UU P-KDRT Bisa Picu Perceraian

Suasana diskusi kelompok kegiatan advokasi perundang-undangan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang digelar Kementerian PP dan PA bekerja sama dengan BPPKB Jatim

Suasana diskusi kelompok kegiatan advokasi perundang-undangan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang digelar Kementerian PP dan PA bekerja sama dengan BPPKB Jatim

Surabaya, Bhirawa
Pemberlakukan Undang Undang 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT) berpotensi memicu perceraian. Tengara ini disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hasan.
Menurut Hasan, hasil evalusasi yang dilakukan Kementerian PP dan PA mengindikasikan, keberadaan UU 23/2004 seolah memberikan ruang untuk mempersoalkan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang selama ini relative disimpan.
“Sebagai bangsa yang budaya patriarkhinya masih kuat, para perempuan yang relatif diam ketika menerima kekerasan. Adanya UU ini seolah menjadi pelindung bagi korban kekerasan untuk bersuara,” kata Hasan saat ditemui Bhirawa disela-sela acara Advokasi Perundang Undangan tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga implikasinya bisa memicu terjadinya angka perceraian. Selain membawa implikasi seperti itu, lanjut Hasan UU 23 ini dinilai sebagian kalangan juga belum memberikan dampak jera bagi pelaku kekerasan.
“Aturan-aturan yang ada dalam UU 23 ini terlalu umum sehingga sulit diterjemahkan dalam bahasa hukum jelas,” jelas Hasan lagi. Lantaran itu, Kementerian PP dan PA menilai sudah saatnya UU 23 2004 ini dilakukan revisi agar bisa mewujudkan tujuan semula yakni untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga.
Ditemui di tempat yang sama, Kepala Bidang Pererlindungan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Dyah mengakui ada beberapa faktor yang membuat UU 23 2004 belum optimal dalam implementasinya. Diantaranya adalah masih kuatnya budaya patriarki didalam masyarakat yang membuat para korban kekerasan terutama perempuan cenderung diam. Selain itu masih lemahnya sensitifitas gender.
Menurut Dyah, tidak cukup hanya dengan membangun kesadaran tetapi juga harus ada langkah nyata untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga.
“Butuh sinergi antar berbagai pihak untuk bersama-sama menyuarakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,” kata Dyah lagi. [why]

Rate this article!
Tags: