Urgensi Pendidikan Seks Usia Dini

Perkawinan anak merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak. Selain itu, perkawinan anak juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Logis adanya, jika fakta tersebut perlu tertanggapi oleh pemerintah, salah satunya dengan tindakan konkret perlu terus berupaya turunkan angka pernikahan dini di negeri ini.

Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menunjukkan pada 2018, satu dari sembilan perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 11 persen. Sementara hanya satu dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau hanya sekitar 1 persen. Sedangkan berdasarkan data BPS, penurunan angka perkawinan anak terjadi secara nasional, yakni 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019. Dan, kembali turun tipis menjadi 10,35 persen pada 2020. Data pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional, yakni 20. Itu artinya, setiap 1.000 orang di Indonesia, ada 20 orang yang melakukan pernikahan dini.

Merujuk data BKKBN dan BPS tersebut, praktik perkawinan anak usia dini patut menjadi perhatian dan prioritas publik, pasalnya jika terbiarkan akan berpotensi menimbulkan dampak yang sangat masif. Di sisi lain, anak yang menikah secara dini memiliki kerentanan lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan. Dan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan yang berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi.

Oleh sebab itulah, guna mengantisipasi naiknya angka pernikahan dini, diperlukan pendidikan seks usia dini. Sebab didalamnya, termuat pendidikan kesehatan reproduksi. Anak dan para orangtua bisa mendapatkan pendidikan seks guna melindungi mereka dari para predator seksual. Namun, hal ini masih terhambat oleh sistem yang menganggap pendidikan seks adalah hal tabu. Padahal, pembahasan pendidikan seks bukanlah hal yang porno untuk dibicarakan.

Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: