Urgensi Literasi Media Sosial

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Berita bohong (hoax) di media sosial (medsos) bikin resah banyak orang. Tidak terkecuali orang nomor satu di negeri ini. Dalam rapat terbatas dengan topik Antisipasi Perkembangan Medsos di Kantor Presiden beberapa waktu lalu, Jokowi meminta semua pihak berperang melawan penyebaran berita hoax. Presiden juga berharap adanya gerakan yang masif untuk melakukan literasi, edukasi, dan keadaban masyarakat ketika bermedia sosial.
Presiden meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan aparat penegak hukum agar menertibkan dan menindak tegas segala pelanggaran yang terjadi lewat media sosial. Alhasil, kemenkominfo telah memblokir ratusan situs di internet yang teridentifikasi sebagai situs penyebar berita bohong. Kemenkominfo juga telah bekerjasama dengan Dewan Pers untuk melakukan verifikasi pada semua media massa di Indonesia.
Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru direvisi juga tidak bisa ditawar-tawar lagi. Payung hukum berupa UU ITE semestinya dapat digunakan dasar memburu para pembuat dan penyebar hoax. Semua pihak idealnya bersinergi dalam membatasi ruang gerak para penyebar hoax. Masyarakat pengguna medsos juga harus diedukasi agar menjadi konsumen medsos yang melek media (media literate).
Literasi Media Sosial
Munculnya medsos memang berwajah ganda. Di satu sisi media ini bisa meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih erat, bisnis online, dan beragam layanan jasa online. Namun pada wajahnya yang lain, medsos juga sering menjadi pemicu munculnya beragam persoalan. Maraknya berita bohong, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, dan adu domba telah mengancam persatuan dan ideologi bangsa.
Informasi di media sosial mengalir bagaikan bola salju, Makin lama menggelinding semakin besar. Apakah itu informasi tentang kebenaran ataukah informasi kebohongan. Dalam situasi seperti ini ternyata banyak pengguna medsos yang tidak mampu memilah mana informasi yang benar dan manapula yang palsu. Kemampuan menemukan informasi yang benar disaat banjir informasi saat ini memang tidak gampang.
Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang tergantung pada medsos. Mayoritas mereka tidak memahami bagaimana menggunakan medsos yang bijak. Sebagai dampak dari ketergantungan pada medsos adalah terjadinya the decline of literacy. Terpaan pesan yang kuat di media dapat menanamkan kepasifan pada diri khalayak. Agar terlepas dari kondisi ini, maka pengguna medsos harus berdaya dan melek media.
Gerakan melek media muncul sebagai bentuk kekhawatiran akan pengaruh media yang lebih berdampak buruk bagi masyarakat. Di samping itu dengan kemampuan melek media masyarakat maka kekuatan pemilik dan pelaku media bisa lebih di kontrol. Sehingga kekuatan antara media dengan masyarakat konsumen media bisa berimbang, tidak ada yang lebih dominan.
James Potter, dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001), mengatakan bahwa literasi media adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Sementara Allan Rubin (dalam Baran dan Davis, 2003) menawarkan tiga definisi mengenai literasi media. Pertama, kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan. Kedua, pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Ketiga, pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan.
Beberapa definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Literasi media merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan- pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
Mengingat pentingnya literasi media, maka upaya penyadaran akan hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah. Hal ini seperti yang telah dilakukan di banyak negara maju, pendidikan literasi media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Di tengah gempuran media massa saat ini, proses belajar mengajar di sekolah dituntut mampu menumbuhkan kesadaran literasi media bagi para siswa.
Pada tahun 1979 UNESCO telah mencetuskan konsep pendidikan media yang dirumuskan ulang tahun 1989 yang menyebutkan bahwa pengembangan pendidikan media yang kritis dengan menekankan pengembangan kesadaran kritis, kemampuan untuk bereaksi atas segala informasi yang diterima dan pendidikan bagi para pengguna media untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Faktanya saat ini pendidikan literasi media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, roadshow, dan kampanye-kampanye mengenai literasi media. Literasi media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan literasi media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas.
Di banyak negara maju, pendidikan literasi media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan beberapa contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan literasi media di sekolah.
Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Literasi media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai literasi media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan literasi medianya.
Kanada merupakan negara yang mewajibkan literasi media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan literasi media dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep literasi media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978.
Amerika Serikat juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan literasi media di negaranya. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dijadikan suatu pengalaman untuk mengembangkan pendidikan literasi media di Amerika Serikat.
Kiranya belum terlambat untuk Indonesia meniru pendidikan literasi media seperti yang dilakukan oleh beberapa negara lain. Kondisinya sudah sangat mendesak saat ini karena ketergantungan masyarakat pada media terutama media sosial tergolong tinggi. Sementara disisi lain banyak diantara pengguna medsos tersebut tidak mempunyai pemahaman yang baik tentang seluk beluk media yang digandrunginya tersebut.
Pemberdayaan masyarakat melalui kemampuan literasi media dapat mengurangi perilaku bermedia yang tidak sehat. Mari bijak menggunakan media sosial. Hati-hati, kritis, dan waspada ketika bermedia sosial. Jangan gampang percaya termasuk jangan mudah membagi-bagikan informasi yang belum teruji kebenarannya. Think before click.
————- *** —————-

Rate this article!
Tags: