Wacana Masa Jabatan Kepala Desa

Belakangan ini, rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades) melalui revisi UU Desa menjadi isu politik yang paling banyak mendapat perhatian publik. Para Kades menuntut perpanjangan masa jabatan Kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun lewat revisi UU Desa. Tuntutan perpanjangan masa jabatan Kades sembilan tahun melebihi lamanya jabatan Presiden Amerika Serikat. Sehingga, pemunculan wacana perpanjangan masa jabatan kades sembilan tahun lebih bahaya dari perpanjangan masa jabatan presiden. Sontak, tuntutan itupun ramai menjadi sorotan dan perbincangan buruk di tengah-tengah publik.

Terbukti, merujuk dari data Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) sentimen publik terhadap wacana perpanjangan masa jabatan Kades ini bisa dibuktikan dengan adanya persentase percakapan publik terkait isu itu mencapai 42.581 dalam sepekan terakhir, yakni dari tanggal 19-25 Januari 2023. Perbincangan soal isu tersebut melibatkan 32.134 pengguna media sosial. Sementara isu penundaan pemilu, dalam durasi 7 hari (18-24 Januari 2023) diperbincangkan dalam 1.951 percakapan dan melibatkan 1.771 pengguna media sosial, dan 35,8 persen perbincangan mengenai perpanjangan masa jabatan kades dikaitkan dengan wacana penundaan pemilihan umum, (Republika, 16/2/2023)

Itu artinya, bisa disimpulkan bahwa publik memiliki tingkat sentimen tinggi alias buruk terhadap isu perpanjangan masa jabatan Kades. Terlebih, Kades tidak berhak meminta perpanjangan masa jabatan karena Kades adalah penerima mandat rakyat sehingga yang berhak meminta adalah rakyat itu sendiri. Sedangkan, hampir seluruh masyarakat Indonesia menolak perpanjangan masa jabatan Kades. Sebab, perpanjangan masa jabatan kades merupakan bentuk kolusi dan melawan tatanan demokrasi. Selain itu, perpanjangan masa jabatan kades dapat menyuburkan oligarki di tingkat desa. Terlebih, sistem atau tatanan yang paling demokratis sejak lama itu berada desa.

Oleh sebab itu, berangkat dari data yang ada mestinya mampu menjadi catatan untuk pengambil kebijakan dalam satu negara demokrasi. Pasalnya, jika negara atau pemerintah sensitif, maka data yang diinformasikan melalui analisis big data tersebut, mampu menjadi informasi bahwa sebagian besar publik tidak setuju dengan perpanjangan jabatan Kades.

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: