Upaya Menangkal Ajaran Radikal di Kampus

Oleh :
Maswan
Penulis adalah dosen Unisnu Jepara, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jateng 

Lagi-lagi tentang teroris. Mereka tidak memiliki nurani kecintaan, toleransi dan kedamaian, dan yang ada dalam diri mereka seolah-olah hanya ada kebencian dan permusuhan. Nilai-nilai kemanusiaan hilang ditelan oleh ambisinya yang merasa superior mengklaim kebenaran hanya miliknya. Dan yang lebih tidak bisa diterima oleh akal sehat adalah mereka tidak merasa berdosa setelah membunuh dan membumihanguskan tatanan kehidupan ini.
Kita tidak bisa memahami filosofi hidup teroris. Mengapa ada sekelompok orang yang merasa senang kalau orang lain terancam dan mereka merasa puas kalau bisa membunuh orang lain. Apa sebenarnya yang menjadi sandaran keyakinan bahwa hidup ini harus membikin onar dan kericuan? Apa sejatinya tujuan hidup di dunia, hingga melakukan tindakan tidak beradab dengan cara membunuh orang yang tidak berdosa? Ajaran dari agama apa yang dianutnya, hingga berbuat dhalim terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara?
Para teroris tidak pernah akan berhenti berbuat keonaran dan kejahatan di muka bumi. Mereka, menganggap diri, sebagai orang yang bersih dan suci, sementara orang lain di luar kelompoknya dianggap sesat dan harus dimusnahkan. Dan yang tidak dapat diterima akal sehat, orang lain yang tidak sesuai dengan keimanan mereka harus mati dari tangannya, dengan angkuh akhirnya mengklaim sebagai seorang yang berjihad fiisabilillah.
Terorisme adalah pengikut faham Islam garis keras yang mengingkari syariat Islam yang dibawa Rasulullah. Para pemimpin dan pengikut Islam yang kini melakukan teror, adalah orang yang ingkar terhadapa agamanya sendiri. Mereka salah memahami tentang syariat Islam yang universal dan mendalam dari sumber ajaran yang sebenarnya.
Seperti yang ditulis oleh Saudari Ani Sri Rahayu, di harian ini, bahwa timbulnya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme sama sekali tidak berasal dan tidak bersumber dari ajaran agama yang sangat sakral dan bersifat ilahiah. Akar-akar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di kalangan minoritas kelompok agama lebih disebabkan oleh eksklusivitas pemaknaan agama, rigiditas penafsiran teks-teks kitab suci, truth claim (klaim kebenaran) agama secara picik, sempit, dan berlebih-lebihan, kesenjangan sosial ekonomi, dan radikalisasi-politisasi-ideologisasi agama. (Bhirawa, 21/5/2018),
Dalil masuk surga menurut mereka (teroris) setelah membunuh orang dan mereka menganggap jihad fisabilillah, itulah barangkali yang membuat mereka nekad melakukan teror dengan cara membunuh. Peristiwa kerusuhan dan keonaran dengan meledakkan bom di berbagai wilayah di dunia ini, membuktikan bahwa teroris tidak pernah berhenti.
Dalam rangka untuk merekrut anggotanya mereka terus menyusun strategi dan menyusup di berbagai lini kehidupan dengan cara membuat aksi kebencian. Sasarannya adalah kepada siapapun yang berpikiran labil dan mereka yang merasa kecewa, serta secara psikologi mereka yang tidak nyaman dengan kemapanan. Gerakan mereka sudah mulai merambah ke birokrasi pemerintahan, lembaga-lembaga negara (DPR) dan bahkan ke lembaga pendidikan tinggi, di kampus-kampus.
Hal tersebut seperti yang dilansir oleh harian di Jawa Tengah (SM, 5/6), bahwa selama ini (teroris) menyasar ke aparat dan kantor kepolisian yang dianggap sebagai musuh, sekarang mulai beralih ke gedung DPR, DPRD, dan kampus-kampus yang menjadi sarang intelektual. Peralihan sasaran itu dimungkinkan sebagai perluasan target. Muncul pendapat, sasaran ke DPR karena teroris ingin mengancam kehidupan demokrasi yang terbangun baik di negeri ini. Pelaku teror ingin merusak nilai-nilai persatuan yang menjadi karakter bangsa.
Bahkan kini kehidupan kampus nyata-nyata dimasuki pelaku teror setelah aparat Densus 88 menangkap sejumlah orang. Terbaru, kesatuan antiteror menangkap tiga orang di Unversitas Riau yang dicurigai aktivitasnya berafiliasi dengan jaringan Jemaah Ansharut Tauhid (Suara Merdeka, 4/6). Sebelumnya, aparat kepolisian juga menetapkan seorang pegawai negeri Universitas Sumatra Utara terkait ujaran kebencian. Undip juga memberhentikan seorang dosen terkait dengan unggahan di media sosial yang ramai diberitakan media massa.(SM, 5/6)
Mari kita dukung aparat kepolisian untuk melawan terorisme, sekalipun harus masuk kampus membawa senjata. Penghuni kampus, juga tidak boleh tidur dan takut melawan faham-faham radikalisme yang berpotensi untuk menjadi teroris. Semua sivitas akademika, berupaya untuk membentengi diri dari dengan ajaran agama yang lurus, agama yang menyelamatkan, damai yang rahmatal lil alamain.
Untuk antisipasi agar kampus tidak kecolongan dan dimasuki ajaran-ajaran radikalisme, maka sejak awal semua sivitas akademika diberi pembekalan tentang bahaya ajaran radikalisme. Bagi dosen, saat rekruetmen dilakukan dengan ketat, dan diseleksi melalui rekam jejak kehidupan organisasi keagamaan yang diikutinya sejak mahasiswanya.
Bagi mahasiswa, dibekali tentang materi bahaya faham radikalisme, ujaran kebencian dn terorisme pada Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Dan dalam proses pembinaan kemahasiswaan melalui organisasi dilakukan memantauan secara maksimal agar tidak terjerumus ke ajaran sesat oleh para pemimpin perguruan tinggi.
Orang tua di rumah juga ikut memantau anaknya dengan cara mengarahkan agar memilih organisasi kemahasiswaan yang sesuai dengan ketentuan baku yang di dilegalkan oleh perguruan tinggi di mana mereka kuliah.
——– *** ———

Tags: