Urgensi Nilai Toleransi di Sekolah

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn (Civic Hukum) Univ. Muhammadiyah Malang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang penuh dengan keragaman budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama, maupun bahasa daerah. Keragaman yang ada tersebut terjalin dalam satu ikatan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat, sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang artinya meskipun berbeda-beda tetap satu jua. Realitas tersebut, semakin menyadarkan pada kita bahwa betapa pentingnya bangsa ini memahami dan menghargai adanya keragaman yang ada. Salah satunya adalah melalui penanaman toleransi di sekolah.

Potret penyimpangan nilai toleransi

Sekolah sejatinya sebagai tempat untuk menanaman toleransi sejak dini yang kedepannya diharapkan dapat membentuk karakter anak kelak ketika dewasa bisa memahami dan menghargai orang lain ataupun satu sama lain. Tentu saja hal ini penting sebagai modal untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang sangat beragam. Oleh sebab itulah, semua sekolah di negeri ini tanpa terkecuali sangat dianjurkan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi. Salah satunya dengan tidak membuat aturan yang bersifat intoleran. Namun, sayang seiring dengan menjalannya waktu sikap intoleran di lembaga-lembaga pendidikan justru belakangan ini kerap terjadi.

Salah satu kasus terbaru intoleransi di sekolah adalah saat seorang siswi non-muslim diminta mengenakan hijab di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang, Sumatera Barat. Sontak, kasus inipun mendulang perhatian dan keprihatinan publik termasuk pemerintah. Pasalnya, sekolah yang notabenenya tempat menanamkan nilai-nilai toleransi tapi pada kenyataannya justru mempraktekkan penyimpangan nilai toleransi dengan tidak mengindahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yang secara esensial regulasi tersebut tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.

Sejatinya kasus penyimpangan nilai toleransi di sejumlah sekolah tidak hanya itu saja, banyak kasus yang terjadi sebelumnya. Data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan ( bullying) di Indonesia sebanyak 41,1 persen. Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan. Berbagai riset tentang kekerasan anak menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kekerasan di lokasi yang mereka kenal dan oleh orang-orang yang mereka kenal. Hal ini tidak terkecuali terjadi di sekolah oleh teman sebaya, pendidik atau tenaga kependidikan, ( Kompas.com, 15/12/2020)

Merujuk dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait kasus perundungan yang ditangani KPAI terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar (SD). Dilaporkan, ada 25 kasus atau 67 persen yang tercatat oleh KPAI baik dari kasus yang disampaikan melalui pengaduan langsung maupun online sepanjang Januari sampai April 2019. Sebelumnya, KPAI merilis sejumlah pelanggaran hak anak pada tahun 2018, didominasi terjadi kekerasan di lingkungan. Dari 445 kasus yang ditangani sepanjang 2018, sekitar 51,20 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan baik fisik, seksual, maupun verbal. Bahkan, ironisnya, kekerasan fisik yang dialami anak di sekolah kebanyakan dilakukan oleh pendidik.

Merujuk data kasus intoleransi di atas, tentu mengundang keprihatinan kita secara kolektif. Pasalnya, sekolah seharusnya merupakan tempat pemahaman dan pemaknaan kemajemukan bangsa sebagai identitas dan kekayaan bangsa ini. Apalagi, dari sisi regulasi tertera jelas dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dilanjutkan dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang beberapa kali diperbaharui dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.

Mensikapi praktek penyimpangan nilai toleransi, pemerintah pun sejatinya tidak tinggal diam, sebagai bentuk tanggung jawab Pemerintah, melalui Kemendikbud telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Selebihnya, melalui regulasi tersebut, dihadirkan untuk memberikan rasa aman pada peserta didik khususnya di lingkungan sekolah sebagai rumah kedua yang bebas dari tindak kekerasan.

Melihat kenyataan yang demikian setidaknya bisa kita simpulkan bahwa penyimpangan nilai toleransi sering kali menjadi perkerjaan rumah semua pihak untuk mempertahankan, memupuk, menanamkan dan mengembangkannya. Pasalnya, masih banyak kasus penyimpangan terhadap nilai toleransi (intoleransi) di negeri ini. Bahkan, nilai tolerasi ini semakin urgen untuk ditanamkan di sekolah.

Stop ruang diskriminatif di sekolah

Pendidikan yang bernuansa toleransi sesungguhnya tersirat dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional No. 20 pasal 4 tahun 2003 ” bahwa pendidikan itu didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama tanpa melihat agama, suku, golongan dan ideologi. Seorang yang toleran berani berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian kebenaran dalam pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.

Oleh karena itu, para pimpinan sekolah dan tenaga pendidik harus memahami bahwa pendidikan bukan hanya sekedar memberikan pembelajaran kepada siswa, tetapi juga seperti yang termuat dalam undang-undang sisdiknas No.20 tahun 2003 ” mendidik siswa agar menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban”. Dengan demikian, sudah saatnya dunia pendidikan mengarahkan perhatiannya kepada realitas kebudayaan yang beragam dan pemikiran terhadap perkembangan hidup kemanusiaan secara universal. Lebih detailnya, berikut ini penulis berusaha berbagi solusi pemikiran agar penyimpangan nilai toleransi tidak harus terus berulang di sekolah.

Pertama, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar menyiapkan kebijakan antisipatif, baik melalui kurikulum maupun pembinaan SDM. Misalnya, dalam upaya merekrut tenaga dosen atau guru harus ada screening yang ketat mengenai rekam jejak mereka. Aktivitas belajar mengajar maupun kegiatan ekstra kulikuler juga jangan sampai ada materi-materi yang disisipi nilai-nilai intoleran. Dengan demikian, besar harapan lembaga-lembaga pendidikan di tanah air tidak mudah terpapar cara pandang keagamaan yang intoleran

Kedua, kebijakan-kebijakan dari Pemprov maupun sekolah-sekolah di daerah agar tetap mengacu pada nilai-nilai dasar pilar bernegara yakni UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Selebihnya, peranan guru dalam mengajar bukan hanya mampu memberikan materi pelajaran pada peserta didik, akan tetapi juga mampu membangun siswa untuk lebih termotivasi dalam menuntut ilmu. Peranan guru yang dilakukan juga di tujukan agar siswa bisa merubah prilaku maupun akhlak yang baik.

Ketiga, menempatkan pendidikan sebagai sarana dan instrumen untuk mengalihkan ilmu pengetahuan bukan hanya telah mereduksi makna hakiki dan fungsi pendidikan, tetapi juga mengarahkan peserta didik untuk meraih masa depan. Pendidikan sejatinya adalah untuk membangun dan mengembangkan potensi manusia agar memiliki karakter, integritas, dan kompetensi yang bermakna dalam kehidupan. Guru merupakan profesi yang mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak didiknya. Sehingga, sudah semestinya guru memberikan suritauladan yang baik dan benar pada peserta didik bukan malah sebaliknya.

Melalui tiga solusi pemikiran agar penyimpangan nilai toleransi tidak harus terus berulang di sekolah tersebut diatas, setidaknya semakin menyadarkan pada kita semua bahwa pembinaan sikap toleransi ini sangat penting untuk ditanamkan, dipertahankan, dipupuk dan kembangkan di sekolah, sehingga peserta didik akan terbiasa memiliki sikap-sikap yang positif terhadap kebudayaan suku bangsa yang berbeda. Bahkan, besar kemungkinan jika solusi itu direalisasikan praktek penyimpangan terhadap nilai-nilai toleransi di negeri ini bisa terminimalisasikan. Untuk itu, saatnya, kita bersatu untuk stop ruang diskriminatif di sekolah.

——— *** ——–

Rate this article!
Tags: