Valentine’s Day dan Urgensi Pendidikan Agama

Fazrul RachmanOleh :
M Fazrull Rachman
Kaprodi PG-MI FAI UM Surabaya

Surat edaran Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Surabaya (22/01/2016) perihal antisipasi terhadap perayaan Valentine Day yang di alamatkan kepada seluruh Kepala Sekolah negeri maupun swasta cukup memprihatinkan. Bisa jadi ini merupakan sebuah isyarat gejala kegagalan pendidikan agama di area sekolah yang pula ditandai dengan maraknya bulliying, munculnya praktik aborsi akibat pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, sampai konsumsi tanyangan pornografi via handphone. Peristiwa kekerasan di sekolah yang melibatkan, anak didik, guru, dan orang tua harus dibaca sebagai fenomena otoritarianisme agama yang mulai menguat di sekolah.
Dalam kerangka pendidikan agama di Indonesia, dapat memungkinkan bentuk-bentuk otoritarianisme agama tersebut justru akan mengarahkan pada sikap apatisme di lingkungan anak-anak sekolah. Mendesak untuk dipertanyakan kembali bagaimana nilai-nilai agama diajarkan  di bangku sekolah, juga bagaimana peran birokrasi dalam “menginstitusikan” agama, sampai-sampai hanya menjadi semacam “mata ajar” yang sangat dekat dengan formalitas namun jauh agar dengan mudah dialami serta dipraktikkan oleh para siswa  didik dalam kehidupan keseharian mereka. Dari gejala yang ada, permasalahan-permasalahan di atas bisa jadi bukan mendekatkan anak didik menjadi lebih beragama, malah sebaliknya, menjauh dari agama yang notabene mereka pelajari di sekolah.
Sangat boleh jadi kasus-kasus tersebut menandakan adanya indikasi dalam proses pendidikan agama, yaitu menduanya wajah agama. Gejala yang ada di sekolah memang menandakan ambigunya potret agama, dimana salah satunya disebabkan oleh sisi eksklusif dari pendidikan agama itu sendiri. Eksklusifitas tersebut diisyaratkan diantaranya dengan adanya anggapan dan perlakuan stakeholder terhadap kebijakan kurikulum serta kelembagaan cenderung dogmatis dan bersifat formal. Di mana pendidikan agama hanya berorientasi pula menekankan aspek proses transfer ilmu agama saja, namun kurang kuat untuk mengagendakan rancangan hidden-curriculum yang dapat menumbuhkan proses transformasi nilai-nilai keagamaan yang universal secara natural. Contoh kecil yang sering terjadi di sekolah ialah kurangnya semangat menghargai terhadap agama lain, sebab kurangnya mutu guru agama yang ketika menyampaikan materi pelajaran agama. Para guru acapkali terjebak pada pendekatan dan strategi devide it empera atau belah bamboo, dengan mengangkat dan mengagungkan agama yang dianutnya sambil merendahkan dan menjelekkan agama lainnya.
Bila mentalitas yang selalu memandang orang lain secara berbeda semacam ini masih tercermin dari cara bagaimana agama diajarkan di sekolah, maka sejatinya kita secara tersirat sedang mengajarkan kekerasan dan kebencian kepada anak-anak kita. Melihat situasi sosial-politik Negara ini yang akhir-akhir ini dipenuhi oleh kekerasan serta kebencian, seyogyanya membuat para pendidik merenung dan menggali banyak pertanyaan tentang pendidikan agama.  Apakah agama dalam pendidikan kita bisa menjadi solusi agar dapat menumbuhkan kohesi sosial? Apa ada yang salah dengan pendidikan agama kita seolah-olah agama justru menjadi pemantik dan pemacu tumbuhnya budaya main hakim sendiri di tengah masyarakat?
Oleh karena itu, pendidikan agama di sekolah sangat membutuhkan sikap dan paradigma guru yang mempunyai pendirian yang lebih terbuka, inklusif, dengan mengedepankan musyawarah atau dialog, saling memahami di tengah keanekaragaman budaya serta agama. Hal ini merupakan modal yang urgen untuk keberlangsungan kehidupan yang harmonis di Indonesia. Serta yang tak kalah pentingnya, ialah bagaimana cara pandang birokrasi pendidikan kita dalam melihat urgensi pendidikan agama yang terlalu berorientasi kognitif. Sudah semestinya, dihilangkan untuk menempatkan agama sebagai “subyek” ujian terhadap anak didik, namun lalai dalam mendeterminasi tumbuhnya budaya sekolah yang sehat. Yaitu dengan saling bertoleransi, pula memposisikan agama sebagaia asas dari nilai-nilai yang hidup serta dikembangkan dalam habbit sekolah.
Ada seribu satu macam cerita mengenai anak-anak di sekolah, mulai dari yang menyebalkan sampai yang membanggakan. Tawuran antar sekolah, tawuran mahasiswa dengan polisi, dan kekerasan di sekolah masih merupakan fenomena yang dominan dari gambaran pendidikan kita di tahun 2015. Fakta tawuran sejatinya adalah pengalaman yang banyak terjadi pada anak sekolah di perkotaan, akan tetapi gejala ini nampaknya sudah merambah sekolah-sekolah di tingkat pedesaan. Dengan cepatnya sistem informasi yang dibawa oleh media dan internet, tawuran serta banyaknya tayangan televisi yang beradegan action, seolah-olah menjadi model pembelajaran yang cepat sekali ditangkap oleh otak para anak-anak agar tak segan-segan menirunya.
Apabila teladan merupakan asas dasar dari pembentukan dan pendidikan karakter anak, dapat dipastikan bahwa pendidikan karakter tak mungkin diletakkan dalam konteks kurikulum formal. Sebab itu marilah berhenti berdebat mengenai perlu tidaknya kurikulum pendidikan karakter yang sesungguhnya sudah terintegrasi dari pendidikan agama di sekolah. Mari mencitai keragaman, sebab dapat berarti banyak hal bagi bangsa ini. Apalagi di tengah mencuatnya ancaman kekerasan di tengah masyarakat yang tentu tidak ada dalam kehidupan beragama. Sebab itu, adalah tugas bersama untuk memastikan bahwa separah apapun situasi dan kondisi sosial masyarakat dan negara, pendidikan harus mempunyai cara yang benar dalam mentrasfer kebajikan ke dalam relung hati anak didik. Peran seorang guru sangatlah penting bagi masa depan anak-anak. Pendidik yang berkarakter kuat dan baik akan selalu berpikir kembali bila melakukan kesalahan dan segera merubahnya menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Begitu pula dengan orang tua, memang tidak mudah untuk mendidik anak. Lebih sulit lagi, jika sejak usia belia orang tua lalai, yaitu tak memiliki kehangatan dan kontrol pada anak-anaknya.

                                                                                                  ——————– *** ——————-

Tags: