Vonis Hukum Asyani

Umar-Sholahudin (1)Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya, Penulis Buku ; Hukum dan Keadilan Masyarakat (2011)

Ketimpangan dan perlakuan tidak adil seringkali dipertontonkan aparat penegak hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan. Kasus-kasus gurem yang melibatkan kaum alitmenjadi trend penegakan hukum. Berbeda dengan kasus-kasus yang melibatkan kaum elit seringkali terlambat dan tertambat dengan banyak alasan yang tidak masuk akal. Masyarakat miskin kerap menjadi korban ketidakadilan hukum. Mereka adalah kelompok rentan yang tidak cukup memiliki akses terhadap keadilan. Hukum bagi masyarakat miskin menjadi berkepastian tanpa keadilan hukum.
Salah satu kasus hukum yang menjadi sorotan publik adalah kasus Nenek Asyani (NA,67). Setelah melalui proses hukum yang cukup panjang dan melelahkan (kepolisian-kejaksaa-pengadilan), akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo menjatuhkan vonis hukuman1 tahun dengan masa percobaan 15 bulan dan pidana denda sebesar Rp 500 juta kepada NA. NA tidak ditahan, namun jika dalam waktu 15 bulan NA melakukan tindak pidana yang sama, maka NA harus menjalani hukuman.
Sebelumnya NAdidakwa mencuri7 batang pohon jati milik Perhutani di lingkungan rumahnya di desa Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur. NA didakwa dengan Pasal 12 huruf d UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dan dituntut 1 tahun 18 bulan.NA merasa tidak mencuri kayu milik Perhutani, kayu yang ia tebang adalah kayu miliknya yang sudah puluhan tahun ada di sekitar rumahnya.
Ketika di proses di kepolisian setempat, NA mengakusudah meminta maaf kepada pihak Perhutani dan kepolisian yang memeriksanya dengan cara sembah-sembah, namun niat baik NA tidak digubris dan proses hukum terus berlanjut sampai ke meja pengadilan. Di PN Situbondo, NA kembali meminta “belas kasihan” dengan sembah-sembah majelis hakim agar dirinya tidak dihukum, tidak dipenjara, dan ingin pulang. Atas nama kepastian hukum (positif) NA harus dihukum.
Kasus ini langsung mendapat respon publik; ada sebagian pihak sangat menyayangkan tindakan “pro-aktif” aparat kepolisian dalam memproses (hukum) NA.Mengapa kasus sepele dan dilakukan kaumalityang buta hukum seperti NA, hukum begitu kerasnya.Mengapa polisi tidak mengedepankan mekanisme restorative justice?. Jika polisi memahami prinisp dan mekanisme restorative justice dan melakukan afirmasi, maka NAtidak sampai bersusah payah menjalani proses hukum yang begitu melelahkan dan tidak akan mendapatkan cibiran publik.
Bagi kaum positivist (hukum), hukum harus ditegakkan dan karenanya siapapun itu yang melanggar hukum, termasuk NAharus diproses secara hukum (equality before law).Sementara, bagi kaum non-positivist (hukum), perspektif sosiologi hukum, kasus sepele seperti NAmirip dengan kasus-kasus serupa semisal; nenek minah dengan kakaonya, Kholil dan Basar dengan semangkanya, kasus sandal cepit, dan kasus kecil lainnya yang menimpa kelompok masyarakat marginal, tidak perlu diproses secara hukum. Ada alternative solusi yang lebih soft, berkemanfaatan, dan berkeadilan, yakni melalui mekanisme sosial restorative justice. Justru ketika, kasus-kasus seperti itu diselesaikan melalui jalur hukum (positif) akan menimbulkan image ketidakadilan.
Hukum Boleh Diskriminasi?
Kasus NAdan kasus-kasus yang serupa dengan NA, menimbulkan pertanyaan kritis, bolehkah hukum diskriminatif?.  Apa  makna  equality  before  the  law,  persamaan  di  hadapan  hukum?  Apakah itu  berarti  tidak  ada  perbedaan  sama  sekali  dalam  hukum?  Apakah  hukum  tidak boleh  diterapkan  untuk  orang  yang  berbeda?  Mantan Wakil Menhukham, Deny Indrayana, pernah mengatakan,  persamaan  dihadapan hukum bukan berarti hukum harus berlaku sama bagi setiap orang. Persamaan dihadapan hukum justru mensyaratkan perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap orang, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Jelasnya, hukum tidak jarang harus diperlakukan berbeda, diberlakukan diskriminatif,  justru agar hukum itu menjadi  adil.  Itulah  yang  dikenal  dengan  konsep  diskriminasi  positif  (affirmative actions)
Dalam perspektif, HAM, Negara memiliki setidaknya dua  peran dan tanggung jawab primer, yakni pertama, tanggung jawab dan kewajiban untuk memenuhi (to fulfill). Dalamkonteks ini, negara bertanggung jawab dan berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, adminsitratif, judicial, dan kebijakan praktis untuk memastikan hak-hak yang menjadi kewajibannya dapat terpenuhi sehingga pencapaian maksimal.  Kedua, tanggung jawab dan kewajiban untuk melindungi HAM juga mensyaratkan tindakan aktif dari negara, namun berbeda dengan apa yang disebut dalam point satu, yaitu negara berwajiban memastikan tidak terjadinya pelanggaran HAM, khususunya terkait dengan ketidakadilan terhadap masyarakat msikin (Pusaham UII, 2012; 23).
Karena itu, dalam konteks penegakkan hukum terhadap kelompok rentan tersebut, diperlukan affirmative action/policy. Kelompok rentan/miskin harus diperlakukan berbeda dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan alasan yang positif. Hal ini diperlukan agar perbedaan yang mereka alami tidak terus menerus terjadi. Dan memang dengan sifat dan karakter kemiskinannya, apalagi tindak kejahatan yang dilakukan (baca: pidana ringan) tidak didasarkan pada motif kriminal dan memperkaya diri (baca: contoh mencuri), tindakan mereka lebih karena faktor keterpaksaan kebutuhan (criminal by need).
Dalam situsi dan kondisi semacam itu, tindakan afirmatif ini membolehkan negara secara lebih dan “diskriminatif” kepada kelompok tertentu atau warga miskin. Bahkan menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara untuk secara pro aktif untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang berkeadilan. Karena bagaimanapun juga, orang miskin yang melakukan pelanggaran pidana tersebut, lebih karena faktor kemiskinannya. Dan kemiskinan mereka lebih karena produk dari kemiskinan struktural, yang mana di sana ada pelanggaran negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan kesejahteraan masyarakat.
Jika perspektif HAM tersebut kita tempatkan sebagai dasar filosofis dan paradigma berhukum dalam menangani kasus-kasus hukum (ringan) yang menimpa kelompok masyarakat miskin, maka paradigma berhukum negara harus dikembangkan tidak sekedar berhukum dengan peraturan, legalistik-positivistik, namun berhukum juga harus mengikutsertakan segala potensi diri yang dimiliki manusia. Meminjam pemikirannya Satjipto Raharjo (2009) tentang hukum progresif, Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks, menyebutkan bahwa hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum yang bersifat non-linear, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya; keterlibatan manusia ini menyebabkan cara berhukum tidak melulu berkaitan dengan mengeja teks, melainkan penuh dengan kreatifitas dan pilihan-pilihan. Bagi hukum progresif “hukum bukan untuk hukum” sebagaimana yang dimaknai oleh kaum positivis, tetapi adalah “hukum untuk manusia”. Hukum tidak sepenuhnya otonom, melainkan senantiasa dilihat dan dinilai dari koherensinya dengan manusia dan kemanusiaan, serta kondisi masyarakat yang menaunginya.

                                                                                             ————————— *** —————————

Rate this article!
Vonis Hukum Asyani,5 / 5 ( 1votes )
Tags: