Wajib Berhemat Rupiah

Pertumbuhan nasional positif, serta neraca perdagangan masih surplus sebesar US$ 5,67 milyar. Tetapi nilai mata uang (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) semakin merosot. Bahkan rupiah berada pada ambang kemerosotan melampaui “seribu poin” selama tahun 2022 ini. Pada penghujung tahun 2022, rupiah tercatat makin melemah pada nilai Rp 15.659 per-US$. Nampaknya seluruh investor global sangat berhatri-hati pada masa resesi saat ini hingga tahun (2023) depan yang masih gelap.

Perekonomian nasional sedang “baik-baik saja” walau hampir seluruh Eropa dibayangi resesi. Sehingga otoritas moneter negara-negara maju mengambil Langkah meningkatkan suku bunga. Terutama AS, Inggris, Jerman, dan kawasan Eropa lainnya. Juga China yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi signifikan. Akibatnya, masyarakat (terutama investor) di negara maju lebih berhemat. Memilih menyimpan uang di bank dengan bunga lebih menarik.

Penghematan serupa juga dilakukan investor yang telah berusaha di negara berkembang. Tidak menambah investasi karena faktor potensi risiko resesi. Sehingga mata uang negara berkembang tidak menarik. Termasuk rupiah. Namun konon, penurunan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, bisa menjadi winfall profit (“durian runtuh”). Mendatangkan berkah dalam kalkulasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Kalkulasinya, setiap penurunan 100 poin (dibanding asumsi makro dalam APBN), akan menaikkan pendapatan negara. Kenaikan bertambah minimal sebesar Rp 3,8 triliun. Serta sisi belanja APBN akan terkatrol minimal sebesar Rp 2,2 trilyun. Nilai dolar AS yang menguat akan berdampak penghematan masyarakat di dalam negeri. Terutama harga susu impor, serta beberapa komoditas impor lain (kelompok sandang, pangan, dan elektronika).

Bahkan pemerintah China pernah men-devaluasi mata uang yuan pada Agustus tahun 2015. Tujuannya, untuk menggelontor ekspor barang-barang China, yang memiliki daya saing tinggi, karena lebih murah. Hasilnya, lebih dari US$ 8 triliun terhisap dari bursa di seluruh duniamasuk ke China. Maka penurunan kurs rupiah, diharapkan menghemat impor, sekaligus meningkatkan ekspor. Niscaya berujung meningkatkan surplus neraca perdagangan. Kelak (mulai 2023), sangat berguna pada masa krisis.

Indonesia menjadi salahsatu negara yang termasuk dalam ke-rentan-an resesi. Walau pertumbuhan ekonomi pada kuartal III (Akjhir September) masih tercatat positif 5,5%. Karena itu depresiasi rupiah patut dicegah terperosok ke dalam jurang inflasi dan resesi. Karena masih komoditas impor yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Antara lain susu, kedelai, dan daging sapi. Juga obat-obatan. Sedangkan komoditas ekspor masih mengandalkan konvensional (sawit, dan batubara).

Konon, pemerintah akan mulai hilirisasi komoditas ekspor sumberdaya alam (SD). Antara lain nikel, dan bijih bauksit, dalam bentuk bahan mentah. Hilirisasi nikel, dan bauksit akan menambah nilai perekonomian dalam negeri, sekaligus penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Dulu nilai ekspor nikel hanya US$ 1,1 milyar (mentah). Saat ini sudah mencapai US$30 milyar. Menyusul nanti per-Juni 2023, ekspor bahan mentah bauksit dihentikan, digantikan hasil produksi.

Penguatan nilai ekspor (dalam US$) akan menaikkan martabat rupiah. Sehingga menuju kurs yang ideal (dan berkeadilan). Pada pemerintahan Jokowi, rupiah sudah pernah menembus Rp 15.700 per-US$. Sedangkan pada masa pemerintahan SBY rupiah terendah berada di atas Rp 12.000-an. Kemudian pada akhir masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri nilai tukar dolar AS stabil di kisaran Rp 8.000,-.

Penurunan kurs rupiah wajib diwaspadai. Karena depresiasi mata uang yang dramatik, ditunjukkan pada krisis ekonomi Yugoslavia (1987 – 1994). Disebabkan hiper-inflasi, melejit berjuta persen. Dampak politiknya nyaris sama dengan inflasi di Indonesia tahun 1965-66.

——— 000 ———

Rate this article!
Wajib Berhemat Rupiah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: