Urgensi dan Strategi Advokasi bagi PRT

MochOleh:
Moch. Choirul Rizal, SHI
Pengacara Publik LBH Surabaya ; S1 Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kondisi perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Pasalnya, sepanjang 2015, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) melansir, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga mencapai 376 kasus. Menurut Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini, tingginya angka kekerasan tersebut disebabkan lemahnya perlindungan hukum bagi mereka.
Pada faktanya, hingga saat ini, belum ada kebijakan formulasi dalam bentuk undang-undang yang secara khusus melindungi PRT. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) masih “gagap” dalam mengakomodasi eksistensi PRT. Dengan kata lain, UU Ketenagakerjaan tidak mampu memberikan perlindungan hukum bagi PRT.
Perjuangan dalam mendorong adanya sebuah kebijakan formulasi untuk memberikan perlindungan hukum bagi PRT telah diupayakan sejak lama. Tepat di 2004 yang lalu, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan terhadap PRT (RUU Perlindungan PRT) sebenarnya telah diajukan kepada DPR, namun sampai saat ini belum berbuah manis.
Pada perkembangannya kini, RUU Perlindungan PRT kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 DPR RI. Namun, lagi-lagi, masih belum ada tanda-tanda RUU tersebut akan segera disahkan.
Selain itu, ada sebuah konvensi yang sampai saat ini juga belum diratifikasi menjadi sebuah undang-undang, yakni Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT. Pada hakikatnya, konvensi ini merupakan formulasi untuk memberikan perlindungan bagi PRT di seluruh dunia dan menjadi landasan untuk memberi pengakuan dan menjamin PRT mendapatkan kondisi kerja layak sebagaimana pekerja di sektor lain.
Secercah harapan mulai nampak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT pada 18 Januari 2015 yang lalu. Produk ini menyiratkan negara telah hadir. Namun demikian, kehadiran Permenaker tersebut lagi-lagi belum mampu memberikan perlindungan bagi PRT secara hakiki.
Menurut Nur Hidayati, Permenaker tersebut merupakan sebuah terobosan hukum untuk melindungi keberadaan PRT di Indonesia. Namun, kebijakan eksekutif tersebut tidak memerinci hak-hak sebagai pekerja, seperti standarisasi upah, pengaturan jam kerja, hak untuk cuti, dan lain sebagainya. (Nur Hidayati, 2014: 215)
Dari runtutan fakta yang menyuguhkan ketiadaan kebijakan formulasi mengenai perlindungan terhadap PRT, maka akan semakin membuka potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi terhadap mereka. Atas kenyataan itu, tentu saja menimbulkan derita fisik dan psikis. Harkat dan martabat PRT sebagai manusia ditiadakan begitu saja. Keberadaannya dianggap sama dengan ketidakberadaannya. (Rachmat Syafa’at, 1998: 45)
Di sisi yang lain, kehadiran lembaga-lembaga yang dapat memberikan layanan penanganan kasus terhadap PRT belum terdokumentasikan dan terinformasikan dengan baik. Kenyataan ini juga yang kemudian membuat layanan penanganan kasus PRT menjadi terhambat.
Rencana Aksi ke Depan
Perlindungan terhadap eksistensi PRT di Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, kebijakan formulasi mengenai perlindungan terhadap PRT dapat dijadikan sebagai salah satu agenda dalam rencana aksi ke depan, yakni mengawal dan mendorong disahkannya RUU PRT menjadi undang-undang serta mendesak negara untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Perlindungan PRT.
Pengawalan terhadap pengesahan dua konsep aturan di atas idealnya dapat dilakukan jika masyarakat dan organisasi-organisasi yang peduli terhadap perlindungan PRT bekerja bersama-sama dan bersama-sama bekerja. Dua entitas ini harus menguatkan diri satu sama lain dan kemudian bersinergis, misalnya dengan membentuk pusat-pusat pelayanan untuk melakukan pengorganisasian hingga dapat juga menggagas serikat pekerja khusus PRT.
Kekuatan yang sudah mulai tersatukan dan tersinergis dapat dialokasikan untuk melakukan advokasi. Tawarannya, ada dua advokasi yang dapat dilakukan. Pertama, advokasi melalui riset. Hasil riset yang dilakukan dapat dijadikan semacam policy brief yang akan memberikan masukan kepada negara mengenai apa yang seharusnya dilakukan.
Policy brief tersebut dapat juga mendorong daerah-daerah untuk lebih responsif dalam memberikan perlindungan kepada PRT melalui pembuatan peraturan daerah (perda). Walaupun aturan hukum di atasnya belum juga ada, tapi daerah mempunyai kewenangan untuk itu. Sebagai contoh, telah adanya perda-perda tentang larangan minuman beralkohol di daerah, di mana RUU-nya kini juga masih belum disahkan.
Kedua, adalah advokasi melalui penanganan kasus, baik secara litigasi maupun nonlitigasi. Bila pilihan penyelesaiannya adalah litigasi, maka bukan sembarang litigasi yang dilakukan. Tawarannya adalah litigasi strategis, yakni penyelesaian kasus melalui sidang di pengadilan dengan mengoptimalkan “amunisi” yang lain, misalnya melibatkan peran media massa dan menjadi atau menyiapkan aktor sebagai amicus curae (sahabat pengadilan) ketika persidangan sedang digelar.

                                                                                                                        ——– *** ———

Tags: