Utamakan Lembaga Ad Hoc, KPK Bisa Dibubarkan

IMG_1193Kejati Jatim, Bhirawa
Pada saatnya nanti peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dibubarkan. Hal inilah yang dikatakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat menjadi pembicara di seminar ‘Penguatan Kejaksaan Dalam konstitusi’, Selasa (7/7) di Aula Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim.
Mahfud mengatakan, penanganan kasus korupsi pada saatnya akan dikembalikan kepada lembaga penegak hukum konvensional, Kejaksaan dan kepolisian. Sebab, KPK merupakan lembaga yang berdiri secara ad hoc (tidak permanen).
Selain itu, lanjut Mahfud, komisi antirasuah itu dibentuk manakalah Kejaksaan dan Kepolisian dinilai tidak mampu melaksanakan tugas pemberantasan kasus korupsi. Jadi, manakala dua institusi penegak hukum konvensional itu sudah siap, maka KPK akan dibubarkan.
“Penanganan kasus korupsi dikembalikan lagi ke Kejaksaan atau Kepolisian,” terangnya pada acara yang juga  dihadiri sebagai pembicara, i dua pakar hukum Prof Dr Didik Endro Purwo Leksono (Unair Surabaya) dan Prof Dr Suko Wiyono (UM Malang).
Menurut Mahfud, saat ini peranan KPK tidak seperti sebelumnya. Sejumlah kelemahan ditemukan di sana sini. “Seperti yang anda lihat belakangan ini, KPK sudah tidak ditakuti lagi,” ungkap Mahfud MD.
Mantan angota DPR ini mengaku, pada sisi lain, baik Kejaksaan maupun Kepolisian telah menunjukkan perbaikkan dalam setiap penanaganan kasus korupsi. Selain itu, Kejaksaan harus berani unjuk gigi untuk mengambil lagi peranan sebagai lembaga penanganan korupsi yang sejak era reformasi didominasi KPK.
“Bisa jadi 25 tahun lagi KPK bisa dibubarkan. Tentunya tidak sekarang,” terangnya.
Untuk menjadi seperti dulu, Kejaksaan harus memulai penguatan struktural, diantaranya adlaah penguatan dalam hal konstitusi. Kejaksaan harus independen dan jauh dari pengaruh kekuasaan. “Oleh karenanya, Kejaksaan harus dimasukkan secara eksplisit di UUD 45,” imbuhnya.
Tentu saja, tambah Mahfud, penguatan konstitusional ini juga harus dibarengi dengan penguatan fungsional. Jika tidak, problem seperti penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (a buse of power) akan merusak penegakan hukum di lingkungan Kejaksaan, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi.
“Potensi A buse of power ini terjadi dimana-mana, tidak hanya di Kejaksaan. Memang hal ini resiko yang harus dihadapi sebagai institusi penegak hukum. Tergantung bagaimana cara mengatasinya,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara UM Malang Prof Dr Suko Wiyono mengaku sependapat dengan Mahfud MD soal perlunya Kejaksaan dimasukkan secara eksplisit ke dalam UUD 1945. Hal itu merupakan upaya penguatan peran Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia. “Perlu juga perbaikan pencitraan oleh Kejaksaan,” ungkapnya.
Guru Besar Hukum Unair Surabaya berpendapat, institusi penegak hukum tidak bisa lepas dari politik. Secara konstitusional, undang-undang yang menaunginya juga berurusan dengan ranah kekuasaan. Karena itu, diperlukan kemauan politik dari penyelenggara negara untuk memantapkan peran kejaksaan. “Diperlukan political will (kemauan politik) untuk mewujudkan itu,” pungkasnya. [bed]

Tags: