika kecurangan terjadi di mana-mana yang menodai semangat kejujuran UN dan proses pendidikan. Mengingat citra UN yang sudah kehilangan kepercayaan karena banyak diwarnai kejanggalan dan kecurangan, sekali lagi jangan korbankan anak didik demi ambisi-ambisi jabatan dan kekuasaan yang memalukan dan memuakkan.
Komitmen Guru
Tingkat kesulitan soal ujian nasional (UN) yang tinggi membuat guru terpaksa melakukan kecurangan dengan membantu siswanya menyelesaikan soal. Hal itu dilakukan semata-mata karena panggilan hati nurani guru yang ingin muridnya sukses. Demikian jawaban klasik para guru yang terlibat dalam kecurangan UN.
Aneh memang, selama ini pemerhati pendidikan yang memiliki komitmen yang tinggi kepada pendidikan menolak UN. Tetapi pemerintah tetap memaksakan kehendaknya. Pemerhati pendidikan dan sejumlah guru besar yang tidak diragukan lagi kapasitasnya menganggap bahwa UN sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan tindakan yang mencederai pendidikan. Selain tidak mendidik anak didik, UN juga dianggap tindakan pemborosan uang negara. UN juga tidak tepat dilakukan mengingat pendidikan di Indonesia belum merata. Mengapa dana lebih dari RP 500 milyar tidak digunakan memperbaiki fasilitas sekolah seperti gedung sekolah yang sudah roboh?, demikian pertanyaan banyak orang.
Banyak orang yang memaklumi tindakan para guru itu karena dianggap keadaan terpaksa. Dan, mereka kemungkinan akan dilepaskan dari jeratan hukum dengan alasan karena keadaan terpaksa pula. Bisa saja penegak hukum mengatakan, terpaksa dilepaskan karena jika guru ditahan maka murid kehilangan guru. Sebab guru yang mengajar di sekolah terbatas. Kata terpaksa menjadi kata mujarab dalam pembenaran di negeri ini. Masyarakat latah menyalahkan keadaan. Padahal keadaan itu dapat dikondisikan manusia. Manusialah yang mengatur keadaan, bukan keadaan yang mengatur manusia.

Rate this article!
UN Vs Komitmen Guru,5 / 5 ( 1votes )
Tags: