UU Cilaka dan Mencelakakan Buruh

Oleh:
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabay, Pengurus Himpunan indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), Jatim

Meskipun ditolak besar-besaran oleh kaum buruh dan pekerja, namun tidak menyurutkan tujuh fraksi-fraksi di DPR RI (PDI-P, Golkar, Gerindra, PPP, Nasdem, PKB, dan PAN) untuk tetap ngotot mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) menjadi UU baru di tengah malam, ketika rakyat sedang tidur nyenyak. Saat ini gelombang bola salju penolakan keras dari buruh dan mahasiswa terus menyebar bak virus ke berbagai penjuru daerah. UU Cilaka ini memang layak ditolak, setidaknya karena dua alasan. Pertama alasan prosedural dan kedua alasan substansi. Karena catat prosedur dan cacat substansi, maka wajar jika buruh dan pekerja menolak keras.

Cacat Prosedur

UU Cilaka ini dinilai catat prosedur, karena, Pertama, , proses pembahasan UU ini terlalu dipakskan hanya untuk memenuhi target waktu politis yang diminta bapak presiden, yakni 100 hari. Pembahsan dan penyusunannya seperti “kejar tayang”, yang berakibat pada banyaknya pasal dalam UU yang bermslah dan dipermasalahkan publik. Kedua, UU Cilaka ini mengkhianati norma-norma demokrasi, salah satunya adalah aspirasi dan partisipasi publik. Proses penyusunan UU Cilaka ini sangat miskin partisipasi publik, terutama bagi kaum buruh. Sebenarnya, sejak awal kelompok dari berbagai elemen masyarakat sudah menyuarakan aspirasi dan kepentingan buruh untuk diakomodir dalam UU Cilaka yang lebih berkeadilan, tetapi ujungnya dikhianati. Para anggota dewan dan pemeritnah lebih mendengar dan mengakomodasi sura dan kepentingan pengusaha..

Ketiga, pembahasan RUU ini tidak sensitf keadaan. Pembahasan yang kejar tayang sama sekali tidak memiliki sensitivitas moral dan sosial, dimana dilakaukan di tengah Pandemi Covid-19. Pemerintah dan DPR, seharusnya lebih fokus pada penanganan pandemi Covid-19 yang masih bermasalah dan masih menimbulkan banyak korban jiwa, tetapi justru mereka lebih memilih membahas RUU Cilaka ini. Karena dibahas di tengah pandemi, maka dipastikan keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatannya sangat minim dan terbatas terbatas. Prosedur ini tentu saja tidak mengindahkan aturan main yang termakstub dalam UU No. 12 tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundangn-Undangan.

Catat Substansi

Selain cacat prosedur, UU ini dinilai cacat substansi.. Pertama, masalah pesangon. Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan. Padahal dalam UUK pasal 161 (UUK No. 13 Tahun 2003) menyebutkan pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon. Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan. Menghapuskan uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal. UU Cilaka juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja.

Kedua, masalah dana pensiun pekerja atau buruh juga dihapuskan. Perusahaan berhak melakukan pemutusan kerja terhadap buruh atau pekerja yang akan memasuki pensiun. Ketiga, pihak perusahaan berhak melakukan pemutusan hubungan kerja, bila pekerja atau buruh melakukan pelanggaran berat, meskipun tanpa melalui proses hukum atau peradilan. Keempat, status pekerja. UU Cilaka ini menghapus pasal 59 UUK (13 Tahun 2003) yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Di UUK, PKWT bagi pekerja maksimal bisa sampai 2 tahun, dan boleh diperanjang setahun. Di UU Cilaka ini, PKWT dihapus. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup atau sewaktu-waktu di PHK secara sepihak.

Kelima, masalah Outsourshing. Tidak ada batasan jenis-jenis pekerjaan yang di-outsourshing-kan. Semua bidang kegiatan atau kerja bisa dioutsourshingkan dengan kehendak perusahaan. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin tidak terkendali. Keenam, pekerja yang di PHK karena mengalami sakit berkepanjangan kecelakaan, mengalami catat akibat kecelakan kerja ketika di PHK tidak lagi mendapatkan pesangon. Kesepuluh. Lebih memberi kemudahan bagi tenaga kerja asing di Indonesia (pasal 42-44). Produk UU hasil perselingkuhan jahat antara pemerintah dan tujuh fraksi di DPR melairkan UU yang haram. Dan masih banyak pasal yang dipersoalkan kaum buruh.

Mencelakan kaum Buruh.

Dengan melihat norma-norma yang diatur dalam UU Cilaka ini, nampak terlihat nyata, UU ini lebih berpotensi pada pemberian karpet merah kepentingan pengusaha. Sebaliknya sangat berpotensi besar mencelakan para buruh dan generasi berikutnya. Nasib buruh hanya dijadikan “alat ekonomi” pengusaha yang bersengkongkol dengan tangan-tangan kekuasan. Dalam pandangan Marxisme, UU (hukum) ini digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menekan dan menindas rakyat (kaum lemah/buruh). Kedaulatan negara bukannya berpijak pada kedaulatan rakyat, tapi lebih berpihak pada kepentingan kaum pemilik modal.

Karena itu bagi Marx, negara bukanlah lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas berkuasa -baik secara politik maupun ekonomi- untuk mengamankan kekuasaan mereka. Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah.

Ada dua Pilihan Objektif.

Karena serba cacat, baik cacat prosedur, substansi dan cacat moral, tidak ada jalan lain kecuali dicabut atau dibatalkan. Ada dua langah yang bisa dilakukan, yakni langkah politik dan hukum. Langkah politik-konstitusional dengan mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti undang-undang (Perppu). Jika tidak mau keluarkan, maka dapat warga amsyarakat dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Kosntitusi. Saat ini, setidaknya NU dan Muhammadiyah sudah berencana akan mengajukan JR ke MK. Selanjutnya, secara yuridis, Perppu tersebut secara meteriil dan formil bertentangan dengan UUD 1945.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: