Wabah Anomali Perkawinan Dini

Oleh :
Faby Toriqir Rama
Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga, UIN Sunan Ampel Surabaya ; alumi Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang;

Jarang sekali media cetak maupun elektronik santer mewartakan tema-tema perkawinan. Meskipun itu peristiwa bahagia, tetapi tak ada kesan bakal “laku di pasaran”-masih ada anggapan sebagai bad news. Sampai ada satu berita tentang perkawinan yang melibatkan jejaka berusia 16 tahun bersanding dengan wanita sepuh berumur 71 tahun di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan. Ditambah lagi pasangan muda berumur 14 tahun menikah di Bulukumba, Sulawesi Setatan menambah daftar panjang pasangan yang pernikahannya menjadi viral. Sampai  Mensos pun ikut angkat bicara merespons fenomena tersebut.
Penulis benar-benar menyayangkan perkawainan dini terjadi, bahkan mewabah menjadi peristiwa yang mafhum. Sebenarnya tidak salah-salah amat dan tidak mencederai hukum, toh Nabi Muhammad Saw juga menikahi Siti Aisyah saat usianya masih kanak-kanak. Namun, hal itu jangan dijadikan dalil yang membenarkan perkawinan dini dalam konteks kekiniian. Masyarakat semakin paham kalau perkawinan dini menyalahi kesiapan mental dan kematangan organ reproduksi. Potensi rumah tangga yang keruh dan suram akan semakin tampak nyata jika praktik ini langgeng-langgeng saja di masyarakat.
Antara Fikih dan Hukum Positif
Fikih Islam klasik memang tidak pernah mengenal terminologi tentang pembatasan usia minimal pasangan dapat menikah. Asalkan bsudah baligh, maka seseorang boleh melangsungkan perkawinan. Namun, dalam perkembangan manusia modern abad 21 hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Fikih yang dirumuskan ulama di abad pertengahan silam perlu dipurifikasi, direlevansikan, dan disunting supaya dapat dipakai sebagai rujukan dalam bertindak.
Hukum Islam-terutama yang berdimensi hubungan manusia dengan manusia yang lain-itu sifatnya dinamis-temporal-kontekstual. Temporal artinya berdimensi kesementaraan saja. Hukum Islam harus terus-menerus dikaji ulang untuk memastikan daya berlakunya.  Dinamis artinya terus bergerak, berubah-ubah. Sedangkan kontekstual bermakna bahwa hukum Islam mengikuti perkembangan realita masyarakat.
Dalam ilmu Kaidah Fikih ada adagiun yang masyhur yakni, “Hukum Islam berkembang sesuai keadaan ruang dan waktu.” Kendatipun demikian, sebagian masih memegang pemahaman klasik, padahal mereka hidup di dunia yang rentang waktunya terpaut abad. Akibatnya, pemaknaan kejadian aktual dibenarkan dengan menggunakan hukum yang sudah hampir punah.
Seharusnya, kita tak berhenti pada pemahaman fikih. Kita perlu menilik ulang formulasi fikih saat ini dengan ilmu Usul Fikih. Di dalam kajian ilmu tersebut, ada salah satu teori yakni istihsan atau semacam bentuk lain dari analogi. Bedanya, istihsan tidak terlalu rigid pada aturan dan lebih mengedepankan output hukum jika diberlakukan. Apakah dampak pemberlakuan hukum tersebut mampu membawa kebaikan, kemaslahatan, kebermanfaatan atau tidak. Jika tidak, maka harus digali terus dan menyampingkan sejenak aspek tata logika yang terlampau ketat.
Nah, perkawinan jenis ini memang 100% tidak menabrak fikih maupun hukum positif di Indonesia. Akan tetapi apakah dampak perkawinan ini menurut pandangan penulis menyalahi nilai moral yang berkembang di benak masyarakat Indonesia. Pun prinsip dasar perkawinan dalam Islam.
Nabi Muhammad Saw memerintahkan umatnya untuk menikahi wanita yang subur sebab kelak umat Islam akan menjadi umat yang kuantitasnya paling banyak di antara umat nabi-nabi yang lain. Dalam maqashid syariah atau “maksud diberlakukannya syaraiat” juga mengenal term hizb an-nasl, yakni memelihara keturunan. Maka apapun perbuatan yang menghalang-halanginya wajib dikesampingkan.
Di dalam fikih klasik, tidak ada yang namanya dispensasi kawin. Anak kecil asalkan sudah baligh boleh menikah walau usianya masih 14 tahun. Hanya saja UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam membatasi usia minimal nikah, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Jika usianya masih di bawahnya, harus ada penetapan dari Pengadilan Agama. Tanpa hal tersebut, Kantor Urusan Agama akan menolak mencatatkan pasangan yang menikah di bawah umur; lain ceritanya kalau perkawinannya tidak dicatatkan.
Secara umum masyarakat akan melihat suatu anomali jika ada jejaka muda mau bahkan tulus tanpa adanya intervensi maupun intimidasi menikahi wanita tua. Padahal masih berjuta-juta wanita rupawan, sehat, lebih-lebih mulia akhlaknya yang masih available. Sungguh perkawinan jenis ini seharusnya dicegah, tetapi tetap dengan mengedepankan cara-cara yang patut. Bukan berarti tidak menghargai orang sepuh. Hanya saja, caranya jangan dengan menikahinya. Bisa dengan mengunjunginya, memberikannya sedekah, dan menjamin beberapa haknya.
Hukum memang sering kali tidak mencerminkan nilai moral yang berkembang; untuk itulah perlu adanya revisi atau amandemen berulang kali. Hukum ibarat kulit terluar buah kelapa yang kasar, belum menembus inti air dan daging buanya yang lembut. Ijtihad terhadap hukum tak boleh stagnan. Hukum itu produk kesementaraan bukan keabadian. UU No 1 Tahun 1974 sebagai induk aturan perkawinan di Indonesia harusnya perlu digodok lagi. Perkawinannya memang sepele tetapi dampak hukum kedepannya yang bermacam-macam.
Perkawinan dini mengundang beribu-ribu masalah. Jangan memperkeruh rumah tangga yang akan dibangun dengan fondasi abal-abal. Anak kecil belum siap untuk menikah. Mentalitas perlu ditata. Emosi perlu dikontrol. Pun ekonomi perlu dimapankan. Sejatinya, perkawinan itu dimensinya bukan hanya ikatan emosional atau manusia antar manusia, tetapi bentuk komitmen berdua menghamba kepada Allah Swt.
Semoga ke depan ada revisi UU Perkawinan. Sebab jarang sekali ada aturan yang selanggeng UU Perkawinan. Aturan lain senantiasa mengalami perubahan sekali atau dua kali. Mungkin karena undang-undang ini usianya sudah tua sehingga ia pun melegalkan perkawinan orang tua dengan anak muda.

                                                                                                         ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: