Wabah Lingkungan Kotor

Musim hujan sedang mencapai puncak pengumpulan awan yang menyebar, bergumpal-gumpal. Curahan hujan makin kerap datang, dan makin deras. Menyebabkan banyak lingkungan (yang buruk) digenangi air. Juga sampah nampak berserakan (terbawa banjir). Sehingga lingkungan tempat tinggal (termasuk di dalam rumah) nampak kotor. Siang hari banyak lalat, sedangkan pada malam hari terasa lebih banyak nyamuk.
Kondisi itu menyebabkan lingkungan tidak sehat, menjadi penyebaran virus demam berdarah dengue (DBD) dan tipus. DBD telah menyebabkan korban jiwa di kabupaten Blitar, Ponorogo, dan Trenggalek. Diperkirakan, sebenarnya sudah banyak korban tetapi tidak dilaporkan, karena tidak dibawa ke rumahsakit. Bahkan berdasar catatan Kementerian Kesehatan, kota-kota metropolitan, tercatat sangat rawan. Terutama Jakarta, dan Surabaya, disebabkan banyak saluran air (dan sungai) yang kotor.
Semusim lalu, terdapat sebanyak 302 kasus DBD di Surabaya. Catatan itu tergolong “prestasi,” karena pada tahun 2016 terdapat 938 kasus. “Prestasi” melawan DBD melibatkan partisipasi luas masyarakat. Terutama ibu-ibu kader Posyandu di tingkat RT (Rukun Tetangga). Hingga kini kota Surabaya memiliki kader “bumantik” (ibu-ibu pemantau jentik) sebanyak 22.500 orang. Namun toh, upaya pencegahan DBD masih harus digencarkan.
Semusim lalu, lebih separuh wilayah Jawa Timur (dari 38 kabupaten dan kota) telah dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa) terhadap penyakit demam berdarah. Jumlah korban meninggal telah lebih dari 50 orang. Pada saat sama, berbagai daerah lain di tanah air juga mengalami peningkatan kasus kejangkitan DBD. Ironisnya, Indonesia belum memiliki undang-undang tentang penanggulangan wabah penyakit. Padahal wabah penyakit sudah sering terjadi.
Hingga kini Indonesis masih menjadi kawasan endemik terbesar kedua di dunia, dibawah Brasil. Selama tahun 2016 (sampai oktober) sudah ditemukan hampir 156 ribu kasus, dengan korban jiwa 1.296 orang meninggal. Angka itu menunjuk tren naik jika dibanding tahun 2015 lalu. Yang memprihatinkan, hingga kini dunia kesehatan belum menemukan obat DBD yang cespleng. Hanya mengandalkan vaksin dengue sebagai pengendali dan pencegahan.
Nyamuk aedes aegepty, penyebab DB, memiliki daya survival cukup tinggi. Telur-nya bisa menetas walau tidak berada di dalam air, sampai enam bulan. Berdasar catatan Kementerian Kesehatan, jangkitan DB bisa diderita siapa saja. Berdasar kelompok usia, separuh diantara penderita, adalah anak-anak usia 0 hingga 14 tahun. Sedangkan kelompok produktif (usia 15 hingga 44 tahun) sebanyak 39%.
Banyaknya kasus DBD, niscaya menjadi beban pembiayaan negara, sekitar Rp 1,8 trilyun per-tahun. Namun berdasar perkiraan lain (dipublikasi dalam jurnal PLOS Neglected Tropical Diseases), angkanya bisa mencapai Rp 3,9 trilyun. Itu belum termasuk anggaran kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah propinsi serta kabupaten dan kota. Biaya rawat DBD (tanpa komplikasi penyakit lain) ditaksir mencapai Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per-kasus.
Kewaspadaan masyarakat perlu di-advokasi. Terutama gerakan massif pemberantasan sarang nyamuk 3M (menguras, menutup, mengubur). DB sudah kondang sejak abad ke-18. Diantara yang diserang adalah pasukan Diponegoro (pada Perang Jawa, 1825 – 1830). Pada masa modern saat ini juga beberapa kali me-wabah. Upaya masif yang dilakukan pemerintah adalah melalui iklan di media masa. berupa gerakan 3M.
Uniknya, nyamuk DB juga menyukai tempat bersih, sekolah dan perkantoran. Juga di dalam mobil ber-AC dan beraroma harum. Karena vaksin melawan virus DB belum ditemukan maka pemerintah (dan pemerintah daerah) seyogianya memasifkan program foging (peng-asapan) dan pengerukan saluran. Sedangkan masyarakat harus semakin membiasakan diri mengurus sampah rumahtangga. Juga tetap dengan gerakan 3M.
——— 000 ———

Rate this article!
Wabah Lingkungan Kotor,5 / 5 ( 1votes )
Tags: