Wacana PPN Sembako dan Pendidikan

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn (Civic Hukum) Universitas Muhammadiyah Malang.

Wacana pemerintah terkait pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baik untuk bahan makanan pokok atau sembako maupun jasa pendidikan, menuai perdebatan dan kritik tegas dari masyarakat yang merasa keberatan akan adanya rencana tersebut. Wacana pengenaan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan tersebut, tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Beragam kritikan dari berbagai pihak atau masyarakat terkait pengenaan PPN sembako dan pendidikan tersebut, sejatinya tidak tanpa alasan. Sebab, sebelum munculnya rencana tersebut, Pemerintah justru memberikan relaksasi terhadap pajak penjualan barang mewah bagi kendaraan bermotor. Yang diuntungkan terhadap kebijakan ini (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah PPN-BM) hanya sebagian rakyat Indonesia saja, khususnya mereka yang berstatus kelas menengah ke atas yang memiliki kemampuan dan daya beli atas mobil yang mendapatkan keringanan PPN-BM. Hal itulah yang membuat banyak pihak berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak adil bagi rakyat menengah bawah.

Stop bebani masyarakat

Di tengah situasi pandemi yang kini belum juga berakhir, membuat masyarakat dan pemerintah pun terus melakukan adaptasi dan inovasi demi kestabilan perekonomian. Namun, sayang saat perekonomian bangsa dan negeri ini belum stabil tiba-tiba bangsa ini dibuat kaget dan tercengang terkait adanya isu atau wacana seputar akan dinaikkannya PPN sembako dan pendidikan.

Memang kalau kita cermati saat ini RUU terkait PPN sembako dan pendidikan masih di DPR bahkan belum diparipurnakan apalagi dibahas. Pemerintah masih menerima dan menampung semua aspirasi dari masyarakat. Itu artinya rancangan kebijakan PPN saat ini bukan kebijakan yang tiba-tiba, tapi melalui sebuah kajian sejak beberapa tahun yang lalu tapi eksekusinya selalu tertunda, karena membutuhkan proses yakni pembahasan di parleman untuk menetapkan Undang- Undang.

Sedangkan, kini saat pemerintah ada ruang untuk membahasnya di RUU KUP yang belum tersampaikan secara utuh, pasalnya wacana perpajakan tersebut baru dalam tahap penyampaian ke DPR RI. Namun tiba-tiba muncul isu yang justru menyulut kegaduhan ditengah-tengah publik, karena itu pemerintah menyampaikan beberapa ide lebih adil mana yang seharusnya dikenai pajak karena dikonsumsi kelompok atas, dan mana yang memang dibutuhkan rakyat banyak hingga perlu untuk dilindungi.

Termasuk wacana pajak jasa pendidikan, tersebutkan bahwa kebijakan itu hanya diperuntukan bagi jasa pendidikan berbayar mahal. Yakni, seperti jalur sekolah internasional, kursus, privat, dan jasa pendidikan profesi yang hanya mampu dinikmati masyarakat kelas atas. Itu artinya, jika sekilas kita cermati pemerintah saat ini berusaha melakukan reformasi perpajakan sebagai sumber utama pendapatan negara dalam APBN, menjadi momentum yang tepat untuk evaluasi dan perbaikan.

Perubahan aspek administratif dan aspek kebijakan yang tergulirkan diharapkan bisa mampu mendorong reformasi struktural sektor riil yang menjadi kunci utama pemulihan ekonomi nasional. Jadi bagian dalam reformasi perpajakan adalah mengupayakan sistem perpajakan yang sehat dan adil.

Untuk mendukung arah kebijakan fiskal, pemerintah yang telah, sedang, dan akan terus melaksanakan reformasi perpajakan yang sehat, adil, dan kompetitif. Sehat artinya efektif sebagai instrumen kebijakan, optimal sebagai sumber pendapatan, serta adaptif dengan perubahan struktur dan dinamika perekonomian. Sementara adil artinya memberikan kepastian perlakukan pemajakan, mendorong kepatuhan wajib pajak, dan menciptakan keseimbangan beban pajak antar-kelompok pendapatan dan antar-aspek. Sehingga, besar harapan soal wacana penerapan pajak sembako dan pendidikan ini, pemerintah tidak membebani masyarakat kelas bawah.

Bijak mensikapi isu PPN

Di tengah ramainya kegaduhan merespon dan menanggapi PPN sembako dan pendidikan kita bangsa Indonesia tentu sebagai bangsa yang besar sekiranya bisa arif dan bijak dalam mensikapi isu yang ada. Pasalnya, pengenaan PPN untuk barang/jasa tertentu adalah salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan supaya lebih adil dan tepat sasaran. Pasalnya, subsidi PPN selama ini tidak hanya menyasar kalangan miskin, namun juga kelompok kaya. Ke depan jika disetujui DPR, kelompok kaya ini bakal menjadi subjek PPN dan menyubsidi kelompok miskin.

Terkait rencana tersebut, menjadi logis jika RUU KUP tersebut masih berpotensi mengalami perubahan sudah pasti pemerintah melalui DPR bakal mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Itu artinya, jika draf pengajuan pajak sembako dan jasa pendidikan itu disetujui, maka pembahasan selebihnya akan dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Yaitu khususnya para pelaku usaha dan pendidikan, tentunya untuk mencapai kesepakatan yang berkeadilan.

Berangkat dari konteks itulah, sejatinya pemerintah memiliki cara dalam RUU KUP. Misalnya, ada orang mengonsumsi beras premium, tapi ada orang lain mengkonsumsi beras dari Bulog. Sama-sama enggak kena PPN padahal daya belinya berbeda. Nah, itu yang saat ini tengah dicermati oleh pemerintah yang akan diperbaiki, karena banyak pengecualian saat ini. Berangkat dari kenyataan itulah, ada beberapa hal yang sekiranya perlu menjadi perhatian pemerintah sebelum RUU KUP tersebut tersyahkan menjadi suatu undang-undang.

Pertama, pemerintah harus benar-benar bisa memastikan tidak akan membebani masyarakat kelas bawah terkait rencana pengenaan pajak sembako dan jasa pendidikan, karena hanya berlaku untuk komoditas tertentu. Justru harapannya pemerintah bisa menjadikan pajak sebagai pemasukan negara yang nantinya bisa digunakan untuk memberikan subsidi bagi masyarakat kelas bawah agar bisa mendapatkan akses pendidikan maupun pemenuhan kebutuhan hidup yang baik.

Kedua, pemerintah melalui Kementerian Keuangan harus menyadari masih banyak cara menaikkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat terutama memaksimalkan dari potensi yang ada. Merujuk data dari Direktorat Jenderal Pajak hingga akhir April 2021, penerimaan pajak baru mencapai Rp374,9 triliun atau sekitar 30,94 persen dari target total yang mencapai Rp1.229,6 triliun. Itu artinya, masih banyak peluang yang bisa digarap, dengan memaksimalkan potensi pajak yang sudah ada.

Ketiga, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam membuat kebijakan seharusnya memiliki kepekaan sensitifitas terhadap kondisi masyarakat saat ini, terlebih di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, Kementerian Keuangan seharusnya tidak hanya pandai dalam mengolah angka. Namun juga harus pandai mengolah rasa.

Melalui tiga langkah-langkah itulah, sekiranya bisa menjadi masukan bagi pemerintah agar selebihnya bisa menjadi pertimbangan sebelum RUU KUP tersebut tersyahkan menjadi UU, sehingga rencana kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: