Valentine’s Day dan Pembodohan Sejarah

Oleh :
Nur Chasanah, SPd
Pemerhati Pendidikan dan Sosial ;

Langkah Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada kepala sekolah SMP, SMA dan SMK baik negeri maupun swasta di Kota Surabaya yang intinya melarang adanya kegiatan perayaan Hari Kasih Sayang baik di dalam maupun diluar sekolah sungguh patut diapresiasi secara positif.
Dalam surat edaran bernomor 421/1121/436.6.4./2015 ini pihak sekolah juga diimbau agar memberikan surat kepada orang tua/wali murid pada hari kasih sayang tersebut senantiasa mengawasi putra-putrinya. Melarang perayaan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day bagi pelajar di kota besar seperti Kota Surabaya sungguh merupakan putusan tepat. Secara faktual telah menunjukkan bahwa peringatan hari Valentine lebih mengarah pada pola pergaulan yang rawan terjadi penyimpangan. Yakni mengekspresikan rasa kasih sayang yang melewati batas norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Berdalih hari kasih sayang, seolah absah bagi siapa saja termasuk pelajar mengungkapkan rasa itu tanpa lagi peduli dengan norma sosial dan norma hukum yang berlaku. Lantaran itu, langkah Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang melarang lingkungan pendidikan ikut-ikut merayakan hari Valentine’s sepatutnya didukung.
Merunut sejarahnya, peringatan Valentine’s Day sejatinya mempunyai banyak versi. Namun, dari sekian banyak versi dapat disimpulkan bahwa peringatan valentine’s day sama sekali tidak mempunyai dasar yang jelas. Salah satu versi misalnya, menyebutkan bahwa peringatan valentine tersebut bermula dari peristiwa dipenggalnya Pendeta Santo Valentin pada tanggal 14 Februari 269 lantaran membela para pemuda yang dijadikan prajurit oleh Raja Romawi Claudius II. Para pemuda tidak diperbolehkan menjalin kasih atau bahkan menikah. Dikhawatirkan para pemuda yang sedang jatuh cinta atau menikah menjadi lembek dan tidak mempunyai daya juang tinggi dalam perang. Aturan ini bertentangan dengan keyakinan St. Valentin. Ia merasa prihatin atas kejadian tersebut. Sang pendetapun terus saja tak gentar membela pemuda yang sedang menjalin kasih dan bahkan menikahkan pasangan pemuda romawi. Hal inilah yang menyebabkan Claudius II geram.
Versi kedua adalah festival yang diperingati pada tanggal 15 Februari untuk menghormati dewa kesuburan Lupercus. Dewa yang dilambangkan dengan berpakaian setengah telanjang. Festival ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan nama gadis. Para pemuda yang mendapatkan pasangan kemudian menikah untuk periode satu tahun. Setelah setahun, mereka mengulang upacara lagi dan menuliskan namanya kembali untuk melakukan undian, dan begitu seterusnya upacara tersebut dilakukan tiap tahunnya.
Ketika agama Katolik mulai berkembang pada saat itu, para pemimpin gereja ingin turut andil dalam perayaan tersebut, sehingga untuk menyiasatinya, mereka mencari seorang santo (Orang suci untuk agama Katolik), sebagai pengganti dewa kasih sayang Lupercus. Mereka menemukan calon pengganti Lupercus yaitu Santo Valentine. Karena dasar itulah Sang Santo dipilih menggantikan kedudukan dewa kasih sayangnya orang Roma, Lupercus. Karena menurut mereka, peranan Uskup Valentine kepada sang pencinta amat besar. Oleh karena itulah hari Valentine’s diperingati tanggal 14 Februari.
Menilik dari aspek kesejarahan tersebut maka sungguh hari Valentine adalah momentum yang tidak patut diteladani atau bahkan diperingati. Tindakan asusila yang terselip dalam cerita tersebut sangat bertentangan dengan fungsi edukatif bahwa sejarah dapat dijadikan pelajaran dalam keseharian kehidupan manusia. Bukan tidak mungkin siswa yang awam dalam pengetahuan sejarah akan mempercayai atau bahkan mencontoh perilaku tidak terpuji.
Jelas sudah Valentine’s Day merupakan warisan budaya barat yang tak berdasar. Namun, tidak sedikit di negeri ini yang latah ikut-ikutan merayakan hari tersebut. Meski mayoritas beragama muslim, sebagian besar siswa dan remaja seolah terbius budaya yang semestinya tidak dilakukan. Bukan masalah kebiasaan bertukar kado, memberikan bingkisan cokelat, atau bahkan saling mengucapkan kasih sayang, tetapi yang menjadi kekhawatiran adalah tindakan negatif yang sering mengiringi kegiatan tersebut.
Pembodohan sejarah akan berulang jika ini terus saja dibiarkan. Sudah saatnya siswa , orang tua, dan sekolah melek sejarah. Membaca bisa dijadikan langkah awal agar siswa tidak lagi memeringati Valentine’s Day. Dengan melek sejarah, siswa akan lebih mengerti dan lebih mawas diri sebelum menyontoh trend yang bukan merupakan budaya ketimuran. Gemar membaca bisa diaplikasikan tidak hanya membaca sejarah dari luar. Bisa juga ditambahkan dengan membaca sejarah dalam negeri, sehingga nantinya akan berdampak tumbuhnya rasa cinta tanah air dalam diri para siswa dan remaja. Bukan tidak mungkin harapan untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui generasi muda akan tercapai.
Memberi pengawasan pada anak dalam setiap kegiatan sudah menjadi kewajiban sebagai orang tua. Bukan berarti secara fisik orang tua harus mengikuti dan mendampingi kemanapun putra-putrinya pergi atau bermain. Namun, hal ini dimaksudkan bahwa orang tua harus mengetahui apapun tindak-tanduk yang dilakukan dan kemanapun anaknya akan pergi. Memberi pola asuh saling terbuka merupakan hal penting agar anak tidak merasa terbebani atau mengalami keterpaksaan dalam memberikan informasi kepada orang tua. Hal itu bertujuan agar anak tetap terkontrol meski dalam keadaan terpisah (jarak jauh).
Sekolah senantiasa memberikan ruang untuk menampung segala minat dan bakat siswa. Memfasilitasi segala bentuk kebutuhan siswa untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan. Dengan demikian siswa akan lebih banyak melakukan hal-hal yang lebih efektif sesuai dengan minat dan akan memberikan pengalaman untuk mengasah bakat. Sehingga pada akhirnya tidak akan ada kesempatan bagi siswa untuk melakukan hal-hal yang negatif.
Bahwasannya menunjukkan kasih sayang kepada orang yang kita sayangi tidak menunggu hari-hari tertentu. Namun sejatinya, kasih sayang bisa kita amalkan dan lakukan kepada siapa saja dan kapan saja. Sudah merupakan langkah tepat jika Valentine’s Day dilarang. Untuk memutus pembiasaan ini, haruslah ada sinergi yang baik dari sekolah dan seluruh stakeholder pendidikan.

                                                                                                    ———– *** ————

Tags: