Urgensi Amandemen Konstitusi di Tengah Pandemi

Oleh :
Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang

Topik mengenai amandemen konstitusi kembali menjadi bahan diskusi akhir-akhir ini. Meskipun beberapa pihak menolaknya, baik secara halus maupun terang-terangan, amandemen konstitusi yang kelima, tetap saja menarik untuk diperbincangkan. Terlebih, apabila melihat komposisi partai politik koalisi pemerintah dan oposisi. Dengan masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam gerbong koalisi pemerintah, akan semakin mempermudah rencana terhadap amandemen konstitusi. Partai politik oposisi hanya menyisakan Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara matematis jumlah kursinya di parlemen tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan partai koalisi pemerintah.

Isu amandemen konstitusi menjadi menarik karena adanya bumbu bahwa salah satu topik yang akan di rubah terkait masa jabatan Presiden. Sebagaimana kita ketahui, konstitusi kita mengatur batasan masa jabatan Presiden maksimal 2 periode. Regulasi tersebut, secara logis bisa mengakhiri jabatan Presiden Jokowi yang telah menjabat selama 2 periode. Pihak-pihak yang masih menginginkan Jokowi berkuasa, dengan lantang menyuarakan adanya penambahan masa jabatan Presiden, minimal menjadi 3 periode. Pihak-pihak tersebut didukung pula oleh lembaga survei politik ternama, yang dengan terang-terangan mendeklarasikan pasangan calon (paslon) Jokowi dan Prabowo di Pilpres tahun 2024 mendatang. Dua kubu yang berseberangan dalam 2 periode pemilu terakhir, yang kini sedang dalam masa bulan madu.

Secara hitungan matematis, koalisi pemerintah bisa dengan mudah melakukan apa saja, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Jangankan hanya melakukan amandemen terhadap konstitusi, membuat kebijakan yang tidak masuk akal-pun bisa dilakukan. Sebab demokrasi memberikan ruang terbuka melalui voting dan perhitungan jumlah kuantitatif untuk merubah sebuah keadaan. Yang awalnya biru bisa saja menjadi merah hanya karena semua orang memilih merah. Namun, di sisi lain, demokrasi juga masih memiliki rambu-rambu dasar, bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Otoritarianisme dan kesewenangan hanya akan membuat amarah rakyat semakin tidak bisa dikontrol. Tentu, kita tidak ingin kejadian di Guinea, sebuah negara kecil di benua Afrika, yang baru saja pemerintahan sah-nya di kudeta oleh militer.

Motif kudeta militer di Guinea adalah karena amandemen konstitusi mereka di tahun 2020 lalu, di mana salah satu poin pentingnya adalah membuka peluang bagi Presiden Guinea untuk menjabat dan terpilih lagi dalam periode yang ke 3. Dalam keterangan persnya, Ketua Pasukan Elit Militer Guinea, Mamady Doumbouya menyebutkan bahwa tindakan yang ia lakukan adalah untuk menyelamatkan rakyat Guinea dari kekuasaan yang hanya berpusat pada satu orang. Setali tiga uang, kondisi melanggengkan kekuasaan tersebut juga berpotensi besar melahirkan korupsi dan kroco-kroconya. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Kekuasaan absolut berpotensi besar melahirkan kasus korupsi. tentu kita tidak bisa menutup mata dari fakta sejarah, bahwa 32 tahun era Orde Baru telah melahirkan banyak kekacauan dan kasus korupsi menganga begitu lebar. Pasca reformasi, kasus korupsi juga banyak menghiasi dalam politik dinasti. terbaru, yang terjadi di Kabupaten Probolinggo. Sehingga, pilihan untuk melanggengkan kekuasaan, berpotensi besar untuk melahirkan kekacauan dalam bingkai revolusi (baik melalui kudeta militer atau aksi dari rakyat seperti peristiwa 98) ataupun berakhir di penjara sebagai pesakitan tahanan koruptor. Oleh karenanya, topik mengenai penambahan masa jabatan Presiden melalui amandemen konstitusi menjadi isu basi, yang apabila dipaksakan akan semakin meningkatkan amarah rakyat di tengah pandemi yang serba sulit seperti sekarang ini.

Akan tetapi, amandemen konstitusi bisa jadi sebuah pilihan, apabila topik yang ingin di rubah, bukan berkaitan dengan penambahan masa jabatan Presiden. Beberapa isu strategis bisa di rubah atau ditambahkan dalam konstitusi kita. Misalnya, terkait kegawatdaruratan menghadapi bencana, baik alam maupun non-alam. Dunia saat ini sedang bergotong royong untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir. Vaksinasi yang dilakukan belum bisa memenuhi target herd immunity. Landasan hukum melalui Undang-Undang Kekarantinaan maupun Penanggulangan Bencana, juga seringkali di simpangi dalam beragam produk hukum turunan. Sehingga, untuk menghadapi hal bencana alam dan non-alam, rasanya perlu agar konstitusi mengatur hal tersebut sebagai guidance nantinya dalam pembentukan dna penysuunan produk hukum turunan untuk menghadapi hal ikhwal kebencanaan. Sebab, kita tentu tak bisa memprediksi di masa yang akan datang, akan ada wabah atau bencana lain yang harus dihadapi oleh bangsa ini (yang tentu kita tidak berharap adanya bencana tersebut).

Melalui amandemen konstitusi dengan menambahkan regulasi tentang penanggulangan bencana (termasuk menyikapi hal ikhwal kegawatdaruratan), diharapkan tidak ada lagi tumpang tindih regulasi, mengurangi dampak dan potensi korupsi (terutama dalam pembagian dan penyaluran bantuan sosial), serta membuat kebijakan pemerintah dalam menyikapi bencana menjadi lebih terukur dan terarah. Selama pandemi Covid-19 ini kita seringkali dipertontonkan dengan kebijakan yang berubah-ubah, istilah yang terus bermutasi dari mulai PSBB hingga PPKM berjilid-jilid, dan yang paling mengerikan adalah kasus korupsi bansos. Lebih mengerikan lagi, koruptornya diberikan diskon hukuman.

Tentu, hal ini bisa saja dihindari, apabila konstitusi secara tegas mengatur hal tersebut. Dengan demikian, maka amandemen konstitusi bisa menjadi sesuatu yang urgen. Solidaritas dunia mengatasi pandemi bisa diupayakan oleh bangsa ini melalui amandemen konstitusi. Hal ini juga sebagai upaya realistis dalam mengamalkan pembukaan UUD NRI 1945, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia. Respon yang baik dari pemerintah dalam menanggulangi bencana non-alam Covid-19, bisa mengurangi kegaduhan akan tingginya korban meninggal dunia, pelayanan kesehatan yang buruk serta bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Dampaknya, dunia akan memberitakan Indonesia dengan framing yang baik. Semoga, melalui amandemen konstitusi, pandemi Covid-19 ini segera berakhir dan kita kembali bisa menjalani aktifitas kehidupan berbangsa dan bernegara dengan normal yang baru.

———- *** ———-

Tags: