Wacana Urgensi Amendemen UUD 1945

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn (Civic Hukum) Univ. Muhammadiyah Malang

Belakangan ini, ranah jagad politik Tanah Air tengah diramaikan dengan wacana urgensi Amendemen UUD 1945. Persoalannya, adalah apakah masalah besar bangsa dan negara saat ini, bersumber dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945, sampai-sampai harus ada wacana untuk mengamendemennya, itulah pertanyaan yang memang harus terjawab. Nah, melalui rubrik opini inilah penulis berusaha ingin mengulas wacana urgensi tidaknya amendemen UUD 1945 saat ini untuk dilakukan.

Bijak mengamendemen UUD 1945

Situasi yang terjadi di negeri ini, jika terperhatikan masalah besarnya bangsa Indonesia dalam dua tahun terakhir ialah pandemi Covid-19. Wabah virus corona ini menyebabkan krisis ekonomi, bertambahnya penduduk miskin, dan masalah sosial lainnya. Pertanyaannya adalah apakah masalah-masalah tersebut karena UUD atau akibat tidak adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau kini disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sehingga timbul rencana perubahan konstitusi.

Ada sebagian pihak menilai bahwa tidak adanya GBHN itu mengakibatkan tidak konstannya proses pembangunan, sehingga memberikan dampak selalu berubah-ubah. Mungkin boleh kita tanya, yang berubah-ubah atau tidak konstan itu gara-gara konstitusinya atau gara-gara politiknya yang berubah-ubah. Situasi saat ini, justru mengilustrasikan atau menggambarkan bahwa para politikus lah yang memandang persoalan bangsa dan negara secara lima tahunan sehingga proses pembangunan pun tidak konstan. Sedangkan, konstitusi berlaku dalam jangka panjang. Terlebih persoalan yang akhir-akhir ini terjadi tidak mencerminkan kalau Negara sedang mengalami pelanggaran terhadap jaminan dan penegakan atas prinsip hak dan kebebasan beragama. Itu artinya, persoalan yang saat ini dihadapi Indonesia bukanlah karena UUD.

Berlaku sebaliknya, jika kondisi negara dalam memberikan jaminan dan penegakan atas prinsip hak dan kebebasan beragama masih banyak terjadi pelanggaran, maka bisa dibilang persoalan tersebut menjadi hal yang urgen untuk diperhatikan bangsa ini, yang selebihnya serius bagi bangsa ini untuk memunculkan persepsi mendasar bahwa norma hukum yang mengatur seputar kehidupan beragama dan berkepercayaan belum sepenuhnya sempurna.

Belum lagi, seandainya disusul dengan berbagai persoalan yang diakibatkan oleh ketidaksempurnaan model penormaan tersebut, termasuk model penormaan dalam menjamin hak dan kebebasan beragama dalam konstitusi. Hal ini karena peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis dan berada di bawah konstitusi merupakan peraturan pelaksana dari apa yang diatur dalam konstitusi. Kondisi tersebut bisa dipastikan akan menghadirkan banyak reaksi dari warga negara untuk melakukan perubahan UUD NRI 1945.

Jadi, adanya hukum yang belum dapat diselesaikan dengan baik. Di samping itu, perkembangan kehidupan bernegara yang begitu dinamis semestinya direspon dengan mengubah konstitusi agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Alasan-alasan mendasar tersebut pada dasarnya dapat dijadikan modal dasar atas keinginan mengubah UUD NRI 1945. Persoalannya, jika terperhatikan masalah besar bangsa Indonesia yang paling nyata dalam dua tahun terakhir ialah pandemi Covid-19. Wabah virus corona ini menyebabkan krisis ekonomi, bertambahnya penduduk miskin, dan masalah sosial lainnya. Itu artinya, masalah tersebut bukan karena UUD atau akibat tidak adanya GBHN atau kini disebut PPHN. Berangkat dari realitas itulah, bangsa ini harus bijak sebelum mengamendemen UUD 1945.

Ketepatan waktu amendemen UUD 1945

Amendemen atau perubahan konstitusi merupakan sesuatu yang tidak asing dalam kajian hukum konstitusi. Secara umum, perubahan konstitusi dimaksudkan untuk merespon perubahan-perubahan tertentu yang mengharuskan perubahan itu dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perubahan suatu konstitusi digunakan untuk memenuhi tuntutan zaman agar aturan yang termuat dalam konstitusi tidak ketinggalan zaman.

Intinya lagi, perubahan konstitusi merupakan konsekuensi dari teori konstitusi dimana konstitusi merupakan ‘resultante’ dari keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Poleksosbud). Oleh sebab itu, konstitusi menggambarkan kebutuhan dan jawaban atas persoalan yang dihadapi saat itu (ketika konstitusi dibuat). Mengingat kondisi kehidupan masyarakat yang bergerak dinamis dan berubah, kebutuhan masyarakat juga akan berubah. Pada dasarnya, konstitusi yang disusun merupakan ‘resultante’ Poleksosbud tertentu sehingga konstitusi juga harus terbuka kemungkinan untuk diubah. Sekaligus, berlaku sebaliknya amendemen UUD 1945 juga bisa tidak perlu dan urgen untuk dilakukan. Lebih detailnya, berikut ini beberapa alasan yang bisa disampaikan oleh penulis, mengapa amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak perlu dilakukan.

Pertama, situasi saat ini menggabarkan bahwa bangsa ini tengah murni mengadapi persoalan pandemi covid-19 dengan berbagai dampaknya, sehingga situasi saat ini tidak ada urgensi atau kondisi darurat yang mengharuskan UUD 1945 diamendemen. Urgensi saat ini yang harus diselesaikan adalah bagaimana mengatasi kondisi ekonomi dan kesehatan yang tengah terpuruk akibat pandemi Covid-19. Kalau kita bicara covid berarti memerlukan konsentrasi dari semua lembaga lembaga negara, agar kita lepas merdeka dari covid ini, bukan justru mengusulkan amendemen UUD 1945 ditengah situasi yang kurang tepat.

Kedua, wacana pembahasan amendemen UUD 1945 saat ini, justru bisa membuka potensi pelemahan terhadap sistem presidensial, pasalnya dengan memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) akan bisa melemahkan posisi presiden. Pasalnya, adanya haluan negara yang ditetapkan di pundak presiden tersebut akan dikontrol ketat oleh parlemen (MPR, DPR, dan DPD). Hal itulah, yang menurut hemat penulis bisa melemahkan sisi presidensial atau paling tidak akan mengubah kriteria karateristik presidensial yang kita anut dalam Undang-Undang Dasar

Ketiga, terkait pembahasan PPHN, jika Ketua MPR bersikeras ingin memasukan haluan negara sebaiknya tetap menggunakan UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Pasalnya, UU tersebut masih memiliki kekurangan, sebaiknya diubah saja UU tersebut terlebih dulu dibanding harus mengamendemen UUD 1945.

Keempat, jika saat ini MPR membuat GBHN atau PPHN yang harus dipatuhi presiden, maka posisi MPR di atas presiden. Hal tersebut, sejatinya menyalahi demokrasi karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden. Itu artinya, jika presiden dipilih MPR, maka menurut logika penulis sebagai bentuk yang menyalahi prinsip demokrasi presidensial karena presiden bergantung pada MPR. Pasalnya, GBHN atau PPHN dan pemilihan presiden oleh MPR itu berpotensi mengubur demokrasi presidensialisme saat ini.

Atas alasan-alasan dan argumentasi hukum tersebut itulah, usaha-usaha dan langkah ilmiah untuk mengkaji dan menalaah seputar wacana dan urgensi perubahan UUD NRI 1945 saat ini penting dilakukan agar wacana yang berkembang di masyarakat tidak sekedar menjadi wacana tanpa analisis dan pembahasan yang memadai.

———– *** ————–

Rate this article!
Tags: