Usaha Pe-mulia-an Sapi

karikatur-sapiSapi lokal bisa seberat 1 ton lebih, kalau dikelola secara baik dan benar. Hal itu terbukti dari hewan kurban Presiden dan Wakil Presiden, memilki bobot lebih dari satu ton. Bisa menjadi pendorong peternak untuk menghasilkan daging lebih banyak. Diperlukan fasilitasi pemerintah untuk pengadaan sapi indukan, atau sapi bakalan unggul. Maka swasembada daging bukan sekadar angan-angan, melainkan bisa direalisasi secara massif.
Kedua hewan kurban (pemberian Presiden dan Wapres) itu berupa sapi jenis peranakan ongole (biasa disingkat PO). Sapi pemberian Presiden berusia sembilan tahun, didatangkan dari Jatirogo, Tuban (Jawa Timur) Beratnya 1,5 ton. Sedangkan hewan kurban Wapres Jusuf Kalla, berusia delapan tahun. Beratnya 1,3 ton, juga berasal dari Tuban. Seyogianya, hewan kurban super jumbo itu menjadi inspirasi peternak (dan pemerintah), dalam rangka pe-mulia-an sapi ternak.
Sapi peranakan ongole (PO) merupakan sapi yang berasal dari turunan sapi India. Sapi ini tergolong jenis zebu atau sapi berpunuk, seperti lazimnya sapi lokal (Sumba, Jawa, Madura dan Bali) lainnya. Tetapi ukurannya lebih besar disbanding sapi lokal. PO, merupakan sapi tipe pekerja yang kuat, karena badannya besar. Kelebihan lainnya, PO tahan lapar dan tahan haus. Hebatnya lagi, badannya cepat tumbuh besar  walau pakannya tidak berkualitas.
Kebutuhan impor daging sapi  konon mencapai 612 juta kg per-tahun. Tetapi pasokan dalam negeri hanya sekitar 64% (sebanyak 391 juta kilogram). Begitu pula terdapat pangsa konsumen khusus (di perhotelan) yang tidak meng-konsumsi daging lokal. Konon alot dan ber-aroma kurang sedap. Diduga, alotnya daging sapi lokal disebabkan cara potong di RPH (Rumah Potong Hewan) yang kurang higienis.
RPH juga sering di-kritisi karena tidak memiliki ruang tunggu hewan yang akan disembelih. Sehingga seluruh sapi melihat sapi lain disembelih, secara kejam (banting gorok). Peng-abai-an “etika” potong hewan ini menyebabkan hewan stress, otot-otot meregang, menyebabkan daging alot. Selain itu, sapi lokal bertubuh kecil (berbobot sekitar 300-an kilogram). Serta karkas daging kurang dari 30%. Dus, terasa mahal pada harga per-kilogram.
Faktor renteng distribusi semakin me-mahal-kan harga daging lokal. Biaya angkut sapi dari daerah sentra penghasil sekitar Rp 1,5 juta sampai Rp 1,8 juta per-ekor (hidup). Jika diperhitung daging (sekitar 90-an kilogram per-ekor), dan biaya potong serta rendeman (cincang bersih), harganya semakin mahal. Maka menu daging tergolong makanan mewah. Bahkan harga daging di Indonesia yang termahal di dunia. Biasa pula melonjak pada periode tertentu (bulan puasa dan jelang akhir tahun).
Sehingga impor daging menjadi pilihan pemerintah. Kuota impor sebanyak 221 juta kilogram (setara dengan 1,3 juta ekor sapi). Defisit sebesar 36% itulah yang dianggap sebagai “jatah” blantik importir sapi. Semestinya, defisit daging bisa dipenuhi peternak lokal, dengan menggenjot pembiakan, serta perbaikan metode potong RPH. Tetapi problem per-sapi-an, terlanjur terbelit-belit KKN (kolusi korupsi dan nepotisme). Andai tiada KKN, kebutuhan daging bisa dipenuhi melalui pemuliaan  sapi.
Swasembada daging sapi sebenarnya bukan mimpi kosong. Buktinya, peternak di Tuban (Jawa Timur) bisa merawat sapi PO hingga mencapai berat 1,5 ton. Sejak masih bakalan, sapi PO memang sudah bertubuh besar. Sapi PO jantan memiliki tinggi badan 150 cm, dengan berat rata-rata 600 kilogram. Sedangkan betina tinggi rata-rata 135cm dengan bobot 500 kilogram.
Beberapa daerah (Tuban, Kebumen, dan Sumba) telah sukses beternak sapi PO. Pemerintah berkewajiban me-masif-kan usaha ternak unggulan dengan fasilitasi indukan dan bakalan. Masyarakat menunggu harga daging murah terjangkau untuk mencukupi kebutuhan gizi.

                                                                                                   ———   000   ———

Rate this article!
Usaha Pe-mulia-an Sapi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: