Wajah Buruk Anggota Terhormat

Ahmad FatoniOleh :
Ahmad Fatoni
Penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM

Beberapa hari ini, Pemprof Sumatera Utara Menjadi trending topic terkait di kasus suap pembahasan APBD Sumut 2012-2014. Kasus ini bermuara dari H. Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut periode 2013-2018 yang diduga menyebar uang untuk pemulusan pembahasan APBD ke sejumlah anggota DPRD Sumut hingga mencapai lebih dari Rp 50 miliar. Gatot sendiri dan istrinya, Evy Susanti, telah ditahan sejak 27 Juli 2015.
Ada puluhan pejabat, pensiunan, mantan dan anggota DPRD Sumut aktif, anggota DPR RI dan DPD RI diperiksa KPK dan aparat kepolisian. Tersangka terakhir, Jamal Kamaludin, dalam kapasitasnya sebagai eks Wakil Ketua DPRD Sumut masa itu, juga telah diseret ke Rutan Polres Jakarta Timur sebagai tersangka penerima suap dari Gatot, senin (23/11/2015) kemarin. Penahanan politisi PAN itu menyusul para tersangka sebelumnya, termasuk pengacara kondang OC Kaligis dan tiga anak buahnya. KPK masih membidik para anggota DPRD Sumut lainnya untuk dijadikan tersangka.
Kasus suap secara berjamaah yang telah dipertontonkan anggota DPRD Sumut tersebut kian mempertegas penilaian masyarakat betapa buruknya citra Dewan Perwakilan Rakyat, baik di daerah maupun pusat, karena ulah anggotanya yang menyimpang. Bahkan, selama ini orang awam masih memandang kapabilitas anggota dewan belum memuaskan, kerap terjebak kasus asusila, komitmen terhadap pemberantasan korupsi tidak jelas, belum lagi tingkat kehadiran yang masih rendah dalam berbagai sidang.
Kenyataannya, praktik korupsi, kolusi, pemborosan hingga perilaku tidak etis yang disuguhkan secara telanjang dan berulang-ulang membuktikan seperti apa buruknya kelakukan anggota dewan. Dari masa ke masa, satu per satu anggota dewan yang tertangkap KPK, kian menghancurkan image diri orang-orang ‘terhormat’ itu. Betapa tidak, anggota dewan yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif untuk mencegah penyelewengan, malah berkolaborasi dalam tindak korupsi.
Asumsi Plato dan Aristoteles bahwa politik sebagai usaha untuk mencapai kebaikan masyarakat nyatanya tidak digubris sama sekali. Politisi justru acap menjamah kemerdekaan iman dan akal sehat. Entah harus dimulai dari mana untuk membenahi citra buruk anggota dewan yang ‘terhormat’ itu. Era reformasi yang sempat diagung-agungkan rupanya belum menyentuh sektor mental orang-orang yang mendaku diri mereka sebagai wakil rakyat.
Meski terdengar janggal, sebagian dari anggota dewan adalah orang yang dulunya bertekad ingin membabat habis akar korupsi dari gedung parlemen. Entah sumpah atau janji yang mereka ucapkan itu hanya untuk membual atau memang yang awalnya benar-benar bertekad tapi di pertengahan jalan mereka ikut-ikutan latah. Seperti kata pepatah, orang bersih yang masuk ke kubangan comberan akan susah tidak kecipratan air kotor.
Sungguh ironis, harapan reformasi sebagai jembatan emas untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi secara radikal terhadap segala bentuk penyimpangan moral yang terjadi di era orde baru, justru dicederai oleh kelakuan sebagian legislator pascareformasi. Padahal mereka dituntut menjadi bagian dari proses transparansi, akuntabilitas, dan keteladanan bagi seluruh rakyat.
Tentu tidak semua anggota dewan berkelakuan ‘tidak terhormat’, tapi yang jelas makin langka saja menemukan figur manusia terhormat di gedung DPR/DPRD yang menyandang titel ‘anggota dewan terhormat’. Segudang fakta yang jamak diketahui bahwa anggota dewan masih merupakan trouble maker, belum menjadi problem solver.
Harapan Masyarakat
Warisan berbagai persoalan di gedung DPR/DPRD, dari periode ke periode, akan menyeret anggotanya sekarang dan selanjutnya dalam situasi sulit dalam melaksanakan amanah rakyat. Secara psikologis, mereka harus bekerja dalam bayangan citra anggota dewan periode sebelumnya yang juga sudah hancur, tanpa kepercayaan publik, juga kecurigaan masyarakat atas kemampuan, komitmen, integritas, serta kemandirian politik membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mau tidak mau, siapa pun yang menjadi anggota dewan sekarang, tampak akan mewariskan tantangan yang lebih berat bagi periode selanjutnya, terutama upaya membersihkan citra koruptif yang telanjur melekat di sekujur gedung DPR/DPRD. Hal penting yang perlu dilakukan anggota dewan sekarang adalah memulihkan reputasi institusinya sehingga rakyat menaruh hormat. Tentu saja tugas demikian tidaklah mudah. Maka, yang duduk di kursi parlemen senyatanya memberikan kontribusinya, sekecil apa pun.
Selain itu, setiap anggota dewan harus bekerja keras untuk melakukan perubahan dan berani membuat terobosan politik yang lebih strategis, efisien, dan efektif. Memang telah ada beberapa capaian positif yang bisa dijadikan pijakan utama bagi langkah berikutnya. Di sini selalu dibutuhkan perubahan pendekatan politik yang mendasar, termasuk perubahan kultur politik yang sehat dan berpihak kepada rakyat.
Mewujudkan komitmen perubahan dapat dimulai dengan hal sederhana, yaitu tidak mengulangi kelakuan anggota dewan yang suka bolos, sering terlibat aktivitas suap menyuap, serta acap mengkhianati amanat rakyat. Berpolitik adalah bersedia mengabdikan diri, waktu, tenaga dan pikiran bagi rakyat dan partai politik, bukan sekadar ingin mengeruk keuntungan pragmatis melalui kekuasaan publik.
Sebelum partai-partai mengumbar janji-janji murahan melalui berbagai iklan, lebih baik perbaiki dulu mental para anggotanya. Pilihlah orang-orang yang berkompenten dalam pencalegan partai, bukan sekadar popularitas, uang, atau kerabat.  Masyarakat pun jangan sampai terkecoh dan memilih caleg yang hanya mencari uang dan kekuasaan yang setelah terpilih, mereka lupa dan tak berhati nurani. Jika partai gagal membina kader-kadernya, citra buruk annggota dewan akan menjadi suatu keniscayaan.

                                                                                                          ———————- *** ———————-

Rate this article!
Tags: