Urgensi Penerapan Kelas Rawat Inap Standar

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya.

Rencana mulai Bulan Juli, Pemerintah akan menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan disimulasikan pada 10 Rumah Sakit Pemerintah. Penerapan ini tentunya akan menghapus kelas pada BPJS Kesehatan yakni Kelas 1, 2, dan 3. Iuran BPJS Kesehatan nantinya akan disesuaikan dengan besaran gaji peserta, meski dalam implementasi pengelolaannya peserta yang pendapatannya tinggi akan membayar iuran yang lebih besar dan sesuai dengan prinsip gotong royong. Di sisi lain iuran BPJS Kesehatan masih mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Adapun rincian tarif iuran BPJS Kesehatan Kelas 1 sebesar Rp 150 ribu per bulan, Kelas 2 Rp 100 ribu per bulan dan tarif Iuran BPJS kesehatan kelas 3 Rp 35 per bulan. KRIS merupakan salah satu bentuk upaya keadilan (equity) bagi peserta dalam mendapatkan pelayanan dan hak-hak layanan kesehatan terutama rumah sakit dan sebaliknya.

Memang hal tersebut merupakan konsekuensi logis atas prinsip-prinsip Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimana bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Kondisi ini juga sesuai dengan amanah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 (4) yang menyatakan bahwa jika peserta membutuhkan rawat inap di Rumah Sakit maka diberikan berdasarkan “kelas standar”. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan ekutias dalam program JKN. Prinsip ekuitas artinya kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.

Secara normatif memang begitu ideal namun demikian banyak pihak masih menyangsikan kebijakan tersebut yakitu terkait dengan berapa jumlah iuran peserta dan perhitungan iuran BPJS Kesehatan juga akan dilakukan berdasarkan tarif, yang perlu dibayar oleh BPJS Kesehatan ke penyedia fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas. Artinya dibutuhkan validitas data yang akurat berapa sesungguhnya jumlah riil iuran per jiwa jika nantinya standar layanan sama, termasuk penghasilan per jiwa. Tidak semua pekerja formal karena masih banyak pekerja informal. Aspek pendataan gaji sektor informal bukan merupakan hal mudah sehingga yang paling sulit adalah para pekerja yang bersifat informal yang terkadang belum sepenuhnya memiliki penghasilan tetap.

Berikutnya adalah proses administrasi atas peserta yang memperoleh pelayanan kesehatan lanjutan atau bersifat jenjang rujukan. Sistem rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan masih terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, tentu menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh apalagi secara psikologis seseorang dalam kondisi cemas, gelisah dan serba tidak nyaman. Di sisi lain secara realita masih ditemui peserta harus mengurus persyaratan administrasi meski sudah terdaftar di database BPJS Kesehatan. Yang terakhir adalah terdapat biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Merujuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan setidaknya terdapat 21 penyakit atau layanan pengobatan yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan sehingga masyarakat juga perlu memahami hal tersebut. Kondisi ini menunjukan bahwa masih terdapat dalih bagi pemerintah dalam memberikan jaminan layanan masyarakat belum sepenuhnya paripurna dan komprehensif.

Inilah tantangan pelayanan BPJS Kesehatan dalam rangka ikut mewujudkan derajat layan kesehatan masyarakat, meski hingga saat ini pemerintah masih melakukan simulasi untuk mempertimbangkan banyak faktor seperti opsi pendanaan lain hingga skema subsidi dari pemerintah yang belum diputuskan. Saat ini tercatat per 31 Mei 2022 jumlah kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah 240.315.474 jiwa dari total penduduk Indonesia sebanyak 278.752.361 jiwa per 25 April 2022 (Worldometer) sehingga cakupan Program JKN sebesar 86 prosen, masih terdapat 14 juta penduduk Indonesia yang belum tercover JKN. Dengan kata lain terdapat 14 jiuta warga negara yang masih belum memperoleh perlindungan sosial atas layanan kesehatan sebagai wujud hak-hak dasar sebagai warga negara dimana memiliki akses dan layanan yang sama serta bentuk konsekuensi dan amanat dari konstitusi UUD 1945.

——— *** ———-

Tags: