Wacana PSBB Jilid II

foto ilustrasi

Peningkatan kasus aktif pandemi semakin mengkhawatirkan. Bahkan beberapa daerah (Jakarta Raya, Bandung, dan Kudus) telah di-kategori ke-genting-an CoViD-19. Namun sesungguhnya wajar, tidak ada pemerintah daerah yang siap menghadapi dampak pewabahan. Karena sifat wabah pandemi selalu mendadak, masif, dan baru (belum ditemukan obatnya). Masyarakat juga masih perlu di-edukasi menjalani masa sulit. Termasuk PSBB jilid kedua.

Di Jakarta, setiap hari selalu pecah rekor kasus positif CoViD-19. Sampai mencatat kasus harian tertinggi selama 1,5 tahun pandemi. Sehari, lebih dari 5.500 kasus baru. Tingkat hunian isolasi CoViD-19 di rumah sakit telah mencapai 75%. Beberapa rumah sakit rujukan sampai menolak pasien, karena ruang perawatan CoViD-19 sudah penuh. Kawasan metropolitan terdekat Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sudah “siaga satu.”

Sehingga perlu digagas berbagai cara penanganan pandemi. Termasuk kemungkinan “lockdown.” Kesiagaan yang sama juga akan menjadi pilihan di DI Yogyakarta. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, tidak menafikan “lockdown” total, manakala cara PPKM skala mikro tak mempan menghadang pandemi. Tingkat hunian (Bed Occupancy Ratio, BOR) ruang isolasi sudah mencapai 75%. Tetapi masih diharapkan ada hasil PPKM skala mikro, yang diperpanjang hingga 28 Juni.

Daerah seantero Jawa masih menjadi kawasan episentrum pandemi, bisa dimaklumi karena sebagai pusat pergerakan perekonomian nasional. Namun daerah paparan baru (dengan varian virus baru) di pelosok, cukup memprihatinkan. Kawasan “bukan daerah metropolitan” (seperti Kudus, dan Bangkalan) kini lebih menjadi perhatian. Isu pelonjakan CoViD-19, bisa menimbulkan ke-gelisah-an sosial makin meluas. Berujung ke-mandek-an ekonomi di tingkat grassroot.

Pemerintah berkewajiban memenuhi amanat UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada pasal 11 ayat (1) dinyatakan, “Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.”

Tetapi UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, memiliki amanat yang senafas dengan “lockdown.” Pada pasal 15 ayat (2) huruf b, dinyatakan PSBB Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB), sebagai tindakan kekarantinaan kesehatan. Namun niscaya, bukan suasana yang mem-bahagia-kan. Karena itu diperlukan “ke-rela-an” masyarakat mematuhi seluruh protokol keamanan kesehatan (Prokes).

PSBB menjadi domain (kewenangan) pemerintah pusat, dengan segala konsekuensi. Misalnya tahun 2020 lalu, sudah rela tekor Rp 405,1 trilyun. Itu alokasi sebesar 15,94% dari nilai total APBN. Pada tahun 2021 anggaran penanganan pandemi mencapai Rp 254 trilyun. Bisa jadi, pagu untuk pandemi akan bertambah seiring pelonjakan kasus CoViD-19. APBN juga meng-alokasikan anggaran sebesar Rp 372,3 trilyun dalam program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Termasuk alokasi Bansos.

Namun pemerintah daerah (Propinsi serta Kabupaten dan Kota) juga wajib mematuhi (melaksanakan) persyaratan PSBB. Terutama “kerelaan” (dan kejujuran) menggencarkan Bansos. Berkonsekuensi logis dengan penggelontoran APBD, melalui program khusus bertajuk “refocusing.” Alokasinya sekitar 6,5% dari total APBD. Di Jakarta, pagu refocusing bisa mencapai Rp 5,5 trilyun. Sedangkan Jawa Timur sekitar Rp 2,37 trilyun. Jawa Tengah sekitar Rp 1,7 trilyun. Jawa Barat sekitar Rp 2,9 trilyun.

Daerah “zona merah” catut menyediakan anggaran memadai untuk penanggulangan CoViD-19. Anggaran menjadi bukti utama tekad Pemerintah Daerah melindungi tingkat Ketahanan Kesehatan masyarakatnya. Sudah banyak keluhan masyarakat tidak memperoleh Bansos. Maka pendataan di tingkat RT, dan RW, perlu validasi, dan di-realisasi sepenuhnya sesuai asas pemerataan, dan keadilan.

——— 000 ———

Rate this article!
Wacana PSBB Jilid II,5 / 5 ( 1votes )
Tags: