Verifikasi Indeks Demokrasi

urlindonesia-government-index-150x150Bersamaan Pilpres, Badan Pusat Statistik (BPS) yang biasa menghitung coba merilis indeks bersifat politik. Belum diketahui benar metodologi yang digunakan oleh BPS. Namun dimasukkannya unsur ancaman atau penggunaan kekerasaan dalam altar keagamaan, sangat diragukan. Lebih lagi, berbagai survei saat ini telah kehilangan kepercayaan publik, karena metodologi yang tidak dapat diverifikasi. Kemana arah BPS Jawa Timur dalam indek per-politik-an?
Dalam unsur ancaman dan atau penggunaan kekerasan dalam altar keagamaan, Jawa Timur memperoleh nilai angka 0 (nol). Boleh jadi, BPS hanya berdasarkan konflik horisontal kasus Sampang. Padahal pada kasus Sampang itu, masyarakat (dan Pemerintah Daerah, Pemprop maupun Pemkab Sampang) memiliki penilaian lebih valid. Begitu pula solusi oleh Pemerintah sudah benar, dengan cara mengungsikan kedua pihak.
Kasus Sampang ini patut diinvestigasi secara sosiologis dan diaudit secara teologis. Sebab banyak yang meng-klaim diri sebagai Syiah, tetapi ternyata bukan. Melainkan “neo-wahabi,” juga sangat berlawanan dengan Syiah. Begitu pula yang mengaku sunny, ternyata bukan sunny, melainkan “neo-wahabi” pula. Tipuan sekte sering diklaim hanya untuk me-label kelompok minoritas yang berbeda dengan jamaknya masyarakat sekitar.
Jika ditilik dari personal sumber konflik, kedua pesantren yang bertikai bukan dari golongan sunny yang umum (bukan NU).  Kedua individu yang bertikai dengan melibatkan masing-masing pengikut, anehnya pernah belajar pada pesantren yang sama di Pasuruan. Jadi, keyakinan (sekte-nya) pasti sama, bukan dari golongan nahdliyin (NU), juga bukan dibawah Muhammadiyah. Sebenarnya juga bukan syiah. Keduanya sama-sama anti NU dan anti-Muhammadiyah.
Lebih lagi kericuhan dipicu oleh rebutan perempuan untuk diperistri. Konon sejak lama terjadi permusuhan antara kedua blok pesantren dalam masalah perebutan warisan. Maka tragedi Sampang murni ranah hukum acara pidana. Ironisnya, kelompok minoritas memiliki akses hubungan yang lebih baik pada amnesty internasional tentang HAM. Namun informasi yang tidak seimbang, pasti akan menyebabkan kesalahan analisis. Memunculkan ke-tidak adil-an HAM lagi.
Di Jawa Timur nyaris tidak pernah terjadi kekerasan dalam altar keagamaan. Sebaliknya, harmonisasi antar-umat beragama terus dijalin dalam aksi-aksi nyata. Seluruh gerakan rakyat harus tetap tunduk pada konstitusi dasar. Pengertian bahwa gerakan anarkhis bisa dianggap melanggar hukum, sudah dipahami oleh umat beragama.
Konstitusi menjamin hak asasi setiap orang dalam hal beragama. UUD pasal 28E ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Garansi UUD ini memiliki keniscayaan persyaratan, yakni, asalkan tidak mengganggu hak asasi orang lain. Batasan itu diatur dalam UUD pasal 28J ayat (1) dan ayat (2).
Namun  seringkali dalam dakwah agama terjadi penistaan terhadap golongan lain yang tidak sepemahaman (satu sekte). Misalnya, kaum nahdliyin sering diolok-olok sebagai bid’ah dan khurafat. Pemahaman nahdliyin yang dianggap menyimpang adalah penyelenggaraan tahlil untuk mendoakan orang yang sudah mati. Padahal kaum nahdliyin merupakan mayoritas (65%) total muslim Indonesia. Syiah juga membenarkan ajaran kirim doa untuk oarng lain (yang sudah meninggal maupun yang masih hidup).
Olok-olok internal umat beragama bisa berujung konflik sosial. Sebagaimana sering terjadi di Sampang (Madura). Yakni, antara syiah seolah-olah dengan yang seolah-olah bukan syiah. Bisa dipastikan konflik di Sampang bukan berlatarbelakang keagamaan, melainkan unsur pidana murni. Yakni penyerangan kelompok masyarakat terhadap kelompok lain. Gejalanya mirip “perang” warga di sekitar Manggarai, Jakarta.
Bagaimana pula BPS bisa memvonis nilai demokrasi (unsur keagamaan) di Jawa Timur dengan angka nol? Jangan-jangan, pada internal BPS terdapat infiltrasi yang menyimpang dalam metodologi penilaian demokrasi. Pemerintah Propinsi (dan Pemkab Sampang) bisa meminta klarifikasi.

————– 000 —————–

Rate this article!
Tags: