Oleh :
Dr Lia Istifhama
Aktivis Sosial
Fenomena kenakalan remaja menjadi atensi publik. Hal ini tentu patut, disebabkan kenakalan remaja menjadi rangkaian peristiwa yang merisaukan masyarakat luas. Baru-baru ini misalnya, kenakalan remaja terbungkus dalam tawuran, disertai senjata tajam seperti celurit besar, dan bom molotov. Tepatnya, di Johar Baru, Jakarta Pusat, pada 20/9/2023. peristiwa tersebut tentu memiliki potensi membahayakan banyak orang, karena potensi bahaya bom molotov atau bom rakitan, tidak bisa dianggap sepele.
Tentu, tawuran hanyalah satu contoh kenakalan remaja, diantara contoh lainnya yang tidak bisa diabaikan. Sebut saja, pembullyan, pencurian, aksi ngebut jalanan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan. Data yang dirilis Polri pun menyesakkan dada, bahwa angka kriminalitas anak sepanjang tahun 2022 naik 7,3 persen dibandingkan tahun 2021, yaitu meningkat dari 257.743 kasus pada 2021 menjadi 276.507. Jika dirata-ratakan, ada 31,6 kejahatan setiap jamnya. Sementara, penyelesaian perkara mengalami penurunan.
Fenomena inilah yang kemudian sangat layak dan penting untuk menjadi atensi besar saat ini, karena bukan hanya menyangkut pembentukan moral generasi penerus bangsa, tapi juga untuk menjaga keselamatan masyarakat sendiri.
Penanganan terhadap kenakalan remaja, tentu sudah dilakukan pemerintah, baik melalui hard aproach melalui sistem peradilan anak, maupun soft aproach dengan melakukan sekolah kebangsaan kepada anak-anak yang terjerat razia kenakalan remaja. Diantaranya yang dilakukan Pemkot Surabaya pada Februari 2023. Pendekatan soft aproach lainnya tentu yang telah dijalankan oleh lembaga pendidikan selama ini, yaitu melalui keberadaan guru Bimbingan Konseling. Bahkan, pemerintah saat ini pun menggaungkan spirit revolusi mental untuk sekolah berkemajuan, sebagai bentuk penguatan character building melalui lembaga pendidikan.
Sedangkan penanganan hukum hard aproach melalui sistem peradilan anak, umumnya melalui konsep restorative justice, dimana semua pihak yang terkait dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi terhadap pihak korban dan pelaku hukum. Sisi humanisme memang dikedepankan, yaitu dengan mempertimbangkan masa depan anak yang menjadi pelaku kejahatan, namun cara ini kadang tidak sepenuhnya efektif untuk membentuk mental pelaku agar tidak melakukan kejahatan serupa, jika tidak diimbangi dengan pembinaan khusus yang menjadi efek jera bagi si pelaku.
Pada akhirnya, masih maraknya kenakalan atau kejahatan yang dilakukan remaja, menjadi menjadi problematika penting untuk dikaji bersama. Karena kejahatan tidak pernah diberantas secara tuntas, melainkan hanya dapat dicegah, dikurangi atau ditanggulangi. Dijelaskan oleh Mardjono Reksodiputro, menegaskan bahwa pencegahan kejahatan mencakup segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan maupun setelah terjadinya kejahatan, yaitu sistem peradilan.
Pun begitu pada kenakalan remaja, bahwa salah satu bentuk pencegahan adalah upaya abolisionistik, yaitu menanggulangi kejahatan melalui menekan sumber yang menjadi penyebabnya. Upaya inilah, yang bisa terbentuk melalui proses character building, atau pembentukan mental anak. Diantaranya, dapat ditempuh melalui proses tahapan resiliensi diri, yaitu sebagai berikut:
1. Internalisasi kemampuan sebagai problem solver
Harus diakui, kita yang pernah melalui masa remaja, pasti pernah mengalami fase pencarian jati diri atau problem psikis saat menghadapi masalah. Hal inilah yang penting untuk dicermati bersama, bahwa anak-anak atau remaja, mulai belajar menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Anak-anak yang tidak mampu menyelesaikan masalah, tentu memiliki potensi lari dari masalah dan terjebak dalam potensi kenakalan remaja sebagai jalan keluar yang mereka ambil saat mereka putus asa terhimpit masalah atau sedang dalam problematika psikis. Sedangkan dalam Islam, dijelaskan: “Putus asa adalah akhlak yang buruk.” (HR. Imam Thabrani).
Ditarik dari teori Grotberg, bahwa ada tiga hal yang membentuk resiliensi, atau situasi bangkit menyelesaikan masalah, yaitu aspek “I have”, “I can”, dan “I am” (Grotberg, 1999). I am adalah sumber resiliensi yang berisi tentang sikap, kepercayaan diri dan perasaan seseorang, seperti sikap optimis, sikap menghargai, dan empati. I can adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh seseorang seperti kemampuan interpersonal, yaitu cara berkomunikasi dengan orang lain atau berinteraksi dengan orang lain untuk kemudian ia ambil hikmah sebagai proses memecahkan masalah, dan I have adalah sesuatu yang dimiliki seseorang yaitu berupa dukungan dari keluarga atau orang sekitar.
Dari ketiga aspek tersebut, seorang anak tentu tidak bisa menyelesaikan masalah hanya dengan aspek I am atau self efficacy, melainkan sangat dipengaruhi oleh aspek I have. Dan disinilah kita harus mengakui, betapa sangat signifikan peran orang di sekitar sebagai supported system dalam kehidupan anak. Contoh dalam karakter I am, bahwa keyakinan yang dimiliki anak, yaitu pondasi agama dengan halal haram, maupun tentang internalisasi norma, tak lepas dari didikan serta dukungan keluarga.
2. Dukungan Keluarga (gemeinschaft)
Dukungan keluarga tentu menjadi pembentuk mental anak bahwa ia dicintai dan dibutuhkan. Dengan begitu, segala tindakannya pun akan memiliki unsur tanggung jawab. Sebagai contoh, anak akan terbentuk memiliki mental mawas diri karena segala tindakannya memiliki dampak pada orang di sekitarnya, terutama keluarga yang mendukungnya.
Ikatan keluarga, dijelaskan oleh Francis Fukuyama, disebut gemeinschaft. Dalam teori Fukuyama, modernisasi atau perkembangan jaman telah mengubah bentuk asosiasi, yaitu yang semula gemenschaft, menjadi gesselschaft, yaitu ikatan yang terbentuk atas dasar kesamaan lingkungan sosial, sekolah, hobi, profesi, dan sebagainya. Sebagai contoh yang dialami anak-anak, bahwa tidak sedikit anak-anak yang memiliki kedekatan dengan teman sepermainan yang memiliki perbedaan usia. Dalam hal ini, banyak anak-anak yang kemudian dekat dengan teman baru yang ia hanya mengenal melalui sosial media, sedangkan usia teman dunia maya tersebut, jauh di atas usia si anak.
Sedikit menyinggung sosial media, bahwa platform sosial media terlihat tidak memiliki filterisasi yang kuat. Terbukti, ragam konten pornografi maupun aksi sosial, selalu mewarnai sosial media. Sedangkan, konten tersebut sangat memancing keingintahuan anak-anak sehingga sangat berpotensi merusak pikiran anak-anak dan sekaligus pergaulan sosial anak-anak yang seharusnya dientik dengan dunia belajar dan bermain sesuai usia.
Potret ini tentu membutuhkan peran penting keluarga sebagai kontrol sosial untuk anak mereka dan sekaligus filterisasi dalam pergaulan si anak. Tentu, fungsi keluarga hanya akan efektif jika keluarga mampu mendedikasikan diri mereka sebagai sahabat sejati untuk anaknya. Dengan begitu, anak akan lebih memiliki tanggung jawab dalam bertindak dan tentunya, kepercayaan keluarga kepada potensi dan minat si anak, akan menjadi stimulus untuk anak berkarya tanpa harus melakukan tindakan yang salah hanya karena si anak bertujuan mencari pengakuan diri.
Keluarga sendiri, tidak kemudian terhenti sebagai pemegang sentral peran dalam internal keluarga, melainkan juga memiliki tanggung jawab di lingkungan sosialnya. Itu kenapa, tahapan lain dalam menekan kenakalan remaja, adalah situasi lingkungan sosial.
3. Lingkungan sosial sebagai penguat modal sosial
Membentuk mental anak agar terhindar dari karakter kenakalan remaja, juga sangat dipengaruhi lingkungan sosial. Dan institusi terkecil, yaitu keluarga, memiliki peran dalam membentuk lingkungan sosial, yaitu peran membentuk kepercayaan sesama keluarga dalam sebuah lingkungan sosial, menguatkan kepedulian satu sama lain, dan juga proses adaptasi di dalam lingkungan sekitar.
Dijelaskan oleh James S. Coleman dalam Social Capital in the Creation of Human Capital, bahwa pada masyarakat yang hidup di jalanan, mereka tidak memiliki rasa saling percaya maupun peduli, sehingga jika ada anak tetangga mereka yang hilang, maka mereka pun enggan menolongnya.
Adapun dari tiga tahapan tersebut, maka proses membentuk mental anak, akan mencapai keberhasilan, yaitu mental anak sebagai pemilik karakter yang tidak merasa kesepian, tidak rendah diri, dicintai dan mencintai, hingga dukungan atau kepercayaan untuk berkarya.
Namun, saat kita tarik secara makro, maka mental yang baik yang dimiliki anak, tetap memiliki potensi mengalami degradasi mental jika berada pada situasi negara yang tidak baik. Sebagai contoh, situasi perang maupun kemiskinan. Seperti yang dikatakan Barnest dan Teeters bahwa kejahatan dapat ditanggulangi apabila
keadaaan ekonomi dikembalikan ke arah yang lebih baik.
Problem ekonomi juga, yang pasti menjadi terhambatnya proses pembelajaran, terutama pembelajaran berbasis contextual learning, yaitu konsep belajar yang dikaitkan dengan kehidupan nyata, dengan tujuan siswa mencapai karakter yang mampu menyelesaikan masalah (Problem Based Learning). Sedangkan ketersediaan ilmu-lah, yang mampu membentuk kebaikan karakter anak. Dalam sebuah hadis diterangkan: “Orang yang berilmu dan orang yang belajar ilmu adalah dua sekutu dalam kebaikan, dan manusia selebihnya tiada kebaikan pada mereka.” (HR. Imam Thabrani).
Dan sekali lagi, problem ekonomi juga sangat ampuh merusak situasi sosial suatu bangsa. Dijelaskan oleh Ibnu Khaldun (1377 M), bahwa terdapat tahap situasi sosial masyarakat. Situasi sosial pertama, yaitu masyarakat dengan solidaritas yang tulus tunduk pada otoritas kekuasaan. Kedua, Sebagian masyarakat yang telah diuntungkan secara ekonomi dan politik oleh penguasa sehingga tidak peka dengan kepentingan umum serta terjadi kesenjangan. Sedangkan situasi ketiga adalah rusaknya negara. Dalam hal ini, masyarakat tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara sehingga melakukan apapun tanpa memperdulikan nasib negara.
Salah satu bentuk rusaknya tahapan sosial tersebut, tak lain karena problem ekonomi, seperti: korupsi ataupun penguasaan uang rakyat oleh segelintir orang. Ditarik pada era revolusi global saat ini, bahwa kejahatan tersebut telah tumbuh subur, yaitu diantaranya berkedok pinjol ilegal maupun judi online yang hanya mengeruk uang masyarakat. Multiplier effectnya sangat jelas, yaitu kegelisihan para orang tua yang mengalami situasi ekonomi buruk sehingga gagal memberikan dukungan terhadap anak.
Dikembalikan pada tahapan resiliensi diatas, maka aspek ‘I have’ dan ‘I can’ yang dimiliki anak pun, akan gagal. Sedangkan anak belum mampu mencapai self efficacy untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Akhirnya sangat jelas, menekan potensi kenakalan remaja melalui abolisionistik, adalah hal mustahil. Oleh sebab itu, peran negara dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi, adalah mutlak dalam mereduksi kenakalan remaja.
———— *** ————-