UU Perkawinan Tak Langgar HAM

UU-perkawinanJakarta, Bhirawa
Pemerintah menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak untuk menghakimi, memaksa, membatasi atau melanggar hak asasi warga negara untuk melangsungkan perkawinan.
“Ketentuan itu telah memberi penghormatan, perlindungan, dan kepastian hukum kepda setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan,” kata Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM Kementerian Agama Machasin saat membacakan jawaban pemerintah dalam sidang pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (14/10) kemarin.
Machasin khawatir jika MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini justru menimbulkan disharmonisasi.
“Jika permohonan ini dikabulkan dapat menimbulkan disharmoni antara keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan antarumat beragama serta kerawanan dan gejolak sosial di masyarakat yang mayoritas beragama Islam,” katanya di depan majelis hakim yang diketuai Hamdan Zoelva.
Para Pemohon yang terdiri atas Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra menilai pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
Pemohon mengatakan ketentuan tersebut berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.
Pemohon mengungkapkan pasangan kawin beda agama ini kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat.  Untuk itu mereka meminta MK membuat tafsir agar perkawinan beda agama menjadi legal dengan cara mengesampingkan syarat agama dan kepercayaan dalam pernikahan.
Machasin menilai permohonan pemohon tidak terkait dengan persoalan keabsahan/sahnya perkawinan.
“Para pemohon tidak memahami, mendalami, dan meresapi esensi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa,” katanya.
Machasin mengatakan perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian (agama) untuk membentuk keluarga yang bahagia dan melanjutkan keturunan.
Dia juga menegaskan bahwa perkawinan juga tidak semata-mata ikatan perjanjian perdata saja, tetapi memuat didalamnya nlai-nilai religius yakn hubungan antara manusia dan Tuhannya sehingga peristiwa perkawinan sangat sakral.
“Perkawinan juga bentuk perwujudan hak-hak konstitusional warga negara yang harus dihormati, dilindungi yang justru dijamin Pasal 28B ayat (1). Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan juga telah sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” katanya.
Untuk itu pemerintah meminta agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak perlu diberikan tafsir kembali oleh MK baik melalui putusan bersifat “conditionally contitutional” maupun “unconditionally contitutional”. [ant.ira]

Rate this article!
Tags: