(Wajib) Kabinet Antikorupsi

Oleh :
Adam Setiawan, S.H
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Tidak terasa sudah masa bakti kepemimpinan Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla akan usai dan akan dilanjutkan kembali oleh Presiden petahana Joko Widodobersama Wakil Presiden yang baru K.H. Ma’ruf Amin, tepatnya pada 20 Oktober 2019 nanti akan didakan prosesi pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Seiring dengan hal tersebut tentu saja kita semua, khususnya pengamat Politik dan Hukum Tata Negara sudah tidak sabar menantikansiapa saja kandidat yang kelak masuk dalam susunan kabinet yang dipimpin oleh Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Apakah menteri-menteri yang kelak diangkat oleh Presiden terpilih merupakan wajah lama, atau wajah baru. Dan apakah menteri-menteri yang diangkat merupakan politisi dari partai pendukung pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin atau bahkan menteri-menteri yang diangkat berasal dari kalangan profesional yang tidak terafiliasi dengan partaiWallahu a’lam.
Presiden mempunyai hak preogratif untuk menentukan susunan kabinetnyasebagaimana disebutkan secara expressis verbis dalam UUD NRI 1945 bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Namun yang menjadi persoalan klasik adalah apakah menteri yang dipilih Presiden merupakan pilihan yang tebaik untuk membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dalam 5 (lima) tahun kedepan. Yang dimaksud dengan “Pilihan yang terbaik” adalah menteri tersebut compatible sesuai dengan bidangnya dan mempunyai track record yang bersih dari praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Mengingat dari pengalaman yang ada dibeberapa kabinet terdahulu, beberapa menterinya terlibat dalam kasus korupsi.Sebut saja sejak zaman kabinet “pembangunan” yang di pimpin oleh Presiden Soeharto, Dimana tidak dapat terelakkan bahwapraktik KKN di zaman itu sangatlah menjamur, meskipun pada akhirnya sukar untuk dipertanggungjawabkan. Sebab di zaman itu Indonesia belum memiliki lembaga anti rasuah yang konsisten dalam memberantas korupsi seperti zaman sekarang.
Beralih pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan “kabinet Indonesia Bersatu”. Bisa disebut di zaman kepemimpinan SBY ini merupakan momen bersejarah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya tanpa pandang bulu. Mengapa begitu KPK dengan independensinya mengukir sejarah, dimana 5 (lima) menteri yang ada di kabinet SBY bahkan besan SBY diangkut untuk diadili karena kasus korupsi. Tidak berhenti disitu di era kepemimpinan Joko Widodo yang baru akan menyelesaikan satu periode sudah satu menterinya yang terlibat dalam kasus korupsi yakni Idrus Marham disusul 3 (tiga) menterinya yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Kendati yang melakukan korupsi itu adalah menterinya dan yang bertanggungjawab adalah individu/pribadi menteri tersebut. Namun tetap saja Presiden mempunyai beban dan tanggung jawab moral terhadap rakyat atas perilaku koruptif menterinya. Sehingga memunculkan rasa ketidakpercayaan (distrust) rakyat terhadap kinerja Presiden bersama kabinetnya. Di balik itu pula tentunyamuncul pertanyaan dibenak penulis bagaimanakah pertimbangan presiden dalam memilih menteri-menteri tersebut.
Apabila merujuk Pasal 22 Ayat (2) UU No. 39/2008, bahwa syarat untuk bisa diangkat menjadi menteri oleh presidenantara lain a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; d. sehat jasmani dan rohani; e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Adapun syarat yang diatur mempunyai maksud untuk membatasi hak Presiden dalam memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu Presiden. Di samping itu pula membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima.
Berdasarkan realitas yang ada, masih saja ada oknum menteri yang dipilih oleh Presiden terlibat dalam tindak pidana korupsi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Menurut Penulis, solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut guna meminimalisasi terjadinya kecelakaan”menterinya tersangkut kasus korupsi”. Pertama,sudah seyogianya Presiden berkordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau lembaga lainnya seperti Ombudsman Republik Indonesia, guna memberikan masukan atau rekomendasi terhadap Presiden dalam menjaring menteri-menteri yang mempunyai kualitas mumpuni, berintegritas terbebas dari kontaminasi praktik KKN.
Kedua, Presiden sudah saatnya menjatuhkan pilihan terhadap menteri yang berasal dari kalangan Profesional, atau yang dikenal dengan zaken kabinet. Zaken kabinet merupakan suatu kabinet yang para menterinya dipilih atau berasal dari tokoh-tokoh yang Profesional, ahli dibidangnya, jauh dari latar belakang partai tertentu. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa menteri yang berasal dari Profesional akan terlibat kasus korupsi.
Jika dipikir secara matang-matang rasanya sukar untuk mengimplementasi kedua solusi tersebut secara konsisten. Sebabmengingat konstelasi politik negara Indonesia yang sedang carut marut ditambah negara Indonesia menganut sistem kepartaian multipartai.
Di satu sisi Negara Indonesia memepertegas dirinya menganut sistem pemerintahan presidensial, namun di sisi lain Negara Indonesia mendesain sistem kepartaian dengan sistem multipartai. Yang dalam hal ini telah terjadi miskonsepsi dimana sistem multi partai yang tidak dapat dikawinkan dengan sistem pemerintahan presidensial.
Jumlah partai yang membludak banyaknya, cenderung mengakibatkan gesekan kepentingan antar setiap partai yang berada di parlemen dengan Presiden yang notabene merupakan Kepala Pemerintahan (chief of executive)sekaligus kepala negara (chief of state). Gesekan kepentingan terjadi tatkala fungsi legislasi telah melibatkan Presiden terlalu jauh. Dimana dalam proses pembentukan undang-undang, DPR melakukan pembahasan dan persetujuan bersama Presiden. Artinya, jika DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang yang berasal dari Pemerintah atau sebaliknya Presiden menolak rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPR, alhasil undang-undang tidak mungkin ada.
Maka dari itu tak dapat terelakkkan bahwa dengan desain sistem kepartaian yang kita praktikkan saat ini, rasanya Presiden wajib berkoalisi jika ingin mendapatkan sokongan suara mayoritas partai yang berada di parlemen demi mewujudkan hubungan yang harmonis antara presiden dan parlemen. Lantas dengan cara berkoalisi tersebut tentunya mempunyai implikasi bahwa Presiden akan membentuk kabinetnya dengan menteri yang berasal dari partai pendukung sebagai tanda terima kasih Presiden terhadap partai yang telah berkeringat mendukungnya baik selama proses pencalonan hingga kelancaran jalannya pemerintahan.
Dengan uraian tersebut semakinmempertegas bahwa rasanya sukar bagi Presiden untuk menerima masukan atau rekomendasi KPK atau lembaga lainnya terkait kandidat menteri yang mempunyai kualitas mumpuni, berintegritas terbebas dari kontaminasi praktik KKN. Dan tentunya mustahil untuk Presiden membentuk dan menerapkan Zaken Kabinet.Terlepas dari hal demikian Presiden sudah saatnya lebih selektif dalam memilih menterinya yang mempunyai semangat antikorupsi baik itu berasal dari partai politik maupun dari kalangan Profesional, karena tidak menutup kemungkinan baik menteri yang berasal dari yang partai politik maupun dari kalangan Profesional akan terlibat korupsi.
———- *** ———–

Rate this article!
Tags: