UU Ormas Dalam Perspektif HAM

Oleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen Pada Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Pro kontra setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna DPR pada hari Selasa (24/10/2017) kembali mengemuka. Sebagaimana kita ketahui bersama sejak diterbitkannya Perppu Ormas ini oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto pada hari Rabu (12/7/2017) lalu, banyak pihak yang akhirnya mendukung Perppu Ormas ini namun tidak sedikit pula yang menolak.
Kelompok yang mendukung diterbitkannya Perppu ini menganggap bahwa dengan adanya Perppu ini akan memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah dalam menindak ormas-ormas yang radikal dan bertentangan dengan ideologi pancasila. Sedangkan, kelompok yang kontra dengan diterbitkannya Perppu ini juga memiliki alasan yaitu adanya kekhawatiran dikalangan mereka bahwa dengan diterbitkannya Perppu ini maka akan menyebabkan pemerintah bertindak sewenang-wenang dan represif terhadap ormas-ormas yang ada di Indonesia.
Kecurigaan akan dijadikannya Perppu Ormas ini sebagai alat represi pemerintah juga diperkuat oleh pendapat dari Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurutnya undang-undang ormas ini sangat berpotenesi mengancam masyarakat-masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah. Hal yang menjadi berbahaya juga menurutnya adalah adanya kemungkinan undang-undang tersebut akan digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia (merujuk pada pembubaran HTI). Adanya undang-undang ini menurutnya juga menjadi modal bagi pemerintah untuk membubarkan ormas yang dianggap menodai ideologi negara secara sepihak dan seseorang serta merta dapat dipidana hanya karena menjadi anggota ormas yang dilarang.
Sebenarnya jika kita telusuri dari awal kemunculannya Perppu ini yang sudah memunculkan penolakan yang massif dari masyarakat maka mejadi wajar ketika Perppu ini disahkan menjadi undang-undang maka gelombang penolakannya akan menjadi lebih besar. Kaitannya dengan kemunculan Perppu ini penulis tertarik untuk mengutip pendapat dari pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie yang sebenarnya menjelaskan bahwa Perppu itu harusnya diterbitkan dalam keadaan darurat. Keadaan darurat ini berdasarkan pada hukum internasional dan konstitusi Indonesia yang harus dideklarasikan terlebih dahulu.
Apabila dilihat dari persperktif HAM apakah Perppu Ormas yang akhirnya disahkan menjadi undang-undang ormas ini melanggar HAM? pertanyaan ini akan penulis jawab dengan menguraikan penjelasan dari kemunculan Perppu ini. sebagaimana diungkapkan oleh Prof Jimly Asshiddiqie harus ada “keadaan darurat” yang memaksa pemerintah mengeluarkan Peppu. jika kita baca Perppu tersebut dijelaskan dalam aspek penjelasan bahwa keadaan darurat dalam konteks terbitnya Perppu ini adalah adanya kegiatan ormas tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain, ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi yang dilakukan secara lisan atau tertulis. Menggunakan media elektronik atau tidak sehingga dianggap dapat menimbulkan kebencian terhadap golongan tertentu atau bahkan kepada pemerintah. Kondisi inilah yang oleh Pemerintah dianggap dapat menimbulkan potensi konflik sosial antara anggota masyarakat sehingga bisa menimbulkan chaos yang sulit untuk dicegah apalagi bila ormas tersebut tidak mengakui pancasila sebagai ideologi gerakannya.
Dalam pandangan penulis menjadi menarik sebenarnya melihat penjelasan pemerintah bahwa munculnya Perppu ini karena adanya keadaan darurat yang disebabkan oleh ujaran kebencian dari ormas-ormas tertentu yang mengancam kesatuan NKRI, namun kurang tepat untuk mengatakan bahwa ujaran kebencian itu dapat menimbulkan chaos karena sampai dengan detik inipun chaos yang dimaksud pemerintah tidak terjadi. Jadi bisa disimpulkan bahwa keadaan darurat yang didefiniskan oleh Pemerintah tersebut belum terjadi namun kalau dikatakan berpotensi menimbulkan keadaan darurat jawabannya adalah iya.
Memang menurut penulis dalam konteks ini menjadi legal bagi pemerintah dalam mengeluarkan Perppu ini apalagi jika kita dasarkan pada konteks HAM yang dianut oleh bangsa ini dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28 j yang menyebutkan bahwa konsep HAM tidak bersifat absolut (relatif) yang intinya adalah kebebasan seseorang harus tunduk kepada undang-undang dengan maksud agar jangan sampai kebebasan seseorang tersebut dapat memberangus kebebasan orang lain dengan kata lain ada pembatasan yang ini juga sejalan dengan pandangan ASEAN dalam butir pertama dan kedua Bangkok Declaration on Human Rights 1993.
Dalam analisis penulis munculnya Perppu yang kemudian menjadi undang-undang ini menjadi wajar ketika pemerintah berlandaskan pada aspek HAM yang melihat bahwa banyak sekali munculnya ujaran-ujaran kebencian yang memprovokasi untuk memisahkan diri dari NKRI dan menganggap ini sudah melewati batas kewajaran dalam konteks mengemukakan pendapat yang dilindungi oleh undang-undang dan pemerintah menganggap penting untuk adanya pembatasan. Namun, disisi lain menurut penulis ada kealfaan dari sisi pemerintah ketika mengeluarkan Perppu ini yang ini bisa dilihat dari masih belum clearnya aspek keadaan darurat yang dimaksud dalam Perppu tersebut.
Akhirnya keterbukaan pemerintah untuk adanya ruang revisi bagi Undang-Undang Ormas ini patut diapresiasi karena pemerintah telah membuka peluang untuk adanya koreksi dari undang-undang tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pertemuannya dengan pimpinan media massa pada hari senin (30/10/2017).
Beliau mengungkapkan bahwa kebutuhan akan undang-undang ormas ini sangat mendesak namun mendesak bukan berarti harga mati sehingga peluang untuk adanya revisi selalu terbuka. Semoga komitmen pemerintah yang tetap menjunjung tinggi HAM dalam kaitannya dengan undang-undang ormas ini selalu terjaga. Amin.

——– *** ——–

Rate this article!
Tags: