Wacana Penarikan Dana Pemda di BPD

Yeny OktarinaOleh :
Yeny Oktarina
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Baru-baru ini mencuat wacana di permukaan tentang rencana Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk menarik dana menganggur milik pemerintah daerah (pemda) di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Tentu saja rencana itu membuat BPD berkeringat dingin lantaran dapat membuat kering likuiditas. Bagaimana sebaiknya? Rencana bak petir di siang bolong itu bertujuan untuk menarik dana pemda ke pusat untuk dikumpulkan dalam rekening khusus yang bertajuk Treasury Single Account (TSA).
Melalui sistem ini, saldo kas pemda di BPD yang menganggur alias tidak terpakai akan otomatis masuk ke dalam akun BI demi efisiensi. Berangkat dari realitas yang demikian, setidaknya ada beberapa faktor yang patut dipertimbangkan dalam melaksanakan rencana tersebut.
Pertama, menetapkan kriteria dana menganggur (idle fund). Menurut Ketua Umum Asosisasi BPD (Asbanda) Eko Budiwiyono, saat ini rata-rata dana pemda yang mengendap di satu BPD bisa mencapai 60% hingga 70% dari total dana pihak ketiga (DPK) yang dimiliki BPD. Bahkan di beberapa BPD tertentu, dana pemda setempat bisa mencapai 80% dari total DPK BPD yang bersangkutan (Harian Kontan, 20 Oktober 2014).
Salah satu topik yang layak dibahas adalah menentukan kriteria dana menganggur misalnya deposito berjangka dan berapa tenor (jangka waktu)-nya. Langkah itu bertujuan final untuk menekan resistensi. Karena selama ini regulator hampir selalu melempar dulu isu ke publik, kemudian baru mengadakan perundingan dengan asosiasi perbankan. Sebagai contoh, ketika pemerintah menyatakan bahwa Bank Mandiri akan melakukan akuisisi terhadap BTN. Pola demikian sudah saatnya diubah dengan berunding dulu dengan asosiasi perbankan.
Kedua, membawa risiko pada likuiditas. Sudah barang tentu rencana itu akan membahayakan likuiditas BPD ke depan, karena saat ini pun BPD sudah mengalami kesulitan likuiditas. Apa buktinya? Memang betul BPD masih mampu meningkatkan penyaluran kredit 14,34% dari Rp252,78 triliun per Agustus 2013 menjadi Rp289,02 triliun per Agustus 2014. Namun, dana pihak ketiga (DPK) “hanya” tumbuh 9,32% dari Rp322,12 triliun menjadi Rp352,14 triliun pada periode yang sama.
Hal ini menyiratkan pertanda bahwa BPD mengalami kesulitan dalam menghimpun DPK alias likuiditas semakin ketat. Pertumbuhan kredit dan DPK yang tidak seimbang itu mendorong loan to deposit ratio (LDR) melaju cukup signifikan dari 78,47% menjadi 82,07% di tengah rasio LDR yang ideal 78-92% sebagaimana ditetapkan oleh BI. Rasio LDR BPD itu masih lebih rendah daripada rata-rata industri 90,63% per Agustus 2014. Artinya, pengucuran kredit BPD masih terkendali dengan baik. Padahal kedepan hingga 2015, likuiditas perbankan nasional masih terancam kemarau panjang.
Tengok saja, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed telah memutuskan untuk menghentikan stimulus keuangan ke pasar keuangan setempat. Bahkan, The Fed berencana untuk menaikkan suku bunga yang kini 0,25% mengingat ekonomi AS terus membaik. Hal ditandai dengan penurunan tingkat pengangguran. Kenaikan suku bunga itu akan terjadi paling cepat pada semester I/2015. Cepat atau lambat, hal itu akan mendorong uang panas di pasar keuangan nasional akan kembali ke AS (sudden reversal).
Akibatnya, nilai tukar rupiah terancam melemah. Nah, ketika BI menanggapi gejala itu dengan menaikkan suku bunga acuan BI Rate di atas posisi sekarang ini 7,5%, likuiditas perbankan akan makin gersang. Ringkas tutur, regulator wajib mempertimbangkan ancaman tersebut sebelum melaksanakan penarikan dana pemda di BPD.
Ketiga, mendorong kenaikan modal dari sumber lain. Ratarata dana pemda yang mengendap di satu BPD bisa mencapai 60-70% dari total DPK itu sungguh memprihatinkan. Hal itu menunjukkan bahwa BPD bersangkutan tidak mampu memanfaatkan asetnya dengan cantik.
Lihat saja imbal hasil aset (return on assets/ROA) BPD tampak menurun dari 3,27% per Agustus 2013 menjadi 2,69% per Agustus 2014 sekalipun masih di atas ambang batas 1,5%. Namun, hal itu menunjukkan bahwa kualitas aset (assets quality) menurun. Bukan hanya itu. Kalau sebagian besar dana menganggur itu milik pemda, itu berarti pemda setempat kurang mampu melakukan pembangunan di daerahnya.
Hal itu ditengarai dengan penyerapan anggaran yang tidak optimal. Pada umumnya, penyerapan anggaran baru marak pada akhir tahun dan sebagai stimulus untuk mengoptimalkan dana yang ada maka tugas pemerintah pusat untuk mendorong pemda untuk memanfaatkan anggaran seoptimal mungkin. Dengan bahasa lebih bening, bila terdapat dana menganggur yang sedemikian tinggi itu bukan semata-mata kesalahan BPD.
Sekaligus hal tersebut sebagai tantangan BPD untuk mampu membuat aset makin berkualitas dengan mengucurkan dana lebih banyak ke kredit produktif, yakni modal kerja dan investasi daripada konsumsi. Di sisi lain, kini saatnya BPD menggenjot modal lebih tinggi lagi selain dari dana pemda.
Modal kuat sebagai elemen penting dalam mewujudkan cita-cita BPD untuk menjadi jawara di daerahnya (regional champion). Oleh karena itu, ketika rencana penarikan dana pemda di BPD itu menjadi kenyataan, BPD tidak akan mengalami risiko likuiditas yang berarti.
Keempat , mengerek tingkat efisiensi. Selain itu, BPD pun wajib menaikkan tingkat efisiensi yang tercermin pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Statistik Perbankan Indonesia, Agustus 2014 yang terbit 16 Oktober 2014 mencatat BOPO BPD menipis dari 71,66% per Agustus 2013 menjadi 77,87% per Agustus 2014 meskipun lebih baik daripada rata-rata industri 76,37%.
Padahal, BPD sudah selayaknya justru mampu menggenjot tingkat efisiensi karena efisiensi tinggi merupakan salah satu kunci dalam memenangi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang efektif akhir 2015. Berbekal aneka pertimbangan demikian, rencana penarikan dana pemda di BPD dapat terlaksana dengan lancar. Namun, likuiditas BPD juga tetap perkasa untuk mampu bersaing dalam era yang sarat persaingan sengit itu.

                                                                                            ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: