Unesco Tetap Bromo, Arjuna dan Semeru Jadi Cagar Biosfer

Gunung Bromo

Gunung Bromo

Dongkrak Wisatawan Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Pemprov, Bhirawa
Upaya Pemprov Jatim agar kawasan wisata Bromo-Tengger-Semeru dan Arjuna semakin lebih mendunia mulai menampakkan hasil. Itu dibuktikan dengan pengakuan UNESCO yang menetapkan kawasan tersebut sebagai cagar biosfer. Selain Bromo-Tengger-Semeru-Arjuno Taka Bonerate-Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan juga mendapat mengakuan yang sama.
Penetan dari Unesco ini diharapkan bisa mendongkrak kunjungan wisatawan ke Bromo-Tengger-Semeru dan Arjuna. Sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi bagi warga sekitar. Selain itu destinasi wisata Bromo dan Semeru selalu dipromosikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Jatim ke dalam maupun luar negeri.
“Ada sebesar Rp 101 triliun sumbangan PDB  dari sektor pariwisata (setara 7,89%), terhadapa PDRB Jatim. Jumlah wisatawan mancanegara mencapai 460 ribu orang atau naik 40 %. Sedangkan wisata domestic ada 45 juta orang atau naik 16%,” kata Kadis Budpar Jatim,
Perlu diketahui, cagar biosfer adalah situs di darat, laut, atau pantai, yang dikelola secara inovatif dengan tujuan menyinergikan penduduk lokal dengan lingkungannya. “Pengakuan tersebut disahkan dalam sidang ke-27 International Co-ordinating Council Man and Biosphere Programme (ICC MAB) di Kantor Pusat UNESCO Paris Prancis,” kata Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jatim, Gatot Subektiono, dikonfirmasi, Minggu (14/6).
Menurut Gatot, kedua cagar biosfer yang baru diakui tersebut menjadi cagar biosfer kesembilan dan kesepuluh dari Indonesia yang menjadi anggota MAB UNESCO. Sementara delapan cagar biosfer Indonesia sebelumnya adalah cagar biosfer Cibodas (diakui tahun 1977), Pulau Komodo (1977), Lore Lindu (1977), Tanjung Puting (1977), Gunung Leuser (1981), Siberut (1981), Giam Siak Kecil-Pulau Batu (1981), dan Wakatobi (2012).
Gatot menjelaskan, tujuan akhir cagar biosfer adalah menggabungkan pelestarian keanekaragaman hayati dengan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, serta mempromosikan solusi lokal untuk memecahkan tantangan kemanusiaan yang dihadapi di wilayah tersebut.
Program MAB UNESCO diluncurkan sejak awal tahun 1970. Setiap tahun, ICC MAB yang terdiri dari 34 negara bersidang untuk mengesahkan penerimaan anggota baru MAB. Hingga saat ini, MAB UNESCO telah memiliki 631 anggota dari 119 negara, termasuk di dalamnya 14 cagar biosfer yang berada di lintas batas negara, antara lain danau Tonle Sap di Kamboja, Mare aux Hippopotamus di Burkina Faso, dan Pantanal di Brazil.
Pada Sidang ICC MAB tahun ini, selain dua cagar biosfer asal Indonesia, juga dibahas 24 proposal cagar biosfer lainnya dari 18 negara yang lain, yaitu Aljazair, Afrika Selatan, Argentina, Bolivia, Cina, Ethiopia, Honduras, India, Iran, Italia, Kazakhstan, Meksiko, Myanmar, Portugal, Prancis, Rusia, Spanyol, dan Vietnam.
Delegasi Indonesia dipimpin Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) LIPI sebagai Ketua Komite Nasional Program Man and the Biosphere (MAB) UNESCO untuk Indonesia, Prof. Dr. Enny Sudarmonowati didampingi Direktur Program MAB Indonesia, Prof Dr Yohanes Purwanto, mantan Wakil Kepala LIPI, Prof. Dr. Endang Sukara.
Selain itu Duta Besar/Deputi Wakil Tetap Indonesia untuk UNESCO, Prof. Dr. T. A. Fauzi Soelaiman juga hadir perwakilan Pemprov Jatim yang dihadiri Kepala Dishut Provinsi Jatim Gatot Subektiono, perwakilan Pemda Kabupaten Selayar, Bupati Wakatobi, dan perwakilan dari swasta hadir pada sidang International Coordinating Council (ICC) Man and the Biosphere (MAB) ke-27 UNESCO dari tanggal 8 hingga 13 Juni di kantor pusat UNESCO di Paris.
Kehadiran delegasi Indonesia dalam sidang kali ini sangat khusus karena pengumuman pengukuhan dua Cagar Biosfer Indonesia yang baru bersamaan dengan pengukuhan 16 Cagar Biosfer lain dari berbagai belahan dunia termasuk Argentina, Bolivia, Ethiopia, Honduras, Iran, Itali, Kazakhstan, Mexico, Myanmar, Afrika Selatan, Spanyol, Spanyol, Portugal, dan Vietnam.
“Penetapan ini mencerminkan kepedulian yang tinggi dari rakyat dan bangsa Indonesia terhadap pentingnya keberlanjutan kehidupan umat manusia di muka bumi ditengah terjadinya kemerosotan kualitas ekosistem yang jelas sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia,” ungkap Gatot. [iib]

Tags: