Urbanisasi Tak Terkendali, Warga Harus Ekstra Waspada

urbanisasiPemkot Surabaya, Bhirawa
Masyarakat harus ekstra waspada atas arus urbanisasi yang tak terkendali paska dihapuskannya  Surat Keterangan Tempat Tinggal  Sementara (SKTS) per akhir Agustus  kemarin. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil)  sendiri ternyata tidak punya kewenangan untuk kewenangan memulangkan warga pendatang ke daerah asal jika kedapatan tidak memiliki kartu identitas sama sekali meski berkewajiban melakukan pendataan penduduk tak permanen.
Kepala Dispendukcapil Kota Surabaya, Suharto Wardoyo mengakui sudah tidak bisa melakukan tindakan tegas terhadap penduduk pendatang yang tidak memiliki kartu identitas sama sekali. Namun, ia berharap seluruh masyarakat pendatang harus mematuhi jikalau petugas melakukan pendataan penduduk
“Kami hanya bisa melakukan pendataan saja. Jika kedapatan penduduk pendatang yang tidak memiliki kartu identitas hanya diimbau dan diberikan tanda bukti pendaftaran,” kata Suharto saat ditemui Bhirawa di ruang kerjanya, Selasa (6/9) kemarin.
Ia menjelaskan, pihaknya kini tidak bisa melakukan penegasan terhadap kaum urban yang diindikasi bertindak asusila di dalam kamar kos. Pasalnya, selama yustisi yang dilakukan petugas gabungan, Dispendukcapil, Satpol PP, hingga menggandeng Badan Narkotika Nasional (BNN) selalu menemukan salah satu penghuni kos yang bermasalah.
“Kalau mereka penghuni kos suami istri tidak masalah, tapi kami tetap kami mintai akte nikah untuk beragama islam. Untuk non muslim, akte perkawinan. Kalau kedapatan penghuni kos yang tanpa ada hubungan suami istri, ya kita hanya data saja, tanpa diberikan sanksi. Jadi, yowes, kami bertugas sesuai instruksi Wali Kota,” ujarnya.
Sementara, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Hananto Widodo mengatakan, Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) merupakan alat pengendali kependudukan bagi Pemerintah Kota Surabaya. Sebab, menurutnya, ada persyaratan yang melekat untuk mendapatkan SKTS.
” Harus memiliki pekerjaan tetap, atau sedang dalam masa studi. Kalau tidak ada, SKTS tidak bisa diberikan,” katanya.
Bila SKTS ini dihapus, lanjutnya, hanya diganti dengan syarat kepemilikan Kartu Penduduk Elektronik (e-KTP) yang berlaku secara nasional, maka Pemerintah Kota akan kehilangan alat pengendali. Artinya, ketika jumlah urban semakin bertambah itu menjadi persoalan. “Oleh karena itu, harus ada semacam instrumen atau prosedur untuk melakukan pembatasan-pembatasan,” katanya.
Menurut Hananto, e-KTP dan SKTS seharusnya tetap menjadi bagian yang terpisah. Fungsi e-KTP menunjukkan bahwa pemiliknya adalah warga yang terdata di daerah tertentu di Indonesia. Warga tersebut, ketika menjadi urban (orang yang berpindah dari desa ke kota) memiliki tanggungjawab kepada pemerintah setempat untuk memenuhi syarat-syarat agar mendapatkan SKTS.
“Kalau hanya dengan e-KTP, orang bebas keluar masuk ke sini (Surabaya), ternyata tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak punya tujuan, ini akan menimbulkan masalah sosial bagi pemerintah daerah,” ujarnya.
Ia memisalkan, bisa saja orang itu menjadi pelaku kriminal. Apalagi, secara nasional pemerintah sedang mengupayakan penanggulangan radikalisme dan narkoba. “Nah, kita, terutama Pemerintah Kota Surabaya, membutuhkan SKTS ini sebagai alat pengendali,” ujarnya.
Perlu diketahui, setelah keluarnya Permendagri nomor 14 tahun 2015 tentang Pendataan Penduduk non Permanen, instruksi penghapusan SKTS juga telah diterbitkan oleh Wali Kota Surabaya. Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya telah meneken Instruksi Wali Kota Surabaya nomor 4 tahun 2016 tentang Penghentian Pelayanan SKTS.
Selain menghentikan pelayanan SKTS, surat instruksi Wali Kota Surabaya itu juga menyebutkan larangan pelaksanaan operasi Yustisi. Pada poin b, Wali Kota Surabaya menginstruksikan agar Dispendukcapil, Satpol PP, Camat, dan Lurah, tidak lagi melaksanakan penertiban penduduk non permanen dengan mendasarkan kepemilikan SKTS. (geh)

Tags: