UU Desa dan Momentum Pengembangan PAUD

wahyuksnOleh :
Wahyu Kuncoro, ST, M.Medkom
Dosen Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM), Surabaya

Hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan momentum bersejarah bagi bangsa ini. Dalam UU Desa ini, pemerintahan desa tidak hanya memiliki wilayah dan penduduk saja, namun juga memiliki anggaran. Selama ini, problem yang dialami desa adalah memiliki wilayah dan penduduk tetapi tidak memiliki dana.
Ketika UU ini diberlakukan 2015 mendatang, maka dana sebesar 10 persen dari APBN akan masuk langsung ke desa. Setiap desa bisa mengelola anggaran hingga Rp1,5 miliar setiap tahun, meski tidak sama setiap desa karena didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi desa, dan kesulitan geografis. Bukan hanya itu, dalam anggaran APBD, setiap desa juga dimungkinkan mendapat kucuran dana dari APBD provinsi dan kabupaten/kota.
Menurut UU Desa, setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib menganggarkan pembangunan desa di APBD sesuai kemampuan masing-masing daerah. Kalau selama ini desa mengelola Alokasi Dana Desa (ADD) Rp100 juta sampai Rp200 juta bahkan ada satu desa yang hanya memiliki ADD Cuma Rp50 juta rupiah, maka nanti desa akan dapat Rp1,5 miliar, tentu ini harus ada perencanaan-perencanaan yang baik.
Kehadiran UU Desa dalam implementasinya nanti harus benar-benar dikawal dengan penuh kewaspadaan. Potensi-potensi masalah yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat perlu disikapi dengan membangun mentalitas yang baik. Belajar dari otonomi daerah yang ada saat ini, nyatanya telah melahirkan ‘raja-raja’ kecil yang kebablasan dalam mengelola potensi daerahnya semata-mata untuk memperoleh pendapatan daerah. Jangan sampai kepala desa masuk penjara karena ketidakmengertiannya dalam mengelola keuangan. Virus korupsi masih menjadi wabah ganas yang siap menyasar para pemegang kewenangan dan kebijakan, termasuk di tingkat desa.
Keberadaan anggaran desa merupakan wujud upaya pemberdayaan desa serta membuat desa lebih maju dan mandiri. Keberadaan nomenklatur anggaran desa dalam APBN juga diarahkan untuk mengefektifkan anggaran.  Idealnya, masyarakat desa harus aktif memegang peranan membangun desanya masing-masing karena merekalah yang memahami persoalan dan potensi desanya.

Momentum Pengembangan PAUD
Sejalan dengan kian berdayanya keberadaan desa, bangsa ini juga dihadapkan pada belum meratanya kesempatan pendidikan termasuk pendidikan anak pada usia dini (PAUD). Saat ini baru 38 persen dari sekira 26 juta anak usia 0-6 tahun yang mendapat pelayanan pendidikan usia dini. Jumlah itu tentu masih sedikit dan perlu terus ditingkatkan. Selain faktor kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD, faktor lain adalah masih terbatasnya unit satuan yang menyelenggarakan PAUD.
Masa kanak-kanak merupakan waktu yang tepat untuk meletakankan budaya bangsa, seni, bahasa, sosial dan moral keagamaan. Sehingga dibutuhkan sebuah sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) yang ditangani serta dikelola secara profesional. Tidak mudah dalam memberikan dan mengelola PAUD karena diperlukan keahlian yang profesional. Selain itu, penyelenggaraan PAUD juga harus mampu memadukan antara aspek pendidikan, kesehatan dan perkembangan anak secara emosional. Karenanya, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60/2013 tentang program pengembangan anak usia dini secara holistik integratif. Perpres itu mengamanatkan agar seluruh layanan sosial dasar bagi anak, didorong untuk dapat terintegrasi terutama pada layanan posyandu, Bina Keluarga Balita dan PAUD. Anak adalah masa keemasan dan kritis terhadap tumbuhkembang seorang manusia.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk terus menambah jumlah pelayanan PAUD, salah satunya adalah melalui program Satu Desa Satu PAUD . Program strategis yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum mampu tuntas seratus persen. Sebagai catatan, hingga akhir tahun 2013, dari total 77.559 desa se-Indonesia, sebanyak 53.832 desa sudah terlayani PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sebanyak 27 provinsi telah memiliki tingkat ketuntasan PAUD di atas 50 persen, sementara enam provinsi tingkat ketuntasannya masih di bawah 50 persen yaitu Maluku Utara, Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Papua, dan Papua Barat.
Secara nasional program Satu Desa Satu PAUD telah mencapai 69,4 persen. Artinya persoalan yang dihadapi desa saat ini bukan saja mengejar agar ketertuntas program satu desa satu PAUD itu tercapai 100 persen, namun yang patut dicatat adalah bagaimana meningkatkan kualitas penyelenggaraan PAUD itu di masing-masing desa. Dalam konteks ini maka, semakin berdayanya desa dengan dipayungi oleh UU Desa diharapkan bukan saja akan ikut mempercepat penambahan jumlah penyelenggaraan pendidikan PAUD di desa0desa tetapi juga akan mendorong kualitas penyelenggaraan PAUD menjadi lebih baik.

Wacana Wajib Belajar PAUD
Disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit mencantumkan tentang Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD (Pasal 28), menunjukkan adanya komitmen bangsa Indonesia untuk menempatkan pendidikan anak usia dini sebagai bagian penting dalam penyiapan sumber daya manusia di masa mendatang.
Sejalan dengan ini, menarik kiranya apa yang disampaikan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan yang selalu mengusulkan agar jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi program wajib belajar. Apalagi fase usia dini merupakan saat pembentukan mental dan spiritual anak. Usia 0-6 tahun seorang anak akan mengalami periode usia emas. Pada fase tersebut, perkembangan mental dan spiritual anak terbentuk. PAUD adalah pendidikan dasar yang tidak bisa diabaikan. Ini juga tanggung jawab orangtua untuk menyukseskan pendidikan anak usia dini, sesuai dengan perannya masing-masing.
Pendidikan usia 0-6 tahun merupakan masa untuk menanamkan karakter pada anak. Ini lebih berharga daripada investasi apapun. Bahkan pengalaman anak di tahun-tahun pertama akan menentukan apakah sang anak nantinya mampu menghadapi tantangan dan berhasil dalam pekerjaannya. Sampai saat ini, jumlah anak usia dini 0-6 tahun mencapai 32,7 juta. Dari jumlah tersebut, yang telah terlayani sebanyak 12,6 juta atau sebanyak 38,57 %.
Sebagai langkah untuk menjadikan PAUD sebagai program wajib belajar maka perlu didorong dengan mendirikan  tempat layanan PAUD berupa Taman Kanak-Kanak (TK) Negeri di setiap desa. Saat ini jumlah TK di seluruh Indonesia mencapai 74 ribuan unit. Sedangkan jumlah TK negeri mulai di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota hanya 437 unit. Padahal dengan status kelembagaan negeri, suatu unit TK akan lebih muda dikontrol kualitas pemenuhan standar pelayanan minimalnya (SPM). Minimal bisa dikontrol kualitas standar sarana prasarananya dan kurikulumnya. Peningkatan jumlah TK negeri tentu tidak bisa dijalankan secara alamiah. Untuk mempercepatnya,  desa yang belum memiliki TK negeri bisa memanfaatkan uang atau dana alokasi desa yang jumlahnya bisa mencapai Rp 1 miliar per desa per tahun itu.
Singkatnya, desa yang selama ini dianggap termarjinalkan, dituntut untuk mampu bangkit dengan wajah baru berbekal UU Desa. Kalau sebelumnya dalam konteks pengembangan pendidikan khusus PAUD masyarakat desa lebih pada posisi menunggu kucuran dana dari atas, maka hari ini masyarakat di desa ditantang untuk membuktikan bahwa masyarakt desa bisa menjadi ujung tombak dalam pengembangan pendidikan khsuusnya penyelenggaraan PAUD. Dengan dana yang memadai kita sangat menunggu lahirnya PAUD-PAUD yang berkualitas dari desa-desa yang selama ini lebih diidentikan sebagai daerah yang miskin dan terbelakang.
Wallahu’alam Bhis-shawwab ***

Tags: