Unas-Kedaulatan Guru, SBMPTN-Calon Guru

eka sugeng ariadi (2)Oleh :
Eka Sugeng Ariadi
Mahasiswa Pascasarjana Unisma

Dalam medio tahun 2015, dunia pendidikan di negeri ini akan menghelat ‘hajatan’ besar, pertama; Ujian Nasional (Unas) dan yang kedua, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Bicara tentang yang agenda yang pertama, apapun namanya kelak entah Ujian Nasional atau Evaluasi Nasional, dikerjakan secara online (paperless) atau offline (paper test), mau paket soal sejumlah 20 jenis atau hanya 2 jenis, masyarakat sudah sangat berharap, rutinitas tahunan ‘hajatan’ ini semakin bertambah berkualitas dalam penyelenggaraan dan hasilnya. Sebab, meski negara ini telah menyelenggarakan unas selama bertahun-tahun, faktanya permasalahan klasik tetap saja sulit diselesaikan dengan baik, seperti terlambatnya distribusi naskah soal di beberapa provinsi, ‘bocornya’ naskah soal yang dilakukan oleh oknum penyelenggara unas sendiri, politisasi beberapa item soal unas, dan lain-lain. Sungguh ironis dan miris, bila unas pada tahun ini akan bernasib lebih buruk daripada yang telah lalu.
Terobosan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan saat ini adalah memastikan unas 2015 tidak lagi menentukan kelulusan. Unas SMA yang akan dihelat tanggal 13 – 15 April 2015, dan SMP pada tanggal 4-6 Mei 2015, kelulusan siswanya murni ditetapkan oleh guru dan sekolah. Artinya Kemendikbud telah mengembalikan kedaulatan guru untuk mengevaluasi siswa seperti pada beberapa tahun yang lalu.
Menarik dicermati beberapa alasan Kemendikbud menghapus kebijakan unas sebagai penentu kelulusan siswa, antara lain: banyak laporan perilaku kecurangan untuk “menyukseskan” unas. Kemudian, perilaku negatif teaching to test, yakni pembelajaran dengan menitikberatkan latihan soal-soal unas.  Lalu, siswa juga menjadi korban kecurangan dan mengalami stres yang berlebihan. Semua itu dipicu sifat Unas sebagai high-stake testing artinya ujian yang beresiko tinggi (JP, 25/1/2015). Alasan ini sudah menjadi rahasia umum yang tidak perlu ditutup-tutupi lagi, dan bila tetap dilanjutkan maka praktik kecurangan-kecurangan itu akan menjadi rutinitas (baca: dosa) tahunan. Parahnya lagi, ketidakjujuran ini sudah sistematis dan masif atas perintah dari pimpinan/atasan lembaga pendidikannya. Kejujuran yang didengung-dengungkan dan bahkan peserta ujian menuliskan kata kejujuran itu dalam lembar jawaban komputernya, tak lebih hanya sekedar formalitas yang dikhianati sendiri. Wajar dan sudah sepantasnya bila kemudian kebijakan menghapus unas sebagai penentu kelulusan ini dihapuskan.
Sebagai gantinya, sekolah dan guru diberikan kebebasan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didiknya sendiri, dan penilaian kelulusan siswa tidak hanya mengacu pada penilaian seluruh mata pelajaran tetapi juga perilaku siswa selama menempuh studi. Pesan Anies, pihak sekolah dan guru wajib menjaga kualitas penilaian akhir dari peserta didiknya, dengan berdaulat itu bukan berarti lantas pihak sekolah dan guru asal-asalan dalam memberikan nilai, yang penting lulus. Kedaulatan yang diberikan harus benar-benar menjadi langkah awal meningkatkan kualitas peserta didik, bukan sebaliknya. Stake holder pendidikan di lembaganya masing-masing harus mengawal dan turut menyukseskan penyelenggaraan unas tahun ini menjadi lebih baik, lebih manusiawi seperti yang dicita-citakan bersama.
Hajatan yang kedua adalah SBMPTN. Penulis ingin memfokuskan pada program pemerintah dalam menghasilkan calon guru yang berkualitas. Karena ditangan seorang guru yang berkualitaslah, sumber daya manusia (SDM) di negeri ini dipertaruhkan, termasuk sukses tidaknya unas diatas. Oleh karenanya, penulis merasa sangat berkepentingan mengingatkan semua pihak tentang proses SBMPTN ini. Abduhzen (Kompas, 26/1/2015) tak kalah memberikan warning tegas dengan mengutip hasil riset Profesor Beeby pada awal tahun 1970-an bahwa persoalan kronis pendidikan di Indonesia di antaranya praktik (mengajar) di kelas yang membosankan. Fakta ini seakan menguat dengan laporan Kemendikbud di tahun 2012 yang lalu, bahwa prestasi guru dari hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) menunjukkan hanya 42,25% guru yang dinyatakan kompeten dan bila dilihat nilai rata-rata guru dalam Uji Kompetensi Guru (UKG) hanyalah 47,6.
Tak hanya angka-angka tersebut yang membuat miris dunia pendidikan kita, akan tetapi opini yang berkembang belakangan ini, telah terjadi pergeseran motivasi lulusan SMA untuk menjadi seorang guru. Imbas dari adanya sertifikasi guru dan dosen, disinyalir merubah paradigma profesi guru yang pertama dan utama yaitu pengabdian (mendidik dengan sepenuh hati) menjadi paradigma mengejar aspek perekonomian, masalah pengabdian menjadi urusan belakangan. Apalagi, riset Bank Dunia di tahun 2009 – 2011, menunjukkan upaya profesionalisme guru dengan sertifikasi portofolio selama ini tidak berimplikasi pada peningkatan kualitas guru dan kualitas hasil belajar murid. Kegiatan itu hanya memperbaiki ekonomi guru dan meningkatkan minat menjadi guru, tetapi tidak berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme dan atau kenerja guru. (M. Abduhzen, 2015).
Kesimpulannya, pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini harus melangkah tegas dan tepat. Diolah dari berbagai sumber, Rochmat Wahab (Rektor UNY) selaku Ketua Panitia Nasional SBMPTN 2015, mengakui bahwa masih akan mengembangkan seleksi khusus untuk calon mahasiswa guru. Karena, hal itu belum bisa dilaksanakan untuk tahun ini. Padahal secara terpisah, Kepala Sub-direktorat Pendidikan Tinggi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Al-Humami mengatakan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, penguatan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) menjadi salah satu strategi meningkatkan mutu pendidikan nasional. Tidak salah bila kemudian Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Patdono Suwignjo mengatakan, LPTK sebagai pendidik calon guru melalui reformasi dan penguatan kurikulum akan ditingkatkan dengan mengembangkan seleksi khusus untuk calon mahasiswa yang memenuhi kriteria sebagai guru.
Cukup banyak jumlah LPTK di negeri ini, berdasarkan Data Pokok Pendidikan Tinggi Ditjen Pendidikan Tinggi, hingga tahun 2015 terdata ada 4.190 program studi bidang pendidikan. Jumlah LPTK yang memiliki program studi pendidikan mencapai 415 LPTK. Maka dari itu, peningkatan mutu pendidikan calon guru melalui penguatan LPTK menjadi hal yang mutlak, kedepan diharapkan akan menjamin ketersediaan calon-calon guru bermutu dan terstandarisasi di semua jenjang pendidikan dan di perguruan tinggilah fokus kebijakan ini disandarkan lima tahun ke depan.

                                                                         ————————- *** ————————–

Tags: