Urgensi Tim Krisis Rupiah

Krisis RupiahSeyogianya pemerintah telah tim krisis untuk merespons melorotnya nilai rupiah. Nilai Rupiah terus melorot melampaui ambang psikologis (mencemaskan). Bahkan pekan kedua lepas Idul Firi (awal Agustus 2015), memasuki ambang kritis, akan berkonsekuensi serius pada pelaksanaan Perubahan APBN 2015. Secara otomatis akan terjadi lost value (kehilangan). Karena rupiah semakin menyusut. Ini akan semakin membebani defisit neraca berjalan.
Perubahan (pera-angka-an) APBN 2015, telah disahkan menjadi UU Nomor 3 tahun 2015. P-APBN akan berimbang pada (sisi belanja) nilai sekitar Rp 1.984,149 trilyun lebih. Jika dikurs dalam dolar Amerika secara riil (yang berlaku pada bank BUMN), nilai P-APBN 2015 menjadi sebesar US$ 148,070 milyar lebih. Padahal, nilaikurs rupiah pada P-APBN 2015 dipatok hanya sebesar Rp 12.500,- per-US$.
Dengan kurs versi UU itu, nilai P-APBN 2015 terhadap menjadi sebesar US$ 158,731 milyar lebih. Artinya, tanpa dicuri, tanpa dikorupsi, tanpa belanja, P-APBN 2015 akan hilang “lenyap” senilai sebesar US$ 1,066 milyar. Dikurs rupiah, angka kehilangan itu mencapai Rp 142,858 trilyun (7,2% dari total belanja negara). Itu uang hangus akibat nilai yang makin jeblok. Tidakkah dirasa miris oleh tim ekonomi pemerintah?
Belanja negara terhadap barang impor akan semakin sedikit (dalam volume). Begitu pula terhadap jasa (pengacara dan konsultan). Maka bukan hanya APBN yang jeblok, melainkan juga perekonomian masyarakat. Setiap rumahtangga juga akan jeblok karena faktor kemahalan bahan pangan impor. Sebab beberapa produk barang dan jasa impor, niscaya makin mahal inharent nilai kurs dolar. Komoditas berupa susu, daging, kedelai dan buah-buahan. Biaya ibadah (Umorh) juga naik.
UU Nomor 3 tahun 2015 tentang Perubahan APBN tahun 2015, pendapatan negara sebesar Rp 1.761,642 trilyun. Sedangkan belanja negara mencapai Rp 1.984,149 trilyun.  Terjadi defisit, yang boleh jadi, ditutup dengan surat utang (obligasi) maupun utang luar negeri. Defisit itu, niscaya, akan semakin besar. Ironisnya, elit pemerintahan masih meng-anggap nilai dolar AS (sebesar Rp 13.400-an), merupakan kondisi “ideal”?
Keberuntungan sesaat terhadap surplus neraca perdagangan bulan Januari dan Pebruari 2015, tidak dapat dikategori ideal. Surplus sebesar US$ 1,2 milyar, itu akan lenyap tak berarti. Lagi pula surplus neraca perdagangan jarang terjadi. Lebih lagi kinerja ekspor menyurut jika dibanding periode yang sama tahun 2014. Pada tataran matematis, surplus perdagangan seharusnya dapat  mencegah melorotnya nilai rupiah. Kenyataannya, nilai dolar AS terus membubung.
Pemerintah terdahulu nampak pontang-panting ketika nilai dolar menembus Rp 11.000,- (Agustus 2013). Saat itu APBN mengasumsi nilai tukar dolar sebesar Rp 9.600,- (selisih Rp 1.400,- dengan realita pasar uang). Menyebabkan harga pangan utama, naik me-liar. Beras, susu, daging, dan kedelai melonjak. Pemerintah merespons melalui PKPE (Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi) dengan 13 paket.
Meng-antisipasi melorotnya rupiah, pemerintah Jokowi saat ini coba menanggulangi dengan 8 paket. Meliputi kebijakan jangka panjang sampai yang ke-kini-an. Diantaranya, in-efisiensi logistik, serta mendorong penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri. Pemerintah juga membentuk BUMN ke-asuransi-an, yakni re-asuransi untuk mengurangi defisit neraca bidang jasa. Juga akan mengatur skema insentif perpajakan, khususnya untuk pelayaran.
Utang swasta (ber-sumber dari impor bahan pangan dan industri manufaktur), juga wajib diwaspadai. Bahan pangan impor menjadi penyokong peringkat ketiga defisit neraca perdagangan. Begitu pula harga sewa angkutan alat berat naik, maka harga proyek infrastruktur terdongkrak lebih mahal. Tetapi otoritas moneter telah mengakui, rupiah telah berada pada level under-value. Situasi ini tidak jauh beda dengan kondisi nilai tukar saat krisis 1998.

                                                                                                                ———   000   ———

Rate this article!
Urgensi Tim Krisis Rupiah,5 / 5 ( 2votes )
Tags: