UNBK dan Nilai Kemanusiaan Pembuat Kebijakan

Oleh :
Ahmad Muhli Junaidi
Guru Sejarah di SMA 3 Annuqayah dan di SMA Assalam, Pakong, Pamekasan.

Perkembangan dunia yang semakin canggih, harus disikapi dengan pola berpikir canggih pula. Modernitas yang membungkus kecanggihan peradaban kini, harus disikapi dengan kemampuan iptek yang memadai. Globalisasi yang membuat dunia terlipat, sebagaimana bahasa Prof. Yasraf Amir Pilliang, harus dapat diambil manfaat-manfaatnya untuk kemajuan landasan pendidikan kita. Kecanggihan iptek yang telah mengglobal ini harus dikuasai pula oleh peserta didik kita dengan baik dan tepat. Bila mereka dapat menguasainya, dapat dipastikan mereka menjadi penggendali hasil IPTEK ini, bukan malah sebaliknya, dikendalikan oleh arus globalisasi. Tentu saja, apabila mereka menjadi pengendali dan mengaturnya dengan cermat, akses negatif dari zaman modern ini dapat mereka filter.
Sebagai produk iptek penggunaan komputer tak bisa terelakkan lagi. Sangat wajar bila setiap pelayanan publik, seperti KTP, SIM, NPWP, NUPTK, dan semacamnya telah terkomputerisasi dengan rapi, dan telah memudahkan masyarakat penggunanya. Untuk menunjukkan bahwa peserta didik kita lahir di zaman komputer maka sangat wajar pula jika perangkat pembelajaran pun menggunakan komputer. Pada tahap inilah, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) mempunyai landasan berpikir yang sangat kuat, dan perlu diapresiasi oleh semua komponen yang bergiat dalam dunia pendidikan. Semuanya untuk mengangkat derajat bangsa ini sesuai dengan zamannya. Perlu dingat kembali, Nabi junjungan kita pun pernah memberikan nasihat yang sangat popular hingga kini, yakni “didiklah anak-anakmu sesuai dengan kondisi zaman yang melingkupi anak-anakmu itu”.
Hanya saja, problematika terkait UNBK ini, adalah kurang meratanya akses terhadap komputer. Ketimpangan inilah yang perlu di atasi sesegera mungkin oleh pemerintah terkait agar peserta didik, pun juga para pendidiknya, tak mengalami kesulitan yang berarti. Pemerintah perlu meniru beberapa negara yang telah menjalankan ujian berbasis komputer, negara-negara itu terlebih dahulu melengkapi alat-alat teknologi ini sampai ke pelosok-pelosok negeri mereka, misalnya Malaysia. Jangan diharap UNBK akan berhasil, bila alat-alatnya tidak ternikmati pembelajar yang ada di Papua, Flores, Maluku dan lain-lain. Pemerintah tentu tidak boleh latah dengan para negeri jiran kita yang berhasil dalam proses ujian berbasis komputerisasinya.
Dampak Pelaksanan UNBK
Bukan cerita khayal, jika selama ini, yakni selama Ujian Nasional dijadikan ajang atau syarat kelulusan peserta didik, berbagai bentuk manipulasi  soal secara massif terjadi. Muruah dunia pendidikan kita hancur. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, ketekunan, kedisiplinan, dan sebagainya, tumpas berkeping tiada bekas. Semuanya, berhulu pada kekhawatiran ‘tidak lulus UN’. Bukan hanya itu, teknologi barcode yang hendak melindungi soal UN dari tindakan kecurangan tidak banyak membantu karena telah diantisipasi dengan aplikasi pembaca barcode tersebut. Setali tiga uang, si pembuat aplikasi untung karena sering diunduh, sementara pengelola pendidikan sangat bersyukur bisa tetap membobol soal, dan dinas terkait senyum sumbringah melihat hasil UN di wilayah babatannya tak ada yang tak mencapai angka kelulusan terendah, kecuali yang tidak ikut UN itu sendiri. Semua siswa mencapai rentang nilai dari 7,50 s.d 9,90, atau bahkan 10,00. Luar biasa hebat dunia pendidikan Indonesia.
Dengan beralih pada sistem UNBK, di mana soal tersebut muncul dari aplikasi yang telah dibuat Kemendikbud, dan hanya bisa dibuka oleh siswa yang bersangkutan, maka tindak kecurangan terhadap UN itu sendiri bisa dikikis habis, sampai suatu saat ada peretas atas UNBK. Penulis masih berkeyakinan seperti itu sebab aplikasi soal UNBK buatan Indonesia masih steril dari bentuk peretasan. Tapi penulis terlanjur khawatir, sebab dalam dunia teknologi, sang peretas satu langkah lebih maju. Bisa saja, ulah para jago-jago teknologi komputer itu yang notabene anak-anak Indonesia juga dan kebanyakan masih mahasiswa, suatu saat dapat membobol aplikasi soal UNBK, dan menyebarkannya ke lembaga-lembaga yang telah menghilangkan kejujuran. Tak ada gunanya lagi UNBK.
Jika ini terjadi, UNBK harus dihapus saja. Agar rasa pesimistis penulis tidak akan terjadi, dan mudah-mudahan tidak pernah terjadi, maka pembuat aplikasi UNBK, dalam hal ini tentu Kemendikbud, senantiasa pemperbaharui hak patennya ini dan memagarinya dengan sistem kendali yang mempuni. Masak guru kalah sama murid, lucu jadinya.
Memanusiakan Peserta Didik
Jawa Timur telah menyatakan siap 100% menggunakan UNBK pada tingkat menengah atas (SMA/MA/SMK). Kesiapan tersebut harus didukung dengan sepenuh hati oleh para pendidik di tingkatan itu. Sebab, pada tingkatan ini peserta didik telah memahami dengan baik seluk-beluk komputer. Cuma saja, masih terlalu banyak sekolah-sekolah di pedesaan, sebagaimana tempat penulis mengajar, belum ada perangkat komputer secara penuh guna mendukung UNBK. Solusinya, para siswa tersebut harus bergabung dengan sekolah-sekolah negeri kota, atau minimal SMA Negeri di kecamatan yang lebih tersedia akan alat-alat itu.
Pada tahap itulah, UNBK 2017 ini terkesan sangat dipaksakan. Semua sekolah tingkat atas se Jawa Timur harus mengadakan UNBK, tak peduli dengan sekolah-sekolah terpencil di kepulauan, misalnya SMA/MA di Masalembu, Kangean, Poteran, Sepudi, Giliraja, dan lain-lain. Antisipasi mereka atas keharusan itu, menghijrahkan para peserta didiknya ke sekolah-sekolah yang lebih lengkap. Pengaruh lebih lanjut secara kejiwaan, keterasingan para siswa hijrahan itu di tempat barunya, baik karena lelah, atau sebab-sebab sosial-kulturalnya.
Apalagi lagi, UNBK 2017 ini terkesan dadakan, karena diwacanakan setelah pergantian menteri dari bapak Anis Baswedan kepada bapak Muhajir Efendi. Kebijakan ini menambah animo masyarakat semakin kuat, bahwa setiap ganti menteri maka akan berganti juga kebijakannya. Dari sudut pandang ini telah menimbulkan kekhawatiran, apakah UNBK ini akan langgeng, minimal sampai 2019?
Siswa adalah insan juga, sama dengan para pemantik kebijakan itu. Guru juga manusia, sama seperti mereka. Kita adalah sama-sama manusia yang punya pikiran dan hati. Jika mereka tahu lelah, kita pun mengalaminya. Jika mereka tahu susah, kita jelas sangat biasa melaluinya.
Semua itu terjadi karena kita manusia yang juga perlu merasa dimanusiakan. Janganlah karena mengejar target, lalu melupakan titik kemanusaian itu sendiri. Memanusiakan peserta didik tidaklah susah amat, cukuplah pemerintah memperhatikan kondisi lingkungan sosial mereka, insyaallah hal itu bagian dari sifat kemanusiaan ini. Bukankah amanah otonomi daerah mengajarkan demikian? Wallahu A’lam.

                                                                                              ————– *** —————

Tags: