Usung Kekayaan Lokal, Buat Motif Kangkung Setingkes

Melia Afifah, Siswa SD Tampo, Cluring, Banyuwangi berhasil meraih juara I dalam lomba batik dalam rangka Peringatan Hari Anak Nasional Dindik Jatim.

Melia Afifah, Siswa SD Tampo, Cluring, Banyuwangi berhasil meraih juara I dalam lomba batik dalam rangka Peringatan Hari Anak Nasional Dindik Jatim.

Kota Surabaya, Bhirawa
Kerajinan batik kian populer tidak hanya bagi masyarakat Indonesia, tapi juga internasional. Ini menjadi warisan budaya yang harus dijaga. Patut kiranya, jika keahlian membatik diwariskan secara turun-temurun. Seperti Melia Afifah, meski baru kelas 5 SD, namun bakatnya membatik begitu mahir hingga menorehkan prestasi terbaik se-Jatim.
Di Banyuwangi, ada motif batik yang cukup terkenal di sana. Namanya kangkung setingkes yang artinya seikat kangkung. Motif ini kemudian diusung Afifah, dalam lomba membatik dalam peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2015 di Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim pekan lalu. Hasilnya, tak kalah dengan pembatik-pembatik profesional. Dan yang paling membanggakan, di akhir penilaian dewan juri mengumumkan namanya sebagai juara I.
Motif batik yang njelimet itu, dikerjakan Afifah dengan cekatan sekaligus cepat. Bakat siswa asal SDN 2 Tampo, Cluring Banyuwangi ini memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak, saat panitia memberi waktu 120 menit untuk membuat pola sekaligus membatik, Afifah hanya butuh waktu 60 menit untuk itu.  “Waktunya dua jam. Tapi satu jam sudah selesai,” tuturnya dengan wajah polos menyembunyikan grogi yang masih tersisa dari lomba.
Meski nyaris tak mendapat kesulitan saat membatik, Afifah mengaku tetap grogi. Apalagi yang dihadapi adalah anak-anak dari berbagai daerah di Jatim. Dia merasa pesaingnya bukan lah sembarang karena mewakili daerah. Sementara prestasi Afifah, sejauh ini hanya pernah menang sebagai juara harapan I di Kabupaten Banyuwangi.
Kemenangan ini disambut gembira guru, orangtua, kepala sekolah dan pendamping Afifah yang datang dengan dua minibus dan satu mobil keluarga dari Banyuwangi. Dia pun bangga dengan kemenangan itu meski senyum tak banyak terkembang dari bibirnya.  Maklum Afifah anak yang pendiam. Kecintaannya dengan membatik dimulai sejak dia kelas empat. Saat itu dia mulai belajar dari ibunya.  “Belajarnya dari ibu. Terus di sekolah dilatih lagi,” tutur anak kelahiran 30 Januari 2004 ini.
Mudjiono, praktisi batik yang menjadi dewan juri dalam ajang tersebut mengakui kepiawaian Afifah dan para peserta lainnya. Secara umum, dia menilai peserta lomba membatik se-Jatim ini memiliki bakat yang bagus-bagus. Nilainya bahkan tidak ada yang di bawah 81. “Kami dewan juri mengakui bahwa hasil membatik anak-anak ini sangat baik. Nilainya rata-rata 81 sampai 100,” kata dia.
Dalam pembuatan ornamen, Mudjiono mengaku tidak ada kesalahan. Namun, teknik membatik anak-anak yang kadang masih belepotan. Ada yang cantingnya masih netes ke kain, ada juga yang megang cantingnya sudah salah.  “Mungkin ini karena grogi atau kurang latihan. Kita bisa tahu kok mana yang latihannya satu kali, mana yang dua kali. Tapi teknik dasarnya semuanya sudah cukup menguasai,” tutur dia.
Mudjiono berpesan kepada seluruh pembina batik di sekolah, agar tidak mengajari anak membatik seperti mengajari menggambar. Tetapi cukup diajari teknik membuat pola. Misalnya, anak disuruh membuat radial, simetris atau asimetris. “Jangan melatih anak membatik dengan memberi contoh gambar,” tegas Mudjiono yang juga dosen Desan Komunikasi Visual UK Petra itu. [tam]

Tags: