Urgensi Literasi Multidimensi

O l e h:
Dr. Ng. Tirto Adi MP, M.Pd
Koordinator Komunitas “GBL to SGM2” (Gerakan Budaya Literasi Menuju Sidoarjo Gemar Membaca-Menulis); The Founder’s “Model Sekolah Literasi Indonesia” Yayasan Tamaddun Afkar, Sidoarjo – Jawa Timur; Penulis & Trainer KTI, Manajemen Sekolah, dan Pembelajaran Inovatif.

Literasi secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis. Menurut UNESCO, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, mengkreasi, mengkomunikasikan dan menghitung, menggunakan materi yang tercetak dan tertulis dari berbagai konteks. Literasi melibatkan pembelajaran yang terus menerus untuk mendapatkan tujuan secara individu, mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka dan untuk berpartisipasi dalam komunitas dan masyarakat secara luas. Sementara itu, Kemendikbud RI (2016) merumuskan bahwa literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara.
Kemampuan membaca dan menulis adalah literasi dasar yang sangat penting. Betapa pentingnya literasi dasar itu, sampai Allah SWT menurunkan wahyu pertama-Nya (QS Al Alaq, 96: 1-5) dengan perintah untuk membaca. Iqra’! Bacalah! Perintah tersebut sampai diulangi. Itu menandakan bahwa fungsi membaca dan menulis benar-benar penting. Pada ayat keempat, QS Al Alaq, Allah berfirman “Allazii ‘allama bil qalam(i)”. Allah mengajar manusia dengan perantaraan kalam, yakni baca-tulis. Karena baca-tulis adalah kunci ilmu pengetahuan.
Dus, membaca adalah perintah pertama dan utama bagi umat Islam yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an, kata kerja “katab” (menulis) beserta kata bentukannya disebutkan sebanyak 303 kali. Sementara itu, kata “qaraa” (membaca) dinyatakan sebanyak 89 kali. Penyebutan yang begitu banyak dalam Al-Quran, menunjukkan bahwa aktivitas membaca dan menulis adalah begitu penting dalam membangun peradaban manusia. Garis demarkasi yang membedakan dengan jelas antara peradaban prasejarah dengan peradaban sejarah adalah ditentukan oleh budaya tulis dalam masyarakat itu. Untuk itulah, tidak berlebihan jika National Institute of Child Health and Human Development, menegaskan bahwa “Reading is the single most important skill necessary for a happy, productive and successful life”.
Literasi dalam Lintasan History
Berdasarkan catatan sejarah, perang Badar menyimpan suatu misteri. Bagaimana tidak?! Pada 17 Ramadhan 2 H (13 Maret 624 M), pasukan Islam berperang melawan pasukan musyrik Quraisy di dekat sumur Badar. Pasukan Rasulullah SAW hanyalah 300-an orang. Pihak kafir sebanyak 1000 orang di bawah pimpinan Abu Jahal. Dengan izin Allah, 70 orang musyrik Quraisy berhasil dibinasakan dan 70 orang musyrik lainnya ditawan. Tebusan tawanan berkisar antara 1.000-4.000 dirham/orang.
Nabi Muhammad SAW membuat sebuah kebijakan yang sangat tidak lazim. Nabi tidak meminta tebusan terhadap tawanan perang. Tetapi, Nabi meminta ganti sesuatu yang jauh lebih berharga daripada harta. Apakah itu?! Rasulullah SAW melepaskan para tawanan kaum Quraisy yang pandai baca-tulis dengan menebus dirinya dengan mengajarkan baca-tulis kepada 10 orang anak Madinah. Mengapa? Apa urgensi literasi pada jaman itu, sehingga Rasulullah lebih memilihnya ketimbang harta tebusan yang tinggi?
Kebijakan yang dipilih Rasulullah, sungguh luar biasa. Bukan kebijakan yang instan tapi visioner dan futuristik. Rasulullah lebih memilih pemberdayaan umat agar bisa membaca dan menulis ketimbang pengumpulan harta yang berdimensi jangka pendek. Dengan kebijakan itu masyarakat Madinah menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi, masyarakat yang literat.
Masyarakat yang literat, mampu membangun peradaban yang hebat. Zaman kejayaan Islam (sekitar 750 M – 1258 M) adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan, dan insinyur di dunia Islam menghasilkan banyak kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada maupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi yang lebih baik. Peradaban Islam tidak hanya melahirkan generasi yang mumpuni di bidang keagamaan tapi juga memunculkan tokoh andal di berbagai ilmu pengetahuan. Era itu banyak melahirkan para ilmuwan di berbagai bidang dengan berbagai temuan teori-teori baru yang menjadi sumbangan besar bagi sejarah peradaban dunia.
Dapat disebut beberapa contoh diantaranya. Ibnu Rusyd (Averroes) atau Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (1126-1198 M), lahir di Kordoba (Spanyol), seorang filsuf dan pemikir dari Al-Andalus yang menulis berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik. Ibnu Sina (980-1037 M) dikenal juga sebagai Avicenna di dunia barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang Iran). Ia dikenal sebagai penulis produktif terutama di bidang filosofi dan kedokteran. Dia disebut sebagai “Bapak Kedokteran Modern”, dengan karyanya yang sangat terkenal al-Qaanuun fii at-Tibb. Abu Raihan Al-Biruni (973-1048 M), merupakan matematikawan Persia, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, ahli geografi, ahli farmasi dan guru, yang banyak menyumbang kepada bidang matematika, filsafat, obat-obatan. Al Biruni yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (780-850 M), yang kaya pengetahuan dan keahliannya bukan hanya dalam bidang syariat tapi juga di dalam bidang falsafah, logika, aritmatika, geometri, musik, ilmu hitung, sejarah Islam dan kimia. Nizham Al Mulk (1018-1092 M), pelopor pendiri universitas modern pertama di dunia yang dikenal dengan Nizamiyyah (ditiru sistemnya oleh Oxford University England).
Dari beberapa tokoh yang dinukil sebagaimana terperikan di atas, ada satu kesamaan dalam hal aktivitas literasi, yakni mereka adalah persona-persona yang keranjingan membaca dan selalu sangat meng-acuh-kan dalam hal menulis.
Pentingnya Literasi Multidimensi
Penulis best seller, Bud Gardner pernah berujar: “When you speak, your words echo only across the room, or down the hall. But when you write, your words echo down the ages”. Apa yang kita angankan bisa jadi akan lenyap, apa yang kita katakan mungkin saja akan musnah, apa yang kita lakukan sangat mungkin tak akan tersisa. Tetapi, apa yang kita tuliskan, ia akan abadi dan menyejarah dalam hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, benarlah petuah Pramoedya Ananta Tour (1925-2006), bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, begitulah tandasnya.
Secara konseptual, literasi sebenarnya lebih dari sekadar membaca dan menulis. Literasi mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi. Clay dan Ferguson (2001) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas: Pertama, literasi dini (early literacy), yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan tutur yang dibentuk oleh pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosial di rumah.
Kedua, literasi dasar (basic literacy), adalah kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi. Ketiga, literasi perpustakaan (library literacy), yakni kemampuan memahami cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System, menggunakan katalog dan indeks, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.
Keempat, literasi media (media literacy), yakni kemampuan mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. Kelima, literasi teknologi (technology literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Juga, kemampuan memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Keenam, literasi visual (visual literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat.
Dalam praksisnya, Kemendikbud RI memberikan panduan kepada satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Setidaknya ada enam jenis literasi yang perlu ditanam-tumbuhkan kepada peserta didik, agar kelak mereka menjadi generasi literat yang andal. Pertama, literasi baca-tulis merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial. Kedua, literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk: a) menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari, dan; b) menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dan sebagainya) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Ketiga, literasi sains adalah upaya sistematis untuk menciptakan, membangun, dan mengorganisasikan pengetahuan untuk memahami alam semesta. Penyelidikan ini dilakukan dengan mengintegrasikan kerja ilmiah dan keselamatan kerja yang meliputi kegiatan mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan, mengumpulkan data, menganalisis, akhirnya menyimpulkan dan memberikan rekomendasi, serta melaporkan hasil percobaan secara lisan dan tulisan. Keempat, literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima, literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat. Keenam, literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dus, literasi budaya dan kewargaan merupakan kemampuan individu dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu budaya dan bangsa.
Jika seluruh komponen stakeholders satuan pendidikan secara bersama terlibat aktif dalam menggerakkan budaya literasi, tidak mustahil impian mewujudkan generasi emas yang literat akan menjadi kenyataan. Untuk itulah hal yang sangat mendasar bahwa “literacy is traditionally understood as the ability to read and write” harus menjadi roh dalam menggelorakan gerakan budaya literasi. Bukankah begitu?!

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: