Unas Berganti Nama USBN, Masih Relevankah ?

heri-yudiantoOleh :
Heri Yudianto, ST
Pegiat Pendidikan dan Guru SMKN 1 Driyorejo-Gresik

Usai menuai pro-kontra terkait moratorium unas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy kembali menggulirkan bola panasnya. Menurut mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ujian Nasional (Unas) akan berubah menjadi Ujian Sekolah Berstandar Nasional/USBN.
Lebih lanjut menurut Mendikbud, keputusan ini belum final, masih di tingkat kementerian. Masih menunggu intruksi presiden (inpres). Terkait hal ini, Mendikbud mengungkapkan “UN ini juga harus mengerahkan sumber daya yang sangat besar”. Nanti kalau USBN, kan diharapkan paperless sehingga bisa ada dana sisa yang bisa digunakan untuk perbaikan sarana dan prasarana,” ujarnya. Dana sisa tersebut seyogyanya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, kondisi sekolah-sekolah banyak yang memprihatinkan. Kualitas gurujuga mengalami hal yang sama.Semoga sisa anggaran ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Apabila kita menyadari unas ini tetap dibutuhkan, sudah selayaknya wacana ini tetap dilanjutkan. Namun digarisbawahi, diperlukan kebijakan pemerintah terkait peningkatan mutu sarpras sekolah, siswa dan guru. Sebaliknya, jika unas tidak dibutuhkan, seyogyanya dilakukan penghentian sementara (moratorium). Perlu dipikirkan, mengubah unas menjadi USBN justru menimbulkan blunder.Pertama, kurangnya persiapan. Minimnya sosialisasi atau pelatihan untuk guru membuat soal sesuai standar Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dapat diindikasikan sebagai kurangnya persiapan USBN. Kedua, membengkaknya anggaran. Tak dapat dipungkiri meskipun USBN pada awalnya dirancang berbasis komputer namun belum diimbangi jumlah sekolah yang siap dari segi sarprasnya. Masih banyak sekolah yang belum siap. Alih-alih menghemat anggaran justru dapatmenimbulkan sebaliknya. Sebab keputusan itu berdampak pada 34 provinsi yang mengurusi jenjang SMA atau sederajat. Juga berdampak pada 416 kabupaten dan 96 kota. Masing-masing pemprov dan pemda akan sibuk membuat butir soal, kisi-kisi soal, mencetak sekaligus mendistribusikannya.Tidak mudah melakukan hal ini dalam waktu yang singkat. Harus ada perencanaan yang matang dan seksama.
Sarana dan Prasarana Sekolah
Sarana dan prasarana sekolah yang mengkhawatirkan perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah, khususnya Kemdikbud.Terkait hal ini, diungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Sarana Prasarana Komisi X DPR RI dengan perwakilan organisasi profesi guru di Gedung Nusantara I DPR RI, Senin (28/11).Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia(FSGI), Retno Listyarti memaparkan buruknya fasilitas belajar di beberapa daerah. Lebih lanjut Retno mengungkapkan ada sekolah yang memiliki toilet yang buruk.Bau toiletnya tercium dari jarak jauh. FSGI juga menyoroti kondisi ruang belajar yang tidak layak dan minimnya jumlah guru dalam satu sekolah.
Memang tak dapat dipungkiri, sarana prasarana yang tidak layak dapat mengganggu jalannya proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Perlu kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah ini. Solusinya selain dengan alokasi sisa anggaran USBN, dapat menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan perusahaan swasta untuk memperbaiki sarpras sekolah di daerahnya masing-masing. Tentu saja melalui program Corporate Social Responbility (CSR) yang dimiliki masing-masing perusahaan. Bukankah mereka yang saat ini menduduki posisi penting di BUMN atau perusahaan swasta dulunya juga bersekolah? Seyogyanya pemerintah pusat dan daerah dapat pro aktif, salah satunya dengan meluncurkan program kemitraan ataumemorandum of understanding(MoU) dengan perusahaan. Intinya perusahaan yang sudah tergabung dalam MoUbersedia berbagi sebagian keuntungannya untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah di daerahnya.Tentu saja langkah mulia ini patut diperhitungkan sebagai solusi alternatif.
Kualitas Guru
Rendahnya kualitas guru Indonesia amat memprihatinkan. Menurut data dari UNESCO pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan komponen penting dalam pendidikan yaitu para guru menempati posisi ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Miris sekali! Indonesia yang pernah mendidik guru dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, kini kualitasnya justru terpuruk di bawahnya.
Akses Internet
Akses internet yang terbatas di beberapa daerah khususnya daerah terpencil perlu disoroti. Kemdikbud bisa menggandeng instansi terkait untuk mengatasi hal ini. Misalnya Kemdikbud mengadakan memo of understanding (MoU) dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi.Adanya peningkatan akses informasi ini diharapkan memudahkan akses meningkatkan sarpras sekolah terutama terkait teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Harapan
Jika Unasmenjadi USBN, diharapkan berdampak positif.Pertama, meningkatkan sarana prasarana (sarpras) sekolah. Kedua, meningkatkan kualitas guru. Ketiga, meningkatkanproses pembelajaran di sekolah dalam penerapan TIK. Empat, adanya pergeseran paradigma, yang dulunya mementingkan hasil bergeser memperhatikan prosesnya.

                                                                                                     –———— *** ————–

Tags: