Urgensi Memediasi Anak sebagai Pelaku Kekerasan

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Akhir-akhir ini, tindak kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku di bawah 18 tahun makin marak terjadi. Bahkan tidak sedikit perbuatan mereka melebihi batas-batas kemanusiaan. Kejahatan anak dan budaya kekerasan seolah sudah pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi hukum dan pembinaan kepada anak di sekolah-sekolah. Berangkat dari kenyataan itulah penulis tergerak ingin menuangkan gagasan, pemikiran dan ide di rubrik opini harian ini terkait solusi untuk meminimalkan peluang terjadinya kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak.

Fenomena anak pelaku kekerasan
Belakangan ini, memang tidak sedikit potret pelaku dan korban kekerasan pada anak terlihat makin marak terjadi. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat tercatat, awal tahun 2023 ada 6 kasus kekerasan berupa perundungan atau kekerasan fisik dan bully yang terjadi disatuan pendidikan. Ada santri yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan, Kepala Madrasah di Gresik menampar 15 anak karena jajan di luar kantin sekolah, siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya. Kemudian, guru di Garut menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut, dan terakhir di Banyuwangi ada siswa SD (11 tahun) bunuh diri diduga karena dibully tidak memiliki ayah.

Kasus penganiayaan Ananda David, 17 tahun, yang dilakukan oleh 3 orang pelaku yang salah satunya masih usia anak, menunjukkan bahwa menyelesaikan masalah dengan kekerasan adalah pilihan yang dianggap biasa dan tidak khawatir ada risiko hukum. Semestinya realitas tersebut, menjadi pembelajaran mahal bagi sekolah dan sekolah harus mulai membangun sistem sekolah yang aman dari kekerasan sebagaimana amanat pasal 54 UU Perlindungan anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.

Fenomena berbagai kekerasan verbal dan fisik yang melibatkan pelaku usia anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah keseharian yang dilihat bahkan dialami anak-anak, baik dari pengasuhan dilingkungan keluarga maupun dilingkungan tempat anak bermain dan bersekolah, serta dari media sosial. Terkhawatirkan, jika anak sering melihat dan mengalami, bisa-bisa anak menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang wajar. Ingat, anak adalah peniru ulung, apa yang dia lihat, rasakan dan alami dari lingkungan dia tumbuh dan dibesarkan, dapat dipastikan akan ditiru dalam perilaku menyelesaikan masalah dengan sesama anak, termasuk pendekatan kekerasan menjadi pilihan anak.

Semua kejadian kekerasan yang melibatkan anak sebagai pelaku kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi seakan membuka mata khalayak publik bahwa orang tualah sosok yang mestinya paling berperan dalam pembentukan karakter anak. Jika pola asuh tepat, maka tepatlah karakter anak. Baik buruk sikap anak ada pada peran orang tua. Artinya, anak yang terasuh dengan pola asuh yang baik, maka besar kemungkinan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, anak yang terasuh dengan pola asuh yang buruk akan tumbuh menjadi anak dengan pribadi yang buruk. Ingat anak adalah peniru yang baik dan ulung, anak juga sebagai imitator dari perilaku orang tuanya, dan berpotensi menjadi pelaku kekerasan.

Solusi pelaku kekerasan anak
Anak bukan manusia dewasa yang bentuknya mini, tapi anak adalah manusia yang belum dewasa. Sehingga anak tidak mengerti resiko dan kurang berpikir panjang. Oleh karena itu, anak bisa melakukan kesalahan dalam tumbuh kembangnya menjadi dewasa. Oleh karena itu, kesalahan anak tidak berdiri sendiri, karena ada faktor pengasuhan keluarga dan lingkungan dia dibesarkan. Pengasuhan keluarga dan di sekolah yang seharusnya mengajarkan anak-anak mengetahui hal baik dan buruk. Role model dari orang dewasa sekitar anaklah yang akan menentukan anak menjadi baik atau tidak. Detailnya, berikut inilah beberapa solusi alternatif dalam rangka mencegah terjadinya pelaku kekerasan yang dilakukan anak.

Pertama, saatnya sekolah memberikan penguatan dan pendampingan pada guru-guru pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dalam program pembinaan hukum dan Pancasila. Meskipun, sejatinya anak-anak sejak awal masuk bangku pendidikan sudah harus dibekali dengan pembinaan hukum, di samping nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan kerukunan dan kedamaian dalam keberagaman.

Kedua, sekolah perlu memberikan pemahaman tentang nilai-nilai hukum dan ketertiban. Termasuk pemahaman tentang sanksi hukum dan dampaknya jika dijatuhkan kepada yang melanggar hukum, dapat mempersuasif anak-anak untuk tidak melakukan kejahatan dan budaya kekerasan antarsesama mereka di masyarakat.

Ketiga, saatnya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) proaktif untuk bekerja sama K/L terkait seperti Kemendikbud, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kemendagri, serta Dinas-Dinas Pendidikan di bawah pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk melakukan pembinaan hukum di sekolah-sekolah.

Keempat, pemerintah melalui BPHN semestinya memiliki program terkait pembinaan moral ataupun agama bagi anak dan remaja melalui rumah tangga. Agar setiap rumah tangga bisa sigap melakukan sejak dini sesuai dengan umurnya untuk menekan anak tidak menjadi pelaku tindak kekerasan. Karena, anak di usia dini belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Mereka juga belum mengerti batas-batas ketentuan moral di dalam lingkungannya.

Merujuk dari keempat solusi alternatif dalam rangka mencegah terjadinya pelaku kekerasan yang dilakukan anak tersebut diatas, besar kemungkinan jika mendapat porsi perhatian semua pihak terkhusus keluarga maka tindak kekerasan yang dilakukan anak kemungkinan bisa dieliminir. Begitupun, negara tentu diharapkan tidak tinggal diam. Pencegahan itu diharapkan bisa mencegah perbuatan anak berbuat kejahatan. Dengan melakukan pembinaan di sekolah-sekolah, diharapkan bisa memberikan kesadaran anak bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, upaya pemerintah dalam hal ini BPHN meski bisa lebih intensif melakukan upaya pembinaan berupa sosialisasi dan pembinaan ke sekolah-sekolah.

———– *** ————

Tags: