Beberapa waktu belakangan ini TikTok Shop ramai diperbincangkan dan dikeluhkan oleh public, pasalnya dianggap memukul pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sehingga, pro dan kontra pun tidak bisa dibendung. Sebagian pihak ada yang menilai pedagang dituntut untuk menyesuaikan dengan zaman yang identik dengan kemajuan dan pemanfaatan teknologi, sedangkan di sisi lain media TikTok sebagai sosial commerce yang merupakan gabungan media sosial dan e-commerce, seperti Instagram Shop, Tiktok Shop, Facebook Store, dan sebagainya yang dimanfaatkan sebagai sarana jualan suatu produk.
Sontak, adanya TikTok yang merangkap menjadi media sosial dan social commerce, maka produk hasil UMKM bisa jadi kalah bersaing di pasar digital. Pasalnya, dengan algoritma yang dimiliki social commerce, sangat mungkin untuk dilakukan market intelligence yang mengarahkan konsumen pada produk yang mereka hasilkan. Penataan ulang TikTok sebagai media sosial dan social commerce ini sejatinya berhubungan dengan revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag No. 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).
Memang harus diakui bahwa kekuatan teknologi sudah menyebar luas, sehingga sudah saatnya pemerintah bisa membuat regulasi atau peraturan Undang-Undang bagaimana memberdayakan UMKM, Tiktok Shop juga harus patuh pada aturan perpajakan di Indonesia. Sehingga dari sisi perpajakan, ada level playing field yang sama dengan platform e-commerce, sehingga persaingan akan menjadi lebih sehat.
Selain itu, perlu juga diperhatikan soal pengawasan dan perlindungan konsumen. Selama ini, pengawasan terhadap produk yang ditawarkan melalui social commerce tidak dilakukan dengan ketat. Hal tersebut, berpotensi membuat masyarakat tidak tahu persis keaslian suatu barang yang dijual. Untuk itu, saatnya pemerintah dan menteri perdagangan membuat regulasi yang jelas untuk melindungi UMKM. Sekaligus, mendesak pemerintah untuk segera merilis aturan dalam bentuk Permendag maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai social commerce. Aturan itu perlu dibentuk dalam peraturan terpisah maupun revisi dari peraturan sebelumnya. Hingga, pemerintah harus benar-benar membuat regulasi yang tegas bagi para social commerce.
Novi Puji Lestari
Dosen FEB Univ. Muhammadiyah Malang.