UU 23/ 2014 : Format Baru Otonomi Daerah ?

Hadi Wawan GuntoroRefleksi Hari Otonomi Daerah XX Tahun 2016 (2-habis)

Oleh :
M. Hadi Wawan Guntoro
Purnapraja STPDN Angkatan VII, Alumni program Magister PSDM Unair dan PNS Pemprov Jatim.

Dalam praktiknya otonomi daerah adalah tentang bagaimana tarik ulur besaran kewenangan penyelenggaran urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten dan kota, apakah dominan kearah sentralisasi atau desentralisasi (asas otonomi). Sejarah perkembangan perundangan tentang pemerintahan daerah (baca : penyelenggaraan otonomi daerah) pasca kemerdekaan RI Tahun 1945 mencatat gambaran pasang surut tarik ulur dominasi kewenangan tersebut : UU 1 / 1945  (dominan sentralisasi);UU 22 / 1948 (dominan desentralisasi); UU 1 / 1957  (dominan desentralisasi);  Presidential Edict 6 / 1959  (dominan sentralisasi);UU 18 / 1965  (dominan desentralisasi); UU 5 / 1974  (dominan sentralisasi); UU 22 / 1999 (dominan desentralisasi); UU32 / 2004 (mencari keseimbangan); dan UU23 / 2014(efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan). Kalau kemudian kita batasi saja pengaturan pemerintahan daerah sesuai periodesasi 20 tahun dihitung dengan Hari Otonomi Daerah XX Tahun 2016, artinya UU yang berlaku saat itu adalah UU5/1974, maka nampak pasang surut otonomi daerah masih terus terjadi. Bahkan mungkin sampai dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagai undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku saat ini.
Sebagian dari kita pasti menyadari bahwa suasana kebatinan yang melingkupi hadirnya UU 32 / 2004 untuk mencari keseimbangan belum berhasil menemukan titik seimbang yang diharapkan sampai kemudian diganti dengan UU 23 / 2014 dengan mengangkat semangat baru menuju efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Tapi sesungguhnya format baru otonomi daerah yang bagaimana yang hendak dibangun dalam UU 23 / 2014 ?
UU 23/ 2014 : Format Baru Otonomi Daerah ?
UU ini terdiri dari 27 bab dan 411 pasal, yang mengatur kurang lebih 24 (dua puluh empat) point penting penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu point penting yang menurut saya paling krusial adalah pengaturan tentang urusan pemerintahan yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi daerah.
Dalam penjelasan UU ini disampaikan setidaknya 4 (empat) pengaturan afirmatif (bersifat menguatkan), yaitu : pertama, dilaksanakan pemetaan urusan pemerintahan untuk menciptakan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota; kedua, adanya jaminan pelayanan publik yang disediakan pemerintah daerah kepada masyarakat; ketiga, adanyamekanismepembinaan, pengawasan, pemberdayaan, sertasanksi yang jelasdantegas, dimana pembinaan dan pengawasan umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan pembinaan dan pengawasan teknis dilakukan oleh kementerian / lembaga pemerintah; dan keempat, Presiden melimpahkan kewenangannya kepada Gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah kabupaten/kota, sehingga hubungan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kotaber sifat hierarkis.
Konstruksi pembagian kekuasaan yang dibangun dalam UU 23 Tahun 2014 memposisikan pemerintah provinsi (Gubernur) dalam 3 (tiga) status, yaitu : pertama, provinsi sebagai daerah otonom yang melaksanakan urusan konkuren yang menjadi kewenangannya, dalam pelaksanaannya dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi yang dalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh APBD Provinsi; kedua, provinsi sebagai wilayah administrative yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah provinsi yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh instansi vertikal dan didanai oleh APBN; dan yang ketiga, provinsi sebagai wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan dibiayai oleh APBN.
Terdapat garis tegas yang membatasi ruang lingkup tiga posisi provinsi (baca : Gubernur) tersebut, karena ketiganya mempunyai pengaturan, tugas pokok dan fungsi serta sumber daya yang berbeda dan tentunya menuntut pertanggungjawaban administrasi negara yang berbeda juga.
Demikian juga posisi pemerintah kabupaten dan kota (baca : Bupati/Walikota) yang mempunyai 2 (dua) status, yaitu : pertama, kabupaten/kota sebagai daerah otonom yang melaksanakan urusan konkuren yang menjadi kewenangannya, dalam pelaksanaannya dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kabupaten/kota yang dalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh APBD kabupaten/kota; kedua, kabupaten/kota sebagai wilayahadministratifyang menjadi wilayah kerja bagi bupati/walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah kabupaten/kota yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh instansi vertikal dan didanai oleh APBN.
UU 23 Tahun 2014 juga menata ulang urusan pemerintahan menjadi 3 (tiga), yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Tata ulang tersebut membawa konsekuensi perubahan, khususnya untuk urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum, diantaranya peralihan pengelolaanpendidikanmenengah; pengelolaan terminal penumpang tipe A dan tipe B; pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara; pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung dan hutan produksi; pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan; pelaksanaan penyuluhan kehutanan provinsi; pelaksanaan metrologi legal berupatera, teraulang dan pengawasan ; pengelolaan tenaga penyuluhKB/petugas lapangan KB (PKB/PLKB); pengelolaan tenaga pengawas ketenagakerjaan; penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional; penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil dan perdesaan; peralihan urusan pertambangan, perikanan dan kelautan, urusan sosial serta vertikalisasi urusan kesatuan bangsa dan politik.
Perubahan urusan pemerintahan ini membawa konsekuensi beralihnya unsur manajemen dan fungsi manajemen yang melingkupi penyerahan Personil, Pendanaan, Sarana dan Prasarana serta Dokumen (P3D) antar tingkatan pemerintahan.
Dinamika yang terjadi menunjukan berbagai reaksi atas perubahan tersebut, beberapa daerah menolak beralihnya urusan pemerintahan yang selama ini menjadi kewenangannya. Inilah demokrasi, tentunya akan tetap elok manakala dalam prosesnya didasarkan pada kepentingan umum dan pranata hukum yang berlaku, toh semuanya juga untuk kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Konsekuensi lain dari perubahan ini adalah tata ulang kelembagaan SKPD pemerintah daerah, rekonstruksi perencanan penganggaran dan penyesuian dalam perumusan kebijakan jangka panjang dan jangka menengahyang mengikuti arah perubahan urusan pemerintahan yang akan menjadi kewenangannya.
Masih banyak catatan kritis terhadap format baru otonomi daerah versi UU 23 Tahun 2014 yang sebagian masih menyisakan ruang kelabu yang belum bisa ditentukan akan mengarah kemana, tidak bisa tidak dibutuhkan penyesuian dan harmonisasi peraturan perundangan dan tata laksana yang mengatur tentang tata hubungan serta mekanisme kerja masing-masing penyelenggara urusan pemerintahan.
Rasanya siklus pasang surut otonomi daerah akan masih terus berlangsung, entah mencari keseimbangan, entah mencari efektivitas ataupun mencari efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, tapi yang pasti otonomi daerah harus bermuara kepada kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selamat Hari Otonomi Daerah XX Tahun 2016.

                                                                                                           —————- *** —————-

Tags: