Urgensi Pendidikan Karakter

Judul Buku : Pendidikan Karakter Ibnu Miskawaih
Penulis : M. Furqon Hidayatullah
Penerbit : Dio Media
Tahun Terbit : I, Januari, 2018
Tebal : 82 Halaman
ISBN : 978-602-6645-64-7
Peresensi : A. Zainul Kholil Rz*
Mahasiswa Institut Ilmu Keislman Annuqayah.

Karakter merupakan hal vital dalam membentuk manusia sejati dan meiliki peran sentral untuk membangun Sumber Daya Manusia. Manusia yang memiliki banyak kemungkinan watak, tentu akan sulit bagi kita untuk memberi arahan bila ada hal yang perlu diluruskan. Hendaknya sesama manusia saling mengingatkan bahwa hidup memilih tujuan yang orientasinya lebih abadi dari kebahagiaan di dunia. Perlu sangat seseorang belajar karakter demi keberlangsungan hidup yang dinamis dan fleksibel dalam setiap dinamika kehidupan.

Dengan belajar karakter secara intensif, maka orang tersebut akan mempunyai karakter atau watak yang sederhana, tidak congkak dan tidak sombong. Apalagi ketika kita belajar karakter-khususnya diri sendiri-kita akan mengetahui batas-batas larangan sebagai makhluk hidup di muka bumi yang memiliki kemuliaan lebih daripada ciptaan-Nya yang lain. Pendidikan karekter tidak akan memberikan stigma buruk kepada kita dalam memperlajarinya. Sebab tujuan dari pendidikan karakter adalah bagaimana membentuk manusia yang patuh dan taat aturan, lebih spesifik kepada akhlak kita dalam berinteraksi secara vertikal (Tuhan) ataupun horizontal (manusia).

Terlebih jika pendidikan karakter direalisasikan pada zaman sekarang, yang mana manusianya seolah tidak megenal etika. Padahal etika memiliki relasi yang sangat erat dengan akhlak. Tidak heran bila ulama terdahulu dikenal dengan kealimannya sebab yang pertama adalah akhlaknya yang paling tampak. Ulama dulu memang dikenal sangat tawadhu’ kepada guru, sesama makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan), dan kepada Tuhan Maha Mulia. Dengan belajar etika kita tidak akan mudah mengimplementasikan cangkolang kepada siapapun. Sebab, etika mengajarkan sesuatu yang salah adalah salah, dan sesuatu yang benar adalah benar. (Hal.16) Jika kita tidak mengetahui esensi benar dan salah, maka tidak heran di dunia ini akan banyak yang menghukumi salah adalah benar, karena memiliki substansi nyaman. Dan salah akan dikhukumi benar, karena memiliki substansi tidak nyaman.

Manusia yang “terkadang”-apalagi masyarakat pedesaan, memiliki kebiasaan pidah tempat atau masyarakat urban. Tidak pelik akan mendapati hal-hal baru atau iklim anyar di setiap kepindahannya. Tentu ketika berhadapan dengan hal seperti ini akan timbul yang namanya wajib adaptasi. Bagaiaman bila karakter yang kita bawa tidak sesuai dengan tempat tersebut? Apakah kita perlu mengokohkan karakter yang terlah melekat? Bukankah jika demikian akan ada konflik di daerah itu? Jika seperti itu, maka adaptasi perlu menjadi pertimbangan yang sangat penting. Agar apa yang kita takutkan tidak terjadi. Sehingga pilihan adaptasi atau penyesuaian dengan budaya setempat menjadi pilihan yang tidak boleh dielakkan. Kemampuan adaptasi juga merupakan aspek atau unsur penting dalam membentuk kebiasaan yang akhirnya membentuk karakter. (Hal.39)

Buku ini ditulis untuk memberikan pemahaman terkait akhlak dengan mudah, karena buku ini lahir dari salah satu bab “Karaker dan Kehalusan Budi Bahasa “dalam buku ” Tahzib al-Akhlak” yang ditulis oleh filsuf etika, Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih, atau Ibnu Miskawaih. Keberadaan buku ini seolah memiliki peran yang sangat urgen bagi manusia sekarang, apalagi penjelasan yang diuraikan, M. Furqon Hidayatullah, menggukan redaksi yang tidak jelimet. Sebab kemahirannya memberikan pemahaman yang tidak ambigu bagi kita (pebaca) dalam penerjemahannya.

Kehadiran buku ini semakin lebih penting tatkala realitas manusia sekarang tidak tentu akan arahnya. Maka patut disyukuri oleh kita yang masih memperhatikan akhlak atau karakter demi kemaslahatan umat manusia di dewasa ini. Buku tipis ini bisa dibawa kemana saja, sebab tidak banyak memakan tempat. Tentu tidak akan sukses kehadiran buku ini bila hanya menjadi bahan bacaan, bukan diterapkan dalam kehidupan. Maka kepanjangan tangan pembaca menjadi upaya kedua setelah penulis. Wallahu A’alam.

Rate this article!
Tags: