Wacana Rehabilitasi Anak Pelaku Kekerasan Menuai Polemik

Edward Dewaruci

Surabaya, Bhirawa
Keinginan Bupati Sampang Fadilah Budiono untuk merehabilitasi siswa HI pelaku penganiayaan guru Achmad Budi Cahyono menuai polemik.
Menurut ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Martadi, pihaknya kurang sependapat dengan keinginan Fadilah Budiono.
“Jika rehabilitasi itu, sesuai dengan UU maka jalankan. Namun jika tidak, jelas itu melanggar hukum” ungkap Martadi yang ditemui Bhirawa selasa (6/1). Lebih lanjut, Ia berpendapat bahwa penerapan hukuman untuk tersangka HI tidak bisa dilihat dari usia. Menurutnya usia tidak bisa menjelaskan apakah anak dikatakan dewasa ataupun masih kategori anak-anak. Pakar pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini mengatakan bahwa untuk menyebut anak itu dewasa adalah dengan parameter 18 tahun keatas. Sedangkan parameter tersebut, jelasnya dikemukakan ketika tahun 1918 oleh pakar psikologi dunia. Sehingga pihaknya menanyakan apakah parameter tersebut masih relevan diterapka, mengingat perkembangan, pola pikir dan psikologis anak era mileneal sangat jauh berbeda dengan waktu itu (1918-1990). Ia menilai bahwa usia 17 tahun adalah usia yang cukup matang dalam mengambil keputusan.
Jadi ungkapnya, jika hanya sebatas merehabilitasi maka itu tidak relevan dengan apa yang sudah dia lakukan. Namun sebaliknya, jika rehabilitasi tersebut didasar atas proses hukuman yang harus dia jalani maka itu perlu.
“Bagian proses mendidik anak adalah tahu tentang sebuah akibat dam konsekuensi dari sebuah akibat itu” ujarnya. Lebih lanjut, Ia menambahkan bahwa kejadian ini bisa menjadi pelajaran untuk pelajar yang lain. Jika kita terlalu mengistimewakan anak, kemudian mengabaikan kaidah pendidikan.
Terpisah, pakar hukum Edward Dewaruci mengungkapkan hal yang berbeda. Ia mengatakan jika apa yang diminta oleh Bupati Sampang, Fadilah Budiono sudah sesuai dengan UU no. 23 tahun 2002 pasal 59 menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlindungan khusus. Kemudian lanjutnya, diatur juga dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak UU no 11 tahun 2012 tentang peradilan terhadap anak yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana. Pihaknya menerangkan bahwa dalam undang-undang tersebut ada metode pembinaan khusus yang pola peradilannya, salah satunya dengan rehabilitasi untuk pemulihan keadaan.
Praktisi hukum ini juga mengatakan jika pemerintah daerah Sampang mempunyai pemikiran untuk rehabilitasi pelaku, berarti harus juga ditelusuri latar belakangnya. Karena bebernya spontanitas HI melakukan kekerasan bisa jadi ada peesoalan kesalahan pengasuhan. Jadi budaya kekerasan dari dia kecil hingga sekarang, bisa jadi asumsinya ada pemkluman terhadap kekerasan, ujarnya. Ia menggambarkan, misalnya budaya kekerasan dilakukan dalam proses pengasuhan, sehingga menganggap apa yang dia lakukan biasa dan membudaya, itu yang perlu didalami oleh pemerintah. Namun, jika disampang itu faktor kekerasan menjadi hal yang lumrah, maka memang harus ada perubahan budaya di sampang untuk no-tolerance terhadap kekerasan. “Dan itu harus di sikapi tegas oleh pemerintahan sana” tuturnya.
Lanjutnya dia memaparkan bahwa dalam UU sistem peradilan pidana anak menganggap bahwa meskipun anak sudah dinilai melakukan kesalahan, tapi haknya dia untuk tidak diperlakukan sebagai ‘Sampah Masyarakat’ harus tetap dilindungi. Karena harus ada anggapan yang belum dewasa itu (dibawah 18), masih ada kesempatan untuk berubah, jelasnya.
Sehinhga, tambahnya proses pembinaan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah Sampang berdasar UU sistem peradilan anak yang juga harus ditegakkan.
“Hukum jika untuk anak-anak hukum dipandang sebagai proses pembinaan khusus” pungkasnya. [ina]

Tags: