Usia Senja Boleh Ikut, Belum Cukup Umur Jangan Dulu

Hasan, pria berusia 75 tahun itu mengikuti ujian kejar Paket A di SMPN 32 bersama anaknya.

Hasan, pria berusia 75 tahun itu mengikuti ujian kejar Paket A di SMPN 32 bersama anaknya.

Lintas Generasi di Ujian Kejar Paket A
Kota Surabaya, Bhirawa
Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) alias ujian Kejar Paket A sudah dimulai Senin (18/5) kemarin. Di Surabaya, ada 439 warga belajar terdaftar sebagai pesertanya. Mulai dari mereka yang lahir di era gadget, sampai mereka yang sudah hidup sejak zaman pra kemerdekaan RI.
Halaman parkir SMPN 32 Surabaya penuh sesak dengan berbagai jenis mobil berkelas. Jelas, itu adalah mobil para pengantar ujian Paket A Surabaya yang dipusatkan di satu tempat. Mobil-mobil itu sekaligus menjadi saksi, bahwa peserta ujian paket bukan saja berasal dari kalangan masyarakat kurang beruntung. Tetapi juga mereka yang sengaja memilih pendidikan non formal melalui home schooling atau siswa sekolah internasional yang ingin memiliki ijazah resmi negara.
Di antara ratusan peserta itu, ada Hasan di sana. Dia mungkin termasuk yang kurang beruntung. Karena setelah 75 tahun hidup, dia baru bisa merasakan indahnya bangku sekolah kemarin. Ya, pria kelahiran Bangkalan 1940 itu memang tidak pernah lulus sekolah. Dia pun mengikuti Kejar Paket A agar tahu rasanya memiliki ijazah.
“Saya lahir sejak Indonesia belum merdeka. Tapi baru sekarang bisa ikut ujian yang kelasnya seperti anak SD,” kata pria yang pernah menikah 18 kali itu.
Dulu, dia bekerja sebagai kusir pedati. Sejak usianya 14 tahun telah menikah dan kini istrinya tinggal tiga. Otomatis, usia mudanya habis untuk mengurus keluarga. Tidak terlintas saat itu tentang pentingnya pendidikan.  “Terus terang saja, saya dulu ini orangnya nakal. Sekarang ya sudah ndak. Saya sekarang sudah punya anak sepuluh, 13 cucu dan satu cicit,” tutur Hasan dengan logat Maduranya yang masih kental.
Pria yang kini tinggal di Kecamatan Kenjeran itu mengaku kini bekerja sebagai sebagai penjaga rumah susun. Dia mengikuti ujian Paket A bersama anaknya. Bukan sebagai pengantar, melainkan ikut sebagai peserta pula. “Anak saya juga saya ajak ikut ujian,” tutur dia.
Meski tergolong tidak berpendidikan, Hasan punya tekat kuat agar anak-anaknya tetap sukses. Usaha itu tak sia-sia. Dua anaknya kini sukses menjadi anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang satu bertugas di Bandung dan satu lagi di Timor Timor.
Di tempat ujian tersebut Hasan adalah yang paling tua. Namun tidak semua pesertanya tua. Ada juga mereka yang masih belasan. Bahkan, pada hari pertama itu panitia terpaksa memulangkan satu peserta karena usianya belum mencukupi.
Dia adalah Brigita Apriani, usianya baru 11 tahun. Dia datang diantar sang ayah ke tempat ujian. Namun sayang, dia harus pulang sebelum masuk kelas ujian. Namanya tidak terdaftar sebagai peserta ujian karena usianya tidak memenuhi syarat. “Kemarin ya sudah siap-siap mau ujian. Sekarang kok tidak boleh,” kata dia.
Koordinator Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Surabaya Imam Ruchani mengatakan, peserta ujian Paket A memiliki batas minimal, yaitu 13 tahun. Kalau batas maksimalnya terserah, 90 tahun pun kalau mau jadi. Karena itu, nama Apriani tidak ada di daftar karena secara otomatis dicoret oleh panitia. “Mungkin dari pihak PKBM tidak diberi tahu kalau Apriani tidak masuk daftar,” kata Ruchani.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan Jatim Nashor yang saat itu berada di lokasi dapat memakluminya. Dia mengaku sudah biasa menemui calon peserta yang tidak memenuhi syarat. “Di Bandung baru-baru ini ada siswa yang baru kelas 2 SMA ikut Paket C dan lulus. Kemudian diterima di Fakultas Kedokteran dan jelas jadi masalah,” kata dia.
Nasor mengaku, persyaratan semacam ini semestinya telah diketahui oleh masing-masing PKBM. Namun kerap pihak PKBM itu tetap saja mengajukan tanpa mengindahkan aturan yang berlaku. “Makanya sekarang ini panitia di daerah maupun provinsi harus benar-benar teliti memverifikasi caon peserta,” pungkas dia. [tam]

Tags: