Urgensi Implementasi Tata Kelola Kebencanaan

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Pasca erupsi Gunung Kelud masyarakat di sekitar wilayah berbondong-bondong kembali dari area pengungsian meski status sudah diturunkan awas ke level siaga. Dampak letusan bagi para korban tentu sangat mencemaskan manakala rumah, sawah, ladang pekarangan, harta benda dan ternak sebagai mata pencaharian mereka ikut tergerus tak terkecuali aspek kesehatan yang mengarah pada krisis kesehatan. Selain problem kesehatan secara fisik seperti penyakit kulit, gatal-gatal, gangguan pernafasan, iritasi mata akibat debu abu vulkanik yang mencapai kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah hingga Jawa Barat.
Kondisi tersebut kian menjustifikasi bahwa negeri ini adalah negeri yang rentan bencana sehingga Indonesia menjadi laboratorium bencana. Guna menghadapi berbanaknya bencana yang terjadi di berbagai wilayah tanah air kian menunjukan bahwa belum optimalnya sistem mitigasi bencana sehingga acapkali berujung pada terjadinya krisis kesehatan. Sebenarnya dalam menghadapi ancaman resiko bencana perlu pendekatan strategi antara lain: menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, hidup harmoni dengan resiko bencana dan menumbuhkembangkan serta mendorong kearifan lokal masyarakat dalam rangka rangka penanggulangan bencana.
Di sisi lain harus disertai dengan strategi membangun kemitraan dalam penanggulangan bencana yakni dengan melakukan advokasi bahwa eksistensi bencana adalah masalah bersama dan misi kemanusiaan yang melewati batas-batas daerah, wilayah hingga lintas kedaulatan negara sehingga dapat menciptakan kesadaran kolektif untuk saling membantu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada (soft diplomacy)

Manajemen Kedaruratan
Bukan hanya dalam organisasi pada umumnya, dalam kondisi dan situasi kebencanaan juga menggunakan manajemen dan tata kelola kebencanaan mulai tahap pra-bencana, selama bencana hingga pasca bencana termasuk upaya pemulihan secara berkelanjutan. Pada tahap pra-bencana, diperlukan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yaitu suatu jejaring provider yang menyelenggarakan upaya penanggulangan pasien gawat darurat baik untuk kejadian yang terkoordinasi pada penduduk di statu wilayah.
Dalam konteks krisis kesehatan, mengembalikan aspek kesehatan secara komprehensif bukan sekedar memberikan bantuan makanan, obat-obatan hingga santunan maupun bantuan lain yang bersifat sementara dan jangka pendek (life saving) namun lebih mengarah pada upaya mendorong (kembali) kemandirian dalam menjaga status kesehatan sehingga menjadi ‘modal’ untuk menjalani aktivitas keseharian. Tanpa tubuh maupun jiwa yang sehat mustahil dapat mencapai tingkat kecukupan ekonomi, peningkatan status sosial, berbudaya dan menciptakan produktivitas kerja yang optimal. SPGDT sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan terutama upaya kesiapsiagaan (preparedness) dan kegawatdaruratan.
Pada tanggap darurat atau saat terjadi bencana, aspek keselamatan menjadi tolok ukur utama dalam menangani bencana sehingga diperlukan tindakan yang cepat, tepat dan cermat. Dalam konteks emergensi dapat memutus rantai birokrasi yang dapat menghambat upaya penyelamatan pada korban sampai pada upaya memutuskan proses penanggulangan dengan sistem rujukan atau triage pertolongan. Pada tahap pasca bencana dan rehabilitasi (pemulihan) baik yang menyangkut masalah kesehatan maupun terkait masalah sosial lainnya relatif memerlukan waktu agar dapat kembali seperti sediakala atau minimal secara mandiri dapat menjalani kehidupan di masa depan.
Tak kalah penting adalah pemulihan kondisi traumatik pasca bencana. Mereka yang mengalami bencana tentu trauma hingga tak jarang menjurus pada gangguan psikologis sehingga memerlukan dukungan pendampingan dapat berupa konsultasi secara simultan. Mengingat sisi psikologis merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pemulihan kesehatan secara berjenjang. Terakhir adalah penyediaan fasilitas sanitasi dasar dan akses pelayanan kesehatan yang memadai.

Tags: