Urgensi Pantau Ucapan Tokoh

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang.

Pekan ini publik dibikin gaduh bereaksi atas upaya Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Wiranto yang bakal memantau ucapan para tokoh. Wiranto berencana membentuk Tim Hukum Nasional untuk mengkaji ujaran-ujaran kebencian, hasutan, dan bentuk-bentuk lainnya yang beredar pada masa kampanye dan seusai pemilu 2019. Langka Wiranto ini memicu pro dan kontra di masyarakat.
Ada sejumlah pihak yang setuju terhadap langkah yang ditempuh Menko Polhukam ini, namun tak sedikit yang menolaknya. Banyak yang menilai upaya yang dilakukan Wiranto sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Munculnya Tim Hukum Nasional hanya akan menunjukkan bahwa pemerintah semakin represif terhadap kelompok masyarakat yang kritis.
Seperti telah diberitakan beberapa media, Wiranto mengatakan bahwa Tim Asistensi Hukum Polhukam saat ini terdiri dari 22 pakar. Jumlah itu terdiri dari pakar, staf Polhukam hingga anggota Polri. Namun, tak menutup kemungkinan jumlah pakar dalam tim itu akan bertambah lagi. Sejumlah nama seperti Prof. Mahfud MD, dan Prof. Muladi masuk dalam daftar nama tim.
Tujuan dari dibentuknya tim hukum khusus ini kurang jelas. Upaya ini seperti sekedar sebagai langkah reaktif karena ketakutan atas kegaduhan yang mungkin muncul terkait dengan proses pemilu 2019. Hingga orang-orang atau tokoh-tokoh politik yang dinilai membuat ucapan yang berseberangan dengan pemerintah akan di tindak tegas. Ucapan para tokoh yang dinilai provokatif akan dipantau dan ditindak.
Tokoh Zaman Now
Siapa sebenarnya tokoh yang dimaksud yang ucapannya perlu dipantau? Konsep tokoh zaman now itu bisa siapa saja. Untuk disebut tokoh saat ini yang diukur adalah kekuatan pengaruhnya di masyarakat. Seorang tokoh sekarang ini tak harus seorang tokoh politik, seorang ulama, seorang pimpinan partai politik, atau tokoh formal lainnya. Saat ini untuk bisa menjadi orang berpengaruh tak harus jadi tokoh formal.
Orang yang muncul sebagai tokoh bisa jadi mereka-mereka yang lebih popular di media sosial (medsos). Para sosok yang banyak penggemarnya di medsos kini telah menjelma menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh. Secara formal mereka memang bukan politisi, bukan pula kiai atau ulama, tetapi pengaruhnya bisa melebihi para tokoh formal.
Coba kita lihat pada beberapa sosok selebritis medsos. Baru-baru ini salah seorang pembuat konten Youtube (Youtuber) asal Indonesia seperti Atta Halilintar telah dinobatkan sebagai orang yang paling berpengaruh se Asia. Video blog (Vlog) yang diunggah Atta ditonton puluhan juta orang. Penonton yang menjadi subcriber video Atta bisa mencapai 14 juta orang lebih. Itu artinya dalam setiap unggahan videonya, Atta bisa mempengaruhi orang dalam jumlah yang sangat besar.
Apa yang dilakukan Atta persis yang dilakukan seorang Youtuber lain seperti Ria Ricis yang jumlah penonton (viewer) videonya dan subcriber-nya juga puluhan juta. Orang-orang semacam Atta dan Ricis ini sebenarnya pengaruhnya setara bahkan melebihi tokoh formal. Apa ucapan yang dilontarkan para influencer medsos ini implikasinya sangat besar di mata penggemarnya.
Untuk itu kalau dikaitkan dengan langkah Menko Polhukam untuk memantau ucapan para tokoh, apakah para pesohor medsos ini juga termasuk tokoh yang harus dipantau ucapannya. Kalau demikian yang dimaksud tentu sangat banyak sosok tokoh yang harus diikuti ucapannya. Karena tokoh-tokoh non formal inilah justru yang sering mengendalikan opini yang berkembang di masyarakat.
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Dalam demokrasi, semua warga negara dijamin kebebasannya dalam hal berpendapat dan berekspresi. Kebebasan berpendapat (freedom of speech) dan kebebasan berekspresi (freedom of expression) dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ekspresi melalui ucapan yang disampaikan masyarakat tentu tak dapat dikekang dan dibungkam. Kalau ada upaya pembungkaman terhadap orang berpendapat dan berucap merupakan pelanggaran hukum.
Pantauan terhadap ucapan ini bisa saja justru membuat para tokoh dan masyarakat tak berani menyuarakan aspirasinya. Maka, upaya pemantauan terhadap ucapan ini bisa menjadi cara pembungkaman aspirasi masyarakat. Orang bisa jadi takut menyampaikan pendapat dan ekspresinya gara-gara takut dikriminalisasi. Bisa jadi apa yang disuarakan seseorang itu sebuah kebenaran, namun karena pemerintah merasa terancam, jangan-jangan suara seseorang itu dinilai sebagai tindakan melawan pemerintah sehingga harus dihukum.
Maka, ide pemantauan pada ucapan tokoh dan masyarakat ini bisa bermakna menjadi pembungkaman gaya baru. Sikap kritis masyarakat yang berusaha menyuarakan kebenaran bisa saja akan berujung di penjara gara-gara ucapan kritis itu dimasukkan dalam kategori membahayakan keamanan negara. Kalau situasi ini yang akan tercipta maka tak ada urgensi terhadap munculnya gagasan untuk memantau ucapan tokoh dan masyarakat.
Selama ini sudah tersedia beragam aturan hukum yang bisa menjerat orang yang membuat ucapan yang bernilai melanggar hukum. Kalau dalam interaksi di medsos sudah ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan beberapa aturan yang lain. Artinya, perangkat hukumnya selama ini sudah jelas dan kuat untuk menjerat mereka yang sering berucap membahayakan negara. Menilik beberapa aturan yang sudah ada, sebaiknya tak perlu lagi ada tim hukum khusus yang akan menindak kesalahan karena ucapan seseorang. Hal ini juga untuk menghindari tumpang tindih (overlapping) penaganan terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum. Munculnya beragam lembaga bentukan pemerintah yang berusaha membelenggu rakyat hanya akan menjadikan rakyat justru tak simpati pada pemerintah.
Dalam demokrasi, semua pihak tak boleh anti kritik. Pemerintah tak boleh alergi pada kritik yang disuarakan oleh tokoh atau masyarakat di luar pemerintah. Semua pihak harus memandang kritik sebagai sarana memperbaiki keadaan. Demokrasi juga menjamin kebebasan warga negara dalam berpendapat, berekspresi, berserikat, dan berkumpul. Semua orang boleh berucap dan berpendapat tentu harus disertai dengan tanggungjawab. Terhadap ucapan yang melanggar hukum sudah sewajarnya diproses sesuai hukum yang berlaku.
Di negeri ini, kebebasan berpendapat dan berpekspresi masyarakat sudah mulai tumbuh dengan baik. Jangan hambat kebebasan berucap masyarakat ini dengan membelenggunya melalui munculnya tim pemantau ucapan para tokoh dan masyarakat ini. Kalau langkah ini terus dilakukan maka hal ini merupakan sebuah kemunduran dan menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini. Negara harus mampu menjamin warganya agar bebas berpendapat dan bereskpresi, bukan berusaha membungkamnya.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: