Urgensi Perlindungan Pekerja Migran Jatim

Oleh :
Artono
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim dari PKS

Persoalan Pekerja Migran Indonesia masih menjadi persoalan reguler setiap tahun. Mulai dari sebelum berangkat ke luar negeri, berada di luar negeri, sampai kembali pulang ke tanah air. Persoalan tenaga kerja migran ini memang sangat kompleks. Cerita terbaru datang dari pekerja migran Indonesia di Malaysia (Serawak). Konsulat jendral RI Kuching, Serawak bersama kepolsiian Malaysia berhasil membebaskan sebanyak 14 pekerja migran Indonesia yang disekap dan dianiayai oleh agen pekera di Kota Miri, Serawak. Hasil penyelidikan sementara, pelaku penyekapan dan penganiayaan dituduh melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) (kompas.com, 16/11/2020). Tindakan kekerasan sepertinya tidak pernah absen menimpa para pekerja migram Indonesia di luar negeri.

Berbagai bentuk kekerasan baik fisik maupun non fisik kerapkali menimpa para pekerja migran Indonesia di luar negeri, terutama kaum perempuan yang paling banyak. Kasus kekerasan di Serawak, Malaysia tersebut semakin menambah sedih, prihatin, dan deratan panjang kasus kekerasan yang menimpa para pekerja migran kita. Dalam kasus kekerasan Tenaga Kerja Migran Indonesia (TKIM), ada sebagian yang berasal dari Provinsi Jawa Timur. Jawa Timur juga di kenal sebagai provinsi penyumbang TKMI cukup besar. Beberapa daerah menjadi kantong-kantong pekerja migran di luar negeri. karena itu, persoalan perlindungan tenaga kerja migran Indonesai di Luar negeri masih menjadi persoalan krusial yang belum bisa dipecahkan secara tuntas dan sisitemtik.

Urgensi Pelindungan

Persolaan perlindungan terhadap tenaga kerja migran Indonesai di Luar negeri di nilai masih sangat rendah. Ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menimpa TKI kita di luar negeri kurang mendapat advokasi dan perlindungan yang memadai. Bahkan perbagai persoalan yang menimpa TKI/TKW kita cenderung dibiarkan begitu saja. Dan yang paling parah menimpa tenaga kerja wanita (TKW). Selain masalah upah yang tak di bayar atau tidak sesuai standar ketenagakerjaan, persoalan yang sering kali muncul dan dialami para TKW kita di luar negeri adalah masalah kekerasan. Sebagian besar TKW kita mendapat perlakuan dan tindakan kekerasan baik kekerasan fisik, psikologis maupun kekerasan seksual dari keluarga majikannya

Pengakuan akan sumbangan besar TKI bagi perekonomian tak mampu mengubah nasib mereka, terutama para TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kondisi para TKW tak terdidik kita di luar negeri bagaikan “budak” yang mudah dipermainkan dan diperlakukan sewenang-wenang. Dan ironisnya, kasus kekerasan terhadap TKI kita di luar negeri ini tak pernah berhenti, atau setidaknya berkurang, justru kasusnya semakin membengkak. Kekerasan terhadap TKI di luar negeri akhirnya menjadi “menu bulanan” kita. Dan yang paling memprihatinkan lagi, perlindungan dari pemerintah yang dinilai sangat rendah.

Sayang, besarnya kontribusi para TKI tersebut masih belum diimbangi pemerintah dalam memberikan pelayanan dan perlindungan yang memadai. Padahal, hal itulah yang menjadi harapan semua orang atas berdirinya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dulu. Hingga saat ini, masih banyak TKI yang tak berdaya menjadi korban kesewenang-wenangan perusahaan dan majikan tempat mereka bekerja di luar negeri. Termasuk tindak kejahatan -yang kadang juga dilakukan aparat- saat mereka pulang, bahkan sejak menginjakkan kaki di bandara di tanah air.

Meskinpun sudah ada perjanjian bilateral antara pemerintah dengan negara tujuan penempatan TKI, akan tetapi mengapa tindak kekerasan terhadap TKI/TKW kita tak kunjung berhenti atau setidaknya berkurang?. Selama ini pemerintah kita masih sebatas atau sekedar melakukan perjanjian pada tahap “penempatan” saja, belum menyentuh secara kongkrit terkait dengan misalnya kalau terjadi persoalan sosial dan hukum yang menimpa para TKI. Terutama masalah perlindungan atau advokasi sosial dan hukum, ketika para TKI kita di luar negeri tertimpa masalah hukum.

Perlindungan Hukum

Perlindungan adalah kata kunci untuk menjawab segala persoalan tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri. saat ini kita sudah mempunya undang-undang baru yang mengatur tentang masalah perlindungan buruh migran, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Sehingga secara hukum, landasan hukum sangat kuat. Perlindungan buruh migram menjadi sebuah keniscayaan, ketika persoalan buruh migran masih menjadi persoalan reguler negeri ini. Selain itu, kontribusi pekerja migran, terutama devisi yang diterima negara dari keringat pekerja migran sangat besar, sementara perlindungan tenaga kerja migran masih dirasa sangat minim.

Secara yuridis, landasan hukum sudah cukup kuat. Apalagi didukung dengan kondisi sosiologis, mana banyak kasus tenaga kerja migran asal Jawa Timur di luar negeri yang bermasalah dan menghadapi masalah. Selain itu, jawa timur enjadi salah satu provinsi penyumbang tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri cukup besar, begitu juga penyumbang devisa sangat besar. Karena itu, sangat dibutuhkan perhatian besar dan serius dari pemerntah provinsi Jawa Timur terhadap TKMI melalui raperda perlindungan Tenaga kerja Migran ini. Masih banyak persoalan-persoalan dihadapi para pekerja migran kita di luar negeri yang kurang mendapat perlindungan dari pemerintah. Karena itu, menjadi tanggung jawab moral, politik, dan hukum bagi pemerintah (pusat dan daerah) untuk melindungi mereka dan keluarganya. amanat konstitusi kita sangat jelas, bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indoensia.

Langkah DPRD Jatim mengajukan raperda inisitif tenang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya sudah tepat. Raperda ini diajukan sebagai pengganti dari Perda No 4 tahun 2016 tentang pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Dasar hukum pembentukan yang baru, yakni merujuk pada undang-undang No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, maka pokok materi yang akan diatur tentu saja harus disesuaikan dengan pokok-pokok materi yang ada dalam UU No. 18 tahun 2017 dan tentu saja secara sosiologis perlu untuk memperhatikan persoalan-persoalan baru yang saat ini sedang dan kemungkinan akan dihadapi oleh para pekerja migran Jawa Timur ke depan.

Meskipun demikian, ada beberapa catatan-catatan penting yang perlu kita cermati, yakni khususnya terkait dengan, khususnya terkait dengan legal draffting, Raperdanya, dan keterkaitan antara naskah akademik dengan Raperda yang diajukan. Tentu saja, sumber hulunya, yakni naskah akademik sebagai sumber legitimasi dan justifikasi akademik dari sebuah Raperda perlu untuk dilakukan perbaikan, dengan memperhatikan objek kajian dan landasan yuridisnya, termasuk memperhatikan peraturan perundangan-undangan yang baru, sepertu UU Cipta kerja, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan dan objek pengaturannya.

Karena itu, masukan berbagai stakeholders dan penjelasan dari ekeskutif semoga dapat dijadikan bahan masukan dan korektif bagi DPRD, khususnya Komisi E dan Pansus Raperda ini, dalam melakukan perbaikan dan penyempurnaan baik dari sisi pokok materi yang di atur maupun legal drafting sehingga Raperda ini memiliki bobot akademik dan yuridis-sosiologis yang kuat, ada yang baru dalam pengaturan tenaga migran dan keluarganya ini, dan menjadi regulasi daerah yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan daerah, khususnya terkait solusi atas persoalan Tenaga Migran Jawa Timur di luar negeri

——- *** ——–

Tags: