“Wajib” Resesi Sedunia

Tiada negara yang siap menghadapi bencana, tak terkecuali bencana non-alam berupa wabah penyakit pandemi. Trauma virus corona, telah menggerogoti perekonomian global. Ditandai pelemahan seluruh aktifitas perdagangan, industri, manufaktur, dan bursa saham. Kontraksi ekonomi global telah melanda negara-negara di seluruh dunia bagai “mewajibkan” resesi di setiap negara. Termasuk perekonomian nasional, yang memerlukan pencermatan mencegah keparahan resesi.

Kinerja perekonomian triwulan ketiga (Juli – September 2020) diperkirakan minus 2,9%. Jika bisa ditahan, kontraksinya bisa mencapai minus 1,1%. Walau terkoreksi, sebenarnya pertumbuhan ekonomi telah mencatatkan “prestasi.” Karena triwulan kedua (April – Juni) tercatat minus 5,23%. Itu periode puncak trauma CoViD-19. Hampir seluruh sektor usaha, perdagangan, dan industri, mengalami kemandegan kerja.

Bahkan negara adi-daya, Amerika Serikat (AS), mengalami resesi paling buruk sepanjang 11 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua anjlok terperosok sampai minus 9,5%. Kasus ke-terpapar-an CoViD-19, juga terbesar di dunia, saat ini sebanyak 7 juta jiwa. Pemerintah Donald Trump, disebut-sebut sebagai pemerintahan paling “menderita” di dunia. Sebanyak 25 juta pekerja di-PHK akibat pandemi virus corona. Tercatat sebagai PHK paling kolosal selama 80 tahun.

Ke-terpapar-an virus corona di AS makin parah. Angka kematian (akumulatif sejak Maret 2020) tercatat telah merenggut sebanyak 203 ribu jiwa warga AS. Sedangkan yang sembuh setelah dirawat sebanyak 2,7 juta orang. Ironisnya, Trump juga menggunakan isu CoViD-19 pada kampanye presiden AS. Serta menggunakannya dalam forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk menyerang China.

Sekutu AS di Eropa, tak kalah menderita. Perekonomian Perancis (yang tertinggi di seantero Uni Eropa), minus 8,7%. Negeri dengan ikon menara Eiffel ini melaksanakan karantina wilayah paling ketat selama dua bulan. Lockdown ketat sudah dicabut sejak 11 Mei 2020, namun perekonomian tak mudah bangkit normal. Begitu pula, Inggris, terkontraksi sebesar 20,4%, paling parah di Eropa. Di Inggris juga diselenggarakan program Pra-kerja dengan anggaran sebesar 2milyar euro.

Negara-negara “macan” Asia tak terlepas dari cengkeraman wajib resesi global. Jepang misalnya, secara kuartalan juga makin terperosok ke minus 7,8%. Korsel minus 3,3%. Nilai ekspor Korsel susut 16,6%, terburuk selama 55 tahun terakhir. Pada kawasan Asia Tenggara (ASEAN) Singapura mencatat pertumbuhan minus bagai terjun bebas, sampai sebesar 41,2% pada kuartal kedua 2020. Karena sangat bergantung pada jasa pelabuhan ekspor – impor.

Seluruh pelabuhan dan bandara di Singapura bagai “terkurung” lockdown CoViD-19. Keterpurukan Singapura sebagai pusat re-selling, mempengaruhi negeri tetangga ASEAN. Antara lain Malaysia, mengalami kontraksi ekonomi minus 17,1%, terburuk sejak resesi tahun 2008. Serta Filipina mengalami pertumbuhan minus 16,%, resesi pertama sejak tahun 1981. Selama 40 tahun, Filipina nyaris tidak pernah dilanda resesi.

Perekonomian Indonesia juga terlanda “wajib” resesi. Kementerian Keuangan sudah memperkirakan pertumbuhan kuartal ketiga (berakhir September 2020) mengalami kontraksi, minus 2,9%. Pemerintah berhasil mengendalikan kontraksi minus, seiring program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Penanganan wabah pandemi, sekaligus pemulihan ekonomi. Disiplin protokol kesehatan (Prokes) ditegakkan sebagai syarat keberlanjutan seluruh sektor usaha.

Total anggaran PEN mencapai Rp 695,2 trilyun. Termasuk menyasar usaha mikro, dan ultra-mikro, melalui hibah modal kerja kepada 12,4 juta pelaku usaha, dengan bantuan sebesar Rp 2,4 juta per-unit. Bantuan sosial akan menjadi pergerakan ekonomi pada rumah tangga grass-root. Insentif perekonomian patut digenjot sebagai “benteng” pertahanan dari ancaman keparahan resesi. Sekaligus memetik peluang.

Seluruh pemerintahan di dunia juga meningkatkan program karitatif, lebih dermawan kepada rakyat.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: